Sultan Syarif Kasim II bin Sultan Syarif Hasyim adalah sultan ke-12 Kesultanan Siak Sri Indrapura sekaligus penguasa terakhir Kesultanan Siak sebelum Kerajaaan Melayu itu bergabung kedalam wilayah Indonesia.
Sultan Syarif Kasim II merupakan seorang pendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tidak lama setelah proklamasi dia menyatakan Kesultanan Siak sebagai bagian wilayah Indonesia, dan dia menyumbang harta kekayaannya sejumlah 13 juta gulden untuk pemerintah republik (setara dengan 151 juta gulden atau € 69 juta euro pada tahun 2011).[3] Bersama Sultan Serdang dia juga berusaha membujuk raja-raja di Sumatra Timur lainnya untuk turut memihak republik. Namanya kini diabadikan untuk Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II dan UIN SUSKA di Pekanbaru.
Biografi
Terlahir dengan nama Tengku Putra Said Kasim. Setelah ayahandanya mangkat, naiklah Tengku Said Kasim menggantikan bapaknya pada usia 21 tahun, bergelarkan Sultan Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin (tahun 1915-1946).
Tersohor dengan nama Sultan Syarif Kasim setelah naik tahta, tetapi karena kakek baginda juga bernama Sultan Syarif Kasim, supaya tak meragukan, disematkanlah sebutan Sultan Syarif Kasim I untuk datuknya, dan Sultan Syarif Kasim II untuk cucunya.
Nasab
Sultan Syarif Kasim II bin Sultan Syarif Hasyim bin Sultan Syarif Kasim I bin Tengku Said Muhammad bin Tengku Busu Said Ahmad bin Syarif Usman
Pemikiran
Tengku Said Kasim adalah seorang yang sangat antikolonial dan menolak bekerjasama dengan Belanda yang terlalu ikut campur mengenai politik istana.
Beliau ingin mempelajari politik dan pemerintahan yang diterapkan Belanda agar kelak bisa melawannya. Untuk itu beliau menimba ilmu di sekolah Tinggi Belanda di Betawi, dengan pimpinan seorang Guru Besar Prof. Dr. Hazeu.
Kepemimpinan
Pada masa kekuasaannya, Kesultanan Siak telah dicengkeram beberapa kekuatan kolonial global yang silih berganti memengaruhi Kesultanan Siak.
Setelah beliau ditabalkan menjadi sultan menggantikan sang ayahandaya, baginda Sultan segera melakukan banyak perobahan demi melawan siasat Pemerintah Belanda saat itu yang sedang melakukan politik alih kekuasaan didaerah kerajaan-kerajaan Melayu, sehingga pada akhirnya Raja hanya sebagai lambang saja, sedangkan daulat dan wewenang Raja-Raja itu diambil oleh Gouvernement.
Perubahan itu dimulai dari mereformasi bidang pendidikan. Sekolah rakyat dibangunnya, didatangkanlah guru dari langkat. Sekolah dibagi 2 kelas menjadi Sekolah Dasar Kelas Satu dan Sekolah Dasar Kelas Dua.
Baginda juga mendirikan sebuah Internat (sekolah yang sekaligus menyediakan pondokan bagi pelajarnya) di Kota Siak Sri Indrapura. Siapapun dapat mengikuti pendidikan tanpa ada persyaratan biaya.
Baginda sediakan pondokan, beras, lauk pauk, segala macam hal asalkan bersedia belajar.
Dalam pendidikan Islam baginda turut mendirikan sekolah Agama Islam bernama Madrasatul Tahfiqiyah Hasyimiyah yang dibangun tahun 1919. Baginda juga mendirikan perguruan Islam khusus wanita bernama Madratunnisa Hasyimiyah.
Gurunya didatangkan dari berbagai tempat, dari Mesir, Padang Panjang, Aceh dan Langkat. Encik Rahmah Al-Yunusiah memimpin perguruan itu.
