Perusahaan ini didirikan pada tahun 1907.[1][2] Perusahaan ini pun menjadi anak usaha utama dari Shell di Indonesia (saat itu masih bernama Hindia Belanda) dan mendominasi industri minyak bumi di Indonesia selama masa pendudukan Belanda, sehingga menjadikan perusahaan ini sebagai salah satu perusahaan terbesar di Indonesia pada saat itu. Sumur minyak utama dari perusahaan ini dulu terletak di Pangkalan Brandan (Sumatera Utara), yang juga dianggap sebagai awal mula dari Royal Dutch Shell. Pada dekade 1920-an, lebih dari 95% dari total minyak mentah Indonesia diproduksi oleh perusahaan ini.[3]
Pasca pendudukan Jepang di Indonesia, sumur minyak milik Shell di Pangkalan Brandan diambil alih oleh tentara Indonesia. Pada tahun 1957, pemerintah Indonesia menjadikan sumur minyak di Pangkalan Brandan sebagai modal untuk mendirikan Permina, pendahulu dari Pertamina. Pada dekade 1950-an, Caltex (kini Chevron) dan Stanvac (kini ExxonMobil) berinvestasi besar-besaran di Indonesia, sehingga pangsa pasar BPM turun menjadi hanya 34% pada tahun 1957, sementara Caltex dan Stanvac masing-masing dapat menguasai pangsa pasar sebesar 46% dan 20%. Akhirnya Shell memutuskan untuk keluar dari Indonesia pada tahun 1965. Pada awal dekade 2000-an, Shell kembali masuk ke Indonesia, tapi hanya berbisnis di bidang distribusi olahan minyak bumi.[4]
Perusahaan ini kemudian menjadi perusahaan induk di Belanda bagi Royal Dutch Shell, bersama dengan The "Shell" Transport and Trading Company yang menjadi perusahaan induk di Britania Raya bagi Royal Dutch Shell. Pada tahun 2005, dua perusahaan tersebut digabung untuk membentuk perusahaan induk tunggal bagi Royal Dutch Shell.[5]