Algemeene Middelbare School dalam ejaan bahasa Belanda lebih baru Algemene Middelbare School disingkat AMS adalah pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda dengan masa studi tiga tahun yang menerima lulusan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs - pendidikan dasar yang diperluas - sekolah setingkat SMP waktu itu).
Peraturan Pendidikan 1848, 1892, dan Politik Etis 1901
Peraturan pendidikan dasar untuk masyarakat pada waktu Hindia Belanda pertama kali dikeluarkan pada tahun 1848, dan disempurnakan pada tahun 1892 di mana pendidikan dasar harus ada pada setiap Karesidenan, Kabupaten, Kawedanaan, atau pusat-pusat kerajinan, perdagangan, atau tempat yang dianggap perlu. Peraturan yang terakhir (1898) diterapkan pada tahun 1901 setelah adanya Politik Etis atau Politik Balas Budi dari Kerajaan Belanda, yang diucapkan pada pidato penobatan Ratu Belanda Wilhelmina pada 17 September 1901, yang intinya ada 3 hal penting yaitu irigrasi, transmigrasi, dan pendidikan.
Pada zaman Hindia Belanda anak masuk HIS pada usia 6 tahun dan tidak ada Kelompok Bermain (Speel Groep) atau Taman Kanak-Kanak (Frobels), sehingga langsung masuk HIS dan selama 7 tahun belajar. Setelah itu dapat melanjutkan ke MULO, AMS, atau Kweekschool.
Jalur pendidikan bagi orang Belanda dan Eropa di Hindia Belanda adalah:
Jalur sekolah bagi anak Belanda juga dapat dimasuki oleh anak Bumiputera dan Tionghoa yang terpilih, sedangkan bagi orang pribumi kebanyakan (bukan ningrat) jalur pendidikannya adalah HIS - MULO - AMS.
Bagi masyarakat keturunan Tionghoa biasanya memilih jalur HCS (Hollandsche Chineesche School atau "sekolah Belanda untuk orang Tionghoa") karena selain bahasa pengantar Belanda, juga diberikan bahasa Tionghoa.
Di luar jalur resmi Pemerintah Hindia Belanda, maka masih ada pihak swasta seperti Taman Siswa, Perguruan Rakyat, Kristen dan Katholik. Pada jalur pendidikan Islam ada pendidikan yang diselenggrakan oleh Muhammadiyah, Pondok Pesantren, dan lainnya.
Jalur Pendidikan AMS
Sampai awal abad ke-20, jalur pendidikan menengah di Hindia Belanda sangat terbatas. Untuk dapat meneruskan ke universitas, siswa harus melanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) - suatu sekolah lanjutan selama 5 tahun yang hanya bisa dimasuki oleh kaum Belanda, Eropa, serta pribumi terpilih. Jumlah HBS pun tidak banyak, hanya ada empat HBS di Hindia Belanda pada tahun 1915, yaitu Koning Willem III School te Batavia (didirikan pada tahun 1860), HBS Surabaya (1875), HBS Semarang (1877), serta HBS Bandung (1915).[1]
Untuk memberikan akses yang lebih baik kepada kaum pribumi, akhirnya dibuatlah sebuah jalur pendidikan menengah yang baru di Hindia Belanda. Pada tahun 1916 Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menerima usul dari sebuah komisi tentang pendidikan Algemeene Middelbareschool (AMS). Pada jalur pendidikan menengah ini ditempuh selama enam tahun dalam dua bagian. Bagian bawahnya disebut Meer Uitgebreid Lager OnderwijsMULOafdeeling der AMS – pendidikan menengah umum bagian pendidikan dasar yang diperluas, kemudian bagian kedua/atas disebut Voorbereidend Hooger Onderwijs afdeeling der Algemeene Middelbare School (VHO AMS) – pendidikan menengah umum bagian persiapan pendidikan tinggi.[1] Tamatan afdeeling VHO ini dapat diterima berdasarkan peraturan di perguruan tinggi di Negeri Belanda.[2]:2
AMS setara dengan SMA (Sekolah Menengah Atas) pada saat ini yakni pada jenjang sekolah lanjutan tingkat atas. AMS menggunakan pengantar bahasa Belanda dan pada tahun 1930-an, sekolah-sekolah AMS hanya ada di beberapa ibu kota provinsi Hindia Belanda yaitu Medan (Sumatra), Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Makassar (Indonesia Timur). Selain itu AMS ada di Yogyakarta (Kasultanan Yogyakarta), Surakarta (Kasunanan Surakarta) dan beberapa kota Karesidenan seperti di Malang. Selain itu ada beberapa AMS Swasta yang dipersamakan dengan Negeri, di provinsi Borneo (Kalimantan) belum ada AMS.
Banyak orang tua murid menyekolahkan anaknya ke AMS, karena dengan harapan dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu misalnya ke THS di Bandung (Technische Hoogeschool te Bandoeng - didirikan tahun 1920 - sekarang Institut Teknologi Bandung - ITB), RHS di Jakarta (Rechtshoogeschool te Batavia - didirikan tahun 1924 - sekarang Fakultas Hukum UI Jakarta), GHS di Jakarta (Geneeskundige Hoogeschool te Batavia - didirikan tahun 1927 - sekarang Fakultas Kedokteran UI Jakarta), Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte (fakultas sastra dan filsafat - didirikan tahun 1940 di Jakarta), atau ke Bogor di Faculteit der Landbouwwetenschap (fakultas pertanian - didirikan tahun 1940 - sekarang Institut Pertanian Bogor - IPB). Melalui AMS berarti harus menyelesaikan MULO lebih dahulu yang tersebar di hampir semua provinsi yang hanya berjumlah delapan, sedangkan kalau melalui HBS hanya ada di Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, atau Medan.
Jalur A afdeling atau SMA Bagian-A pada tahun 1951 atau sekarang Sastra-Budaya, di mana akan ditekankan pada ilmu sastra dan budaya, tentu saja jalur ini hanya untuk meneruskan ke RHS dan fakultas sastra dan filsafat saja.
Jalur B afdeling atau SMA Bagian-B pada tahun 1951 atau sekarang Paspal, di mana akan ditekankan pada ilmu alam dan ilmu pasti, jalur ini dapat ke semua jurusan THS, RHS, GHS, fakultas sastra dan filsafat, ataupun fakultas pertanian.
Perkembangan
Tingkat pendidikan di AMS memiliki standar yang sama dengan sekolah-sekolah di Belanda, sehingga bukan merupakan sesuatu hal yang aneh ketika ada murid yang drop out karena tidak mampu mengikuti pelajaran. Meskipun demikian, pada tahun 1922 AMS B berhasil mewisuda lulusan pertamanya sebanyak 32 orang.
Ketigapuluhdua lulusan pertama ini terdiri dari 13 orang berkebangsaan Eropa, 14 orang pribumi dan 5 orang etnis Tionghoa. Hanya ada tiga orang wanita di antara 32 orang yang lulus pada tahun tersebut. Dari 32 lulusan itu, 12 diantaranya melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng. Sebagian lagi melanjutkan pendidikan di negeri Belanda.[1]
AMS dianggap berhasil memberikan perbaikan dalam pendidikan menengah di Hindia Belanda, utamanya untuk kaum pribumi. Setelah AMS pertama dibuka di Jogja pada tahun 1919, menyusul kemudian AMS A.II dibuka di Bandung pada tahun 1920, AMS A.I di Surakarta pada tahun 1926 dan AMS B di Malang pada tahun 1927.
Dalam 10 tahun perