Mr.Sutan Mohammad Amin Nasution (22 Februari 1904 – 16 April 1993) adalah seorang pengacara dan politikus keturunan Batak Mandailing.
Lahir di Aceh dari orangtua yang beretnis Batak Mandailing, Nasution menjadi pengacara setelah menyelesaikan studinya di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Setelah kemerdekaan Indonesia, ia terlibat dalam gerakan kemerdekaan, terutama menjabat sebagai GubernurSumatera Utara, meskipun dengan nama yang berbeda.[4] Ia juga menjabat sebagai GubernurRiau pertama.
Kehidupan awal
Nasution lahir pada tanggal 22 Februari 1904 di Lhoknga, Aceh Besar, dengan nama Krueng Raba Nasution. Ia lahir sebagai anak dari Muhammad Taif gelar Raja Aminuddin dan Siti Madinah, dari etnis etnis Batak Mandailing. Dia adalah anak kelima dari enam bersaudara yang dimiliki orang tuanya.[5]
Nasution belajar di Europeesche Lagere School (ELS, Sekolah Dasar Eropa) di Sabang pada tahun 1912. Tiga tahun kemudian, pada tahun 1915, ia pindah ke ELS di Solok, dan pada tahun 1916, ia pindah lagi ke ELS di Sibolga dan ELS di Tanjung Pinang hingga akhirnya lulus pada tahun 1918.[5]
Setelah lulus dari sekolah tersebut, ia melanjutkan studi di sekolah kedokteran STOVIA di Batavia pada tahun 1919. Di STOVIA, ia aktif dalam gerakan kemahasiswaan dan bergabung dengan Jong Sumatranen Bond (Persatuan Pelajar Sumatra). Ia hanya belajar di STOVIA selama dua tahun, sampai ia keluar pada tahun 1921.[5]
Selama masa studinya di Rechtschoogeschool, ia menjadi salah satu pendiri organisasi Pemuda Indonesia. Organisasi tersebut kemudian menggelar Kongres Pemuda Kedua di Batavia.[7][8]
Setelah Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pemerintah Indonesia dengan cepat membentuk provinsi dan mengangkat gubernur untuk provinsi. Provinsi Sumatera yang terdiri dari Karesidenan Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan dibentuk, dan Teuku Mohammad Hasan dilantik sebagai Gubernur provinsi pada tanggal 29 September 1945. Sumatera Utara terdiri dari Aceh, Tapanuli, dan Karesidenan Sumatera Timur.[9]
Sebagai Gubernur Sumatera, Hasan menunjuk tiga gubernur muda untuk bertindak sebagai wakilnya di Karesidenan. Nasution dilantik oleh Hasan sebagai Gubernur Muda Sumatera Utara pada tanggal 14 April 1947. Pelantikannya bertempat di Gedung Divisi Gajah II Siantar, dan dihadiri oleh Teuku Muhammad Daud Syah, Residen Aceh, Ferdinand Lumban Tobing, Residen Sumatera Utara, dan Abubakar Jaar, Residen Sumatera Timur.[8][10]
Pada awalnya diputuskan bahwa ibukota karesidenan Sumatera Utara adalah Medan, namun karena pendudukan Medan oleh tentara Belanda, diputuskan lokasi pelantikan Nasution, Siantar, sebagai ibu kota karesidenan. Beberapa waktu kemudian, Siantar diduduki oleh tentara Belanda, sehingga pemerintah kabupaten memutuskan untuk memindahkan ibu kota ke Kutaraja, Aceh.[11]
Meskipun Siantar diduduki tentara Belanda, Nasution serampangan mendatangi rumah ibunya di Desa Mandailing, Siantar. Ketika Nasution datang, rumah ibunya dikepung oleh tentara Belanda. Dia ditangkap dan dibawa ke Medan dengan pengawalan ketat. Dia dimasukkan ke dalam tahanan rumah di bawah pengawasan ketat di sebuah rumah milik seorang pria bernama Yusuf.[11]
Dalam masa tahanan rumahnya, Nasution mengamati persiapan pembentukan Negara Sumatera Timur yang dihadiri tokoh-tokoh di Sumatera Timur. Ia mencatat, ada beberapa simpatisan Republik Indonesia yang turut serta dalam persiapan tersebut. Dia juga menemukan gerakan bawah tanah yang melawan negara.[11]
Setelah 40 hari menjalani tahanan rumah, Nasution melarikan diri dari rumah tersebut. Ia meninggalkan Medan menuju Penang, dan setelah beberapa hari di Penang, ia kembali ke Aceh.[11] Pada 17 Januari 1948, ia diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai Gubernur Muda Sumatera Utara, dan diangkat sebagai anggota Mahkamah Agung Angkatan Darat dan diberi pangkat mayor jenderal, meskipun tidak memiliki pengalaman militer.[12]
Sebagai Gubernur Sumatera Utara
Dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 tanggal 15 April 1948 Provinsi Sumatera dihapuskan, dan Karesidenan Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan menjadi Provinsi. Nasution dilantik oleh Presiden Sukarno sebagai Gubernur Sumatera Utara pada tanggal 19 Juni 1948.[11] Pelantikannya dimulai pukul 20.00, dan dihadiri oleh Daud Beureu'eh, Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Karo.[13][14]
Pada masa jabatannya, ia mulai mencetak uang daerah untuk provinsi Sumatera Utara, yaitu Uang Republik Indonesia Sumatera Utara (URIPSU, Uang Republik Indonesia untuk Sumatera Utara). Kebijakan ini diterapkan untuk memperbaiki ekonomi yang dilanda perang, dan uang tersebut secara resmi dikeluarkan pada tanggal 1 Maret 1949 dengan tanda tangan Nasution di atasnya.[15]
Komisaris Pemerintah Sumatera Utara
Setelah pendudukan Jogjakarta, pusat pemerintahan Indonesia di Jawa dibubarkan. Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk pada tanggal 22 Desember 1948 di Bukittinggi, Sumatera Tengah (sekarang Sumatera Barat). Selama pemerintahan darurat ini, posisi gubernur dihapuskan, dan kekuasaan sipil dan militer diserahkan kepada gubernur militer.[16]
Di Sumatera Utara, Nasution menyerahkan kekuasaannya kepada Gubernur Militer Ferdinand Lumbantobing (untuk wilayah Tapanuli dan Sumatra Tenggara) dan Daud Beureu'eh (untuk Kabupaten Langkat dan Karo). Nasution sendiri menjadi Komisioner Pemerintah Pusat untuk Sumatera Utara pada 17 Mei 1949, dengan keputusan PDRI No. 23.[17]
Pasca terbentuknya Republik Indonesia Serikat, maka dibentuk Panitia Persiapan Negara Kesatuan Sumatera Timur (PPKNST) pada 14 Juli 1950 dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri. Tugas pokok panitia adalah mengintegrasikan Negara Sumatera Timur ke dalam Republik Indonesia. Nasution diangkat sebagai anggota komite.[8][18]
Dengan pembubaran resmi Negara Sumatera Timur pada 13 Agustus 1950, maka jabatan Gubernur Sumatera Utara ditetapkan pada 14 Agustus 1950. Sarimin Reksodihardjo, ketua PPKNST, diangkat sebagai penjabat Gubernur Sumatera Utara. Nasution kemudian menyerahkan posisinya kepada Sarimin.[19][20]
Setelah penyerahan kekuasaan kepada Sarimin, Nasution pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai pengacara.[15]
Pada masa jabatan keduanya, Nasution dihadapkan pada tuntutan Karesidenan Aceh untuk menjadi daerah otonom. Tuntutan ini meningkat menjadi pemberontakan bersenjata ketika mantan Gubernur Militer Aceh, Daud Beureu'eh, mendeklarasikan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia pada tanggal 20 September 1953. Sejak itu, permasalahan lain bermunculan dari pemberontakan ini, seperti konflik antara ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dan ulama non-PUSA, dan gerakan Sayid Ali.[22]
Setelah masa jabatannya sebagai Gubernur Sumatera Utara berakhir pada 12 Maret 1956, ia pindah lagi ke Jakarta dan bekerja di bawah Kementerian Dalam Negeri.[7]
Di Kementerian Dalam Negeri
Selama bekerja di Kementerian Dalam Negeri, Amin menjadi penggerak utama konsep otonomi daerah. Ia menjadi Ketua Panitia Divisi Regional Indonesia. Dia menduduki posisi tersebut sampai 31 Agustus 1956.[22]
Tuk Wan Haria, Muhammad (2006), Gubernur Sumatera dan Para Gubernur Sumatera Utara [The Governor of Sumatra and the Governors of North Sumatra] (dalam bahasa Indonesian), Medan: Library and Regional Archives Bureau of North Sumatra, ISBN9789791521208Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Sudirman (2015), "Mr. Sutan Muhammad Amin"(PDF), HABA (dalam bahasa Indonesian), 77, diakses tanggal 19 May 2020Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Information Bureau of North Sumatra (1953), Republik Indonesia: Propinsi Sumatera Utara (dalam bahasa Indonesian), Medan: Ministry of InformationPemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Sjamsuddin, Nazaruddin (1998), Revolusi di Serambi Mekkah: Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh, 1945-1949 (dalam bahasa Indonesian), Jakarta: Universitas IndonesiaPemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Ministry of Information (1954), Kami Perkenalkan (dalam bahasa Indonesian), JakartaPemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)