Diantaranya juga beberapa orang putra-putri Siak yang dikirim Baginda belajar keluar daerah melanjutkan pendidikannya dengan diberi biaya oleh kerajaan.
Dalam pemerintahan beliau adakan Kadi Besar di ibu kota kerajaan, dan ditiap tiap Distrik diadakan Imam Wilayah.
Istana yang ditinggalkan ayahandanya direhab akibat dari kerusakan besar, disamping didirka Mesjid baru di bekas Mesjid lama yang didirikan oleh datuknya, Sultan Syarif Kasim I.
pada tahun 1928, Hak Hutan Tanah kepunyaan Suku-suku dibawah kekuasaan Datuk-Datuk dihapuskan, dan diganti dengan uang sekaligus melalui Sultan Siak. Semua Datuk datuk baik kepala suku, maupun kepala Hinduk hinduk dan batiın dalam kerajaan Siak dibayar hak hutan tanahnya sekaligus. Ada yang menerima 1500 gulden, dan paling tinggi 10.000 gulden.
Ini terjadi kepada Datuk Dewa Pahlawan Kepala Suku Tujuh Hinduk di Bataian, sedangkan Datuk Laksamana Raja di Laut Bukit Batu tak mau menerima penggantian itu, dia menolak mentah-mentah.
Akhirnya Belanda untung tidak mengeluarkan uang penggantian sebanyak 50.000 untuk Datuk Laksamana.
Sedangkan politik penguasaan Belanda berjalan terus, kemudian di tahun itu juga ditiap Daerah diadakan belanda Boswesen untuk memungut cukai hasil hutan di seluruh Kerajaan Siak. Alasan Pemerintahan Belanda melakukan pengambilan alihan Hak Hutan Tanah itu, ialah untuk dipergunakan sebesar-besarnya demi kepentingan Rakyat banyak. Sultan tak percaya.
Perobahan ini menimbulkan ketegangan antara wakil Belanda dengan sultan, sehingga sewaktu Belanda diserang oleh Nazi Jerman 10 Mei 1940, hal itu dimanfaatkan Baginda dengan tidak menyetujui keinginan Belanda yg ingin membentuk Badan Pertahanan (staatswag) di Kerajaan Siak.
Hak milik atas tanah diberikan kepada Rakyat (hak Egendom) sedangkan kepada Bangsa asing hanya diberikan hak sewa.
Mengenai Heerendiensten (terkenal dengan nama Rodi), Baginda meminta Pemerintah Belanda agar tidak ada rakyatnya yang dikenakan kerja Rodi, Belanda mau asalkan bersedia mengganti dengan uang, Baginda pun membayar dengan uang.
Sultan Syarif Kasim II sempat menggunakan Jepang sebagai alat untuk melawan Belanda, sebagaimana dulu, datuknya juga sempat menggunakan Belanda untuk menghancurkan Inggris di selat Melaka, namun tak berlangsung lama, mulut manis Nippon tidak berbuah madu, lebih buruk dari Belanda.
Jepang kemudian menguasai pemerintahan secara struktural di wilayah Siak dengan dalih sebagai sekutu yang harus melindungi rakyat Asia dari jajahan bangsa Eropa.
Perjuangan Pergerakan Kemerdekaan
Sultan Syarif Kasim II sempat berfirasat di subuh 17 Agustus 1945 bahwa Indonesia sudah merdeka.
Dibawah tekanan Jepang, segala jalur telekomunikasi radio dan surat kabar yang menjadi sumber penghubung dari Riau ke dunia luar dijaga ketat 24 jam. Tak ada berita dari Jakarta yang sampai ke Riau, termasuk berita proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
Baginda mengutus telik sandi ke Jakarta, untuk memastikan firasat beliau benar adanya. Telik sandi itu kembali pada tanggal 28 Oktober 1945, benar bahwa Indonesia sudah merdeka.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan NKRI, Baginda membentuk badan perjuangan, seperti P.R.I. T.K.R, dan menyetujui semua laskar untuk menggunakan alat-alat militer kesultanan Siak peninggalan masa lampau.
Awal tahun 1946 Baginda berangkat ke Medan untuk menemui Mr. Teuku Muhammad Hassan, Gubernur Wilayah Sumatera setelah Indonesia merdeka yang pada waktu itu berkedudukan di Medan.
Di Medan Sultan Syarif Kasim II menyerahkan kedaulatan Kerajaan kepada Republik Indonesia, juga menyerahkan mahkota emasnya kepada Wakil Republik Indonesia itu di Bukit Tinggi, senilai 2 Juta rupiah dulu.
Di Medan baginda merasakan firasat tak enak, seakan tak ingin berlama-lama disini. Baginda pergi ke Pematang Siantar, Teuku Muhammad Hassan juga ikut dalam rombongan Sultan Syarif Kasim II dan keluarga.
Tak lama beberapa saat setelah itu, Revolusi Sosial di Sumatera Timur pecah, yang menjadi sasaran revolusi sosial itu adalah kaum bangsawan, para sultan dan keluarganya. Belanda dapat menduduki Medan, ibukota Provinsi Sumatera. Ibukota Provinsi Sumatera dipindahkan ke Pematang Siantar.
Mengungsi ke Aceh
Baginda setelah itu ke Kota Raja Aceh. Ketika ingin pulang, orang Aceh tak mengizinkan baginda keluar dari Aceh dalam waktu dekat. Lalu lintas antara Aceh dan Riau sangat berbahaya. Tentara Belanda dan mata-matanya ada dimana-mana. Terlebih sultan membawa serta keluarga kerajaan.
Sehingga sampai agresi pertama (1947) dan kedua (1948) beliau tetap berada di Kota Raja Aceh.
Ketika di Aceh, Sultan Syarif Kasim II turut memberi bantuan sumbangan bersama rakyat Aceh untuk membeli sebuah pesawat Dakota dan menjadi pesawat angkut pertama yang dimiliki bangsa Indonesia. Pesawat Dakota itu kemudian diberi nama Dakota RI-001 Seulawah. Seulawah sendiri berarti "Gunung Emas".
Di Siak Belanda membentuk Raad (Pengadilan tertinggi di Kerajaan Belanda), mereka dikirim ke Denhag dan dimanipulasi Belanda sebagai wakil resmi Siak dalam perundingan KMB.
Baginda di Kota Raja mendapat kabar itu, tidak menyetujui adanya Raad Belanda di Siak. Utusan ke KMB itu Baginda katakan tidak sah, tidak mengatasnamakan Siak. Sampai di Denhag utusan itu ditolak masuk perundingan, tidak diterima sebagai utusan Siak. Seterusnya selalu menyerukan melalui RRI Kota Raja agar rakyatnya terus berjuang sampai tercapai kemenangan Indonesia 100%.
Hari Tua dan Kematian
Setelah Belanda menyerah, Baginda Sultan Syarif Kasim II pindah ke Jakarta dengan mendapat hadiah Rumah tempat tinggal dari Pemerintah, letaknya di Jalan Pesuruan No. 3 Jakarta. Sehari-hari hidup sekeluarga hanya dari hasil Pensiunan sebesar Rp. 4.000. sebulan, sampai tahun 1963.
Selama berada di Jakarta kesehatan beliau mulai menurun dan sering sakit sakitan, akhirnya pindah ke Belakang Padang Kecamatan Batam sampai tahun 1964. Dimasa senjanya, beliau kembali ke Siak tinggal di Istana bersama isterinya yang terakhir Syarifah Fadlun.
Semasa berada kembali di Siak kehidupan Baginda sangat sederhana.
Sultan Syarif Kasim II wafat pada tanggal 23 April 1968 di Rumah Sakit Caltex Rumbai dan di makamkan dengan upacara MIliter di Siak Sri Indrapura.