Prof.Dr.Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. (17 Februari 1929 – 6 Juni 2021) adalah seorang akademisi dan diplomat Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dari tahun 1974 sampai 1978 dan Menteri Luar Negeri dari tahun 1978 sampai 1988. Selain itu ia adalah guru besar di Fakultas Hukum Universitas PadjadjaranBandung. Definisinya tentang hukum adalah "Hukum adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan masyarakat, termasuk didalamnya lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum itu ke dalam kenyataan", dianggap paling relevan dalam menginterpretasikan hukum pada saat ini. Doktrin tersebut menjadi mahzab/prinsip yang dianut di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran hingga saat ini.
Pria yang memulai karier diplomasi pada usia 29 tahun ini dikenal umum piawai dalam mencairkan suasana dalam suatu perundingan yang amat serius bahkan sering menegangkan. Dia cepat berpikir dan melontarkan kelakar untuk mencairkan suasana. Diplomat penggemar olahraga catur dan berkemampuan berpikir cepat namun lugas ini memang suka berkelakar. Alumni S1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1955) ini berperan banyak dalam perundingan internasional, terutama dengan negara-negara tetangga mengenai batas darat dan batas laut teritorial itu. Wakil Indonesia pada Sidang PBB mengenai Hukum Laut, Jenewa dan New York ini berperan banyak dalam konsep "Wawasan Nusantara" terutama dalam menetapkan batas laut teritorial, batas darat, dan batas landas kontinen Indonesia.Konsep ini pada dasarnya dikembangkan setelah Chairul Saleh tidak senang melihat perairan Indonesia dengan mudah dilewati oleh kapal asing terutama kawasan timur Indonesia sebagai akibat dari wilayah Indonesia yang saat itu hanya 3 mil dari permukaan pantai.[3]
Riwayat Hidup
Ia lahir pada tanggal 17 Februari 1929 di Batavia, Jakarta dari pasangan M. Taslim Kusumaatmaja dan Sulmini Surawisastra. Ayahnya adalah seorang apoteker yang berasal dari Tasikmalaya dan masih memiliki keturunan Wiradadaha, Bupati Sukapura pertama dan ibunya adalah anak dari Bajuri Surawisastra pemilik Pondok Pesantren Balerante Palimanan, Cirebon.[3][4][5]
Pada dasarnya, Ia tidak memiliki hak untuk bersekolah di HIS (Hollands Indische School) mengingat posisi ayahnya yang hanya seorang apoteker. Akan tetapi, setelah ibunya berhasil membujuk pihak pengelola sekolah tersebut, maka Ia diizinkan bersekolah di HIS.
Perang Kemerdekaan
Pada masa perjuangan kemerdekaan, Ia ikut dalam batalyon tentara pelajar yang juga diikuti dengan ayahnya yang berpartisipasi sebagai sukarelawan PMI di daerah Tasikmalaya sementara keluarganya yang lain (ibunya, Sarwono, dan Ade Sudaryati) mengungsi dari Bandung hingga ke Cirebon (tempat keluarga ibunya berasal).
Sebelum kembali ke Cirebon pada tahun 1948, ada kisah menarik ketika keluarganya kedatangan pasukan Belanda yang hendak menawan warga yang berada di sekitar Palimanan, Cirebon. Ketika pimpinan komplotan hendak ingin membumihanguskan kawasan tersebut, Ibunya (Sulmini) mendadak berdiri dan menghardik maksud dari pimpinan batalyon tersebut dengan beralasan bahwa tindakan mereka sama saja dengan tindakan Nazi pada Perang Dunia II yang telah usai. Dengan sedikit diplomasi, ibunya berhasil meyakinkan batalyon tersebut untuk tidak membumihanguskan serta menawan warga desa yang ada di sana.[3]
Ketika kembali untuk menemui keluarganya pada tahun 1948, Ia belum sadar bahwa Ia telah mempunyai adik bernama Sarwono. Dan, pada saat bertemu Sarwono Ia masih memakai pakaian tentara dengan celana pendek dan kacamata bulat bingkai hitam.[3]
Kembali ke Jakarta dan berkuliah
Setelah itu, Ia menempuh perkuliahan di Universitas Indonesia dan Universitas Nasional. Untuk mendapatkan pendapatan, Ia terkadang berkeliling dari pintu ke pintu bersama dengan pamannya, Sudarsono untuk menawarkan makanan khas Cirebon, membuka bioskop misbar, berjualan valuta asing (dolar), serta menjadi penyiar radio.[3][4] Pada Pemilu 1955, rumahnya pernah menjadi tempat diskusi dan perdebatan mengingat posisi ayahnya yang netral (tidak memihak salah satu partai yang ada).
