Hotel des Indes adalah hotel yang beroperasi mulai tahun 1856 hingga tahun 1960 di Weltevreden, Batavia (Jakarta). Di hotel ini ditandatangani Perjanjian Roem Royen pada 7 Mei1949. Hotel des Indes merupakan hotel yang menjadi tujuan para petinggi kota Batavia apabila ingin menjadi tamu atau turis. Selain itu juga menjadi daya tarik bagi siapa pun yang datang ke Batavia atau ke wilayah Molenvliet (sekarang dikenal dengan Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada).[1]
Sejarah
Reinier de Klerk merupakan pemilik tanah untuk lokasi hotel ini sejak tahun 1760. Tanah dan rumah di atasnya dijual de Klerk kepada C. Postmans pada tahun 1774. Pada tahun 1824 tanah dan bangunan dibeli pemerintah untuk sekolah asrama putri. Pada tahun 1829, tanah dan bangunan di atas lokasi dibeli orang Prancis bernama Antoine Surleon Chaulan yang mendirikan sebuah hotel bernama Hotel de Provence. Pada tahun 1845, putra Etienne Chaulan mengambil alih hotel dari tangan ayahnya.
Pada tahun 1851, di bawah manajemen Cornelis Denning Hoff, hotel ini berganti nama menjadi Rotterdamsch Hotel. Pada tahun berikutnya (1852), hotel ini dibeli orang Swiss bernama François Auguste Emile Wijss yang menikah dengan keponakan perempuan dari Etienne Chaulan. Pada 1 Mei 1856, Wijjs menamakan hotel ini sebagai Hotel des Indes atas usulan Douwes Dekker.
Pada tahun 1860, Hotel des Indes dijual Wijjs kepada orang Prancis bernama Louis George Cressonnier. Menurut Alfred Russel Wallace yang berada di Batavia pada tahun 1861,[2]
Hotel des Indes sangat nyaman, setiap tamu disediakan kamar duduk dan kamar tidur menghadap ke beranda. Di beranda, tamu dapat menikmati kopi pagi dan kopi sore. ... Pada pukul sepuluh disediakan sarapan table d'hôte, dan makan malam mulai pukul enam, semuanya dengan harga per hari yang pantas.
Setelah Cresonnier meninggal dunia pada tahun 1870, keluarganya menjual hotel ini kepada Theodoor Gallas. Pada tahun 1886, Gallas menjual hotel ini kepada Jacob Lugt yang memperluas hotel secara besar-besaran dengan cara membeli tanah di sekeliling hotel. Setelah Lugt mendapat masalah keuangan, Hotel des Indes dijadikan perseroan terbatas N.V. Hotel des Indes pada tahun 1897. Pada tahun 1903, hotel ini berada di bawah manajemen J.M. Gantvoort sebelum dikelola oleh Nieuwenhuys.
John T. McCutcheon menulis pada tahun 1910 bahwa bila dibandingkan dengan Hotel des Indes, semua hotel di Asia berada di bawahnya. Lebih lanjut, ia bercerita tentang kemewahan rijsttafel di hotel ini,[3]
Anda harus makan siang lebih awal agar ada cukup waktu untuk menikmatinya sebelum makan malam. Makan siang disajikan oleh 24 orang pelayan yang berbaris memanjang, mulai dari dapur hingga ke meja, dan kembali ke dapur dengan berbaris. ... Setiap pelayan membawa sepiring makanan berisi salah satu lauk dari keseluruhan 57 lauk pauk untuk rijsttafel. Anda mengambil sendiri lauk dengan sebelah tangan hingga lelah, lalu bergantian dengan tangan yang sebelah lagi. Ketika Anda sudah siap makan, piring anda terlihat seperti bunker di padang golf yang dipenuhi nasi.
Setelah Indonesia merdeka, hotel ini hotel itu kemudian dianeksasi tanpa kompensasi pada tahun 1949. Kemudian diambil alih Pemerintah Indonesia pada tahun 1960, dan diganti namanya menjadi Hotel Duta Indonesia. Namun, hotel itu terus mengalami penurunan pendapatan, terlebih pasca-tahun 1962. Saat itu, Presiden Soekarno meresmikan berdirinya Hotel Indonesia yang menjadi saingan berat hotel tiga zaman itu. Pada tahun 1971, bangunan hotel dibongkar untuk didirikan Pertokoan Duta Merlin. Meski telah tiada, nama Hotel des Indes tetap tercatat sebagai bagian sejarah Jakarta, bahkan Indonesia.[4]
Sajian makanan di Hotel des Indes
Menjadi salah satu hotel yang paling dituju di Hindia Belanda, Hotel des Indes mengedepankan makanan sebagai nilai jual. Hal ini terlihat dari megahnya ruang makan Hotel de Indes sangat besar, disebut dengan dining room saloon. Langit-langit ruang makan dihiasi dengan pilar-pilar yang berukir dan mengokohkan bangunan. Ruang makan di hotel ini dapat menambung lebih kurang sebanyak 500 tamu.[1] Hotel de Indes kerap kali mengiklankan menu makanan mereka melalui koran. Daftar menu yang disajikan menggunakan bahan-bahan prima yang bisa ditemukan di restoran kelas atas, seperti Trois Freses Provencaux di Kota Paris atau Delmonico's di Kota New York.
Beberapa menu yang ditampilkan di koran Java Bode antara lain, Jamon Glace (daging ham berlapis saus), Anguiles a la Bordelaise (belut saus bodelaise), Dindonneau Truffe (kalkun dengan jamur truffle), Fillet de Boeuf sauce Chervil (daging filet dengan saus chervil) hingga makanan penutup, seperti pain a la Duchesse (nama kue eclair), Fillet de Boeuf sauce Chervil (daging filet dengan saus chervil) hingga makanan penutup, seperti pain a la Duchesse (nama awal kue eclair).
Menu ini menunjukkan bahwa cita rasa warga Eropa di Batavia ketika itu sudah terbilang tinggi, terlebih beberapa hidangan, seperti Pain a la Duchesse—merupakan warisan seorang koki kerajaan Prancis bernama Antoine Careme. Antonie adalah sosok yang membawa masakan Prancis setara dengan semi murni lain, seperti lukisan dan pahatan pada masa awal abad ke-19, melalui buku-bukunya yang terbit sejak 1822 hingga 1833.