Masjid ini dibangun pada tahun 1747. Dibangun di atas lahan seluas 3.000 meter persegi yang merupakan wakaf dari warga Betawi blasteran Cina dan Bugis, Muhammad Yusuf. Dia merupakan seorang pekerja pada Menir Belanda, Safir Hands.[1] Dengan demikian, saat ini Masjid Hidayatullah telah berusia lebih dari dua abad.[2]
Keadaan fisik
Arsitektur masjid ini merupakan perpaduan antara budaya Tiongkok, Hindu dan Betawi. Bangunan Masjid Hidayatullah terdiri atas dua bangunan utama. Satu bangunan asli dan satu bangunan tambahan. Menurut Rusli, penjaga Masjid Hidayatullah, bangunan tambahan diresmikan penggunaannya pada sekitar tahun 1999. Dua tahun lalu, di bangunan tambahan dibangun sebuah menara setinggi sekitar 15 meter. Sedangkan bangunan asli merupakan bangunan yang Rusli sebut belum mengalami perubahan bentuk sejak pertama kalinya berdiri.[2]
Akulturasi budaya Tionghoa terlihat dari atap masjid yang berbentuk melengkung layaknya atap rumah masyarakat Tionghoa. Menurut ketua pengurus masjid, Tohir, dulunya penduduk di sekitar masjid ini terdiri dari tiga etnis, yakn etnis Tionghoa, Hindu dan Betawi.[3] Ciri khas kebudayaan Tiongkok dapat dilihat dari bentuk atap bersusun yang merupakan gaya arsitektur yang banyak dipakai pada bangunan kelenteng. Sedangkan kebudayaan Betawi diwakili dengan adanya bentuk pintu dan jendela yang memiliki lubang-lubang ventilasi. Masuk ke bagian dalam masjid, kita akan menjumpai tiang-tiang dari kayu jati yang membuat kita seolah-olah sedang berada di masjid-masjid yang ada di daratan Jawa. Dan pada tiang-tiang tersebut, kita akan menjumpai tulisan-tulisan kaligrafi Arab.[2]
Keunikan lain yang terdapat di Masjid Hidayatullah adalah, di bagian pekarangan tumbuh pohon kurma, pohon malaka, dan pohon nangka, yang konon usianya ratusan tahun. Selain itu, ada pula enam makam dari para pendiri masjid dan para pejuang, yang hingga kini terawat rapi.[3]