Tahun 1958-1961, dia telah mewakil Indonesia pada Konperensi Hukum Laut di Jenewa, Colombo, dan Tokyo. Beberapa karya tulisnya juga telah mengilhami lahirnya Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia tahun 1970. Dia memang seorang ahli di bidang hukum internasional. Selain memperoleh gelar S1 dari FHUI, dia melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Hukum Yale (Universitas Yale) AS (1955). Kemudian, dia menekuni program doktor (S3) bidang ilmu hukum internasional di Universitas Padjadjaran (lulus 1962).
Pencopotan gelar guru besar (profesor)
Dari sejak mahasiswa, terutama setelah menjadi dosen di FH Unpad Bandung, mantan Dekan Fakultas Hukum Unpad ini telah menunjukkan ketajaman dan kecepatan berpikirnya. Ketika itu, dia dengan berani sering menkritik pemerintah antara lain mengenai Manifesto Politik Soekarno. Kritiknya antara lain "Nehru lebih berpengalaman dari Sukarno dalam soal politik luar negeri" serta Soekarno disebut sebagai, "Sosialis musiman".[6] Tuntutan untuk pemecatan tersebut dilakukan oleh GMNI.[6] Akibatnya, dia dipecat dari jabatan guru besar Unpad. Pemecatan tersebut dilakukan oleh Presiden Soekarno melalui telegram dari Jepang a.n. Menteri Pendidikan Thoyib Hadiwidjaja (1962)[6].
Namun pemecatan dan ketidaksenangan dari Soekarno tersebut tidak membuatnya kehilangan jati diri. Kesempatan itu digunakan dirinya untuk menimba ilmu di Harvard Law School (Universitas Harvard), dan Trade of Development Research Fellowship di Universitas Chicago pada tahun 1964-1966.[7] Malah, kemudian kariernya semakin melonjak setelah pergantian rezim dari pemerintahan Soekarno ke pemerintahan Soeharto. (Pemerintahan Soeharto memberi batasan pembagian rezim ini sebagai Orde Lama dan Orde Baru).
Dari peristiwa tersebut, Mochtar mendapatkan beberapa pelajaran berharga di kemudian hari antara lain mengurangi ketertarikan dengan politik serta mengubah cara komunikasi.[6]
Menteri era Orde Baru
Di masa pemerintahan Orde Baru, sebelum menjabat Menteri Luar Negeri Kabinet Pembangunan III ( 29 Maret 1978-19 Maret 1983 ) dan IV (19 Maret 1983-21 Maret 1988) untuk menggantikan ‘Si Kancil’ Adam Malik, Ia terlebih dahulu menjabat sebagai Menteri KehakimanKabinet Pembangunan II, 28 Maret 1973-29 Maret 1978.
Di tengah kesibukannya sebagai Menlu, dia sering kali menyediakan waktu bermain catur kegemarannya, terutama pada perayaan hari-hari besar di departemen yang dipimpinnya. Bahkan pada akhir tahun 1985, ia terpilih menjadi Ketua Umum Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi). Di samping itu pada tahun 1971, Ia juga mendirikan kantor hukum bernama Mochtar Karuwin Komar (MKK),[8] di mana kantor firma hukum yang Ia dirikan menjadi kantor firma hukum pertama di Indonesia yang memperkerjakan pengacara asing.[9] Saat ini kantor hukum tersebut dipimpin oleh anaknya yang bernama Emir Kusumaatmadja.
Meninggal Dunia
Beliau wafat pada 6 Juni 2021. Selepas wafatnya, banyak tokoh yang mendukung penetapan dirinya sebagai pahlawan nasional Indonesia.[10][11][12][13]
Atas penghargaan terhadap jasa beliau, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengubah nama Jalan Layang Pasopati menjadi Jalan Layang Mochtar Kusumaatmadja.[14]
Tanda Kehormatan
Atas Jasa-jasanya, beliau mendapatkan berbagai tanda kehormatan kenegaraan baik dari dalam maupun luar negeri, diantaranya;[15]
^"The Order of Sikatuna". Official Gazette of the Republic of the Philippines. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 August 2019. Diakses tanggal 14 May 2016.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Malaysia. Jabatan Penerangan, Malaysia (1982). Malaysian Digest Volume 13. Indonesia: Federal Department of Information, Malaysia. hlm. 8.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); line feed character di |title= pada posisi 17 (bantuan)