Di Angke itu, masing-masing pasukan awalnya hanya menahan diri meski dekat dan saling berhadap-hadapan. Baru pada hari ke delapan pertempuran keduanya pecah. Wangsakara di situ tulisnya memimpin doa agar pasukan Banten memenangkan perang dan menghancurkan kompeni.
Setelah perang sehari, kedua pasukan kemudian jeda selama tiga hari. Pasukan Banten kemudian sepakat menggunakan strategi perang dadali dengan menyebar pasukan mengelilingi daerah musuh. Ada yang ke arah timur mengelilingi Jakarta bahkan ada yang bertugas membakar perkebunan.
Strategi ini rupanya berhasil dan pasukan Banten dapat merebut beberapa benteng pertahanan milik Belanda. Ada yang menguasai benteng belanda di Sudimara, hingga ada yang bisa menerobos ke timur Ciangke.
Pertempuran itu berakhir begitu ada perjanjian damai pada Juli 1659. Salah satu perjanjian itu menyepakati batas wilayah kekuasaan antara Kesultanan Banten dan kompeni Belanda yang menguasai Batavia.[5]
Biografi
Biografi Aria Wangsakara yang tepat sulit untuk dipastikan karena kisah-kisah kontradiktif yang muncul dalam teks yang berbeda, dan kurangnya bukti langsung. Ia muncul dalam sejumlah naskah adat antara lain Babad Tangerang dan Babad Banten. Di dalamnya ia disebutkan lahir sekitar tahun 1615 di Sumedang, dan merupakan putra dari Wiraraja I, anak dari prabu Kusumadinata II dan Harisbaya. Ia juga masih keturunan dari Syarif Abdulrohman dari Cirebon.[6] Narasi tradisional menyatakan bahwa, ketika Perusahaan Hindia Timur Belanda semakin berpengaruh di wilayah tersebut, Aria Wangsakara menolak kerjasama keluarganya dengan mereka dan pergi dengan dua kerabat pada tahun 1632, yakni Aria Santika dan Aria Yuda Negara, untuk pergi ke wilayah yang sekarang dikenal sebagai Tangerang di tepi Sungai Cisadane, di mana ia diberi izin untuk melindungi daerah ini oleh Sultan Abul Mafakhir. Di sana ia mendirikan pemukiman baru, yakni Kesultanan Lengkong Sumedang, di tepi barat Sungai Cisadane dengan dirinya sebagai sultan daerah dengan nama Sultan Lengkong. Selama dia memerintah di sana, dia dikatakan telah bekerja untuk menyebarkan Islam di wilayah sekitarnya, mendirikan pesantren baru pada tahun 1640-an.[3] Pada awal 1650-an, Perusahaan Hindia Timur Belanda membangun sebuah benteng di tepi seberang dari pemukimannya untuk menandakan batas wilayah kekuasaan mereka di daerah tersebut.[1] Wangsakara diperkirakan meninggal pada tahun 1681 dan dimakamkan di Pagedangan.[7]
Warisan
Sebagai pendiri Tangerang, sebuah jalan besar di kota ini dinamai menurut namanya (Jalan Arya Wangsakara). Makamnya, yang dikelilingi oleh makam ulama lain dari daerah itu, juga dijadikan situs sejarah resmi oleh Kabupaten Tangerang dan telah lama dikunjungi secara rutin oleh para peziarah.[8] Banyak penduduk Banten juga mengaku sebagai keturunannya, termasuk sejumlah ulama yang mengaku sebagai keturunannya dan kelompok pengikut aslinya.[9][10] Pada November 2021, bersama Tombolotutu, Aji Muhammad Idris, dan Usmar Ismail, ia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Indonesia Joko Widodo.[3]
^Uka, Tjandrasasmita (2009). Arkeologi Islam Nusantara (edisi ke-1st). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan École française d'Extrême-Orient dan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah. hlm. 121–129. ISBN978-979-9102-12-6. OCLC496610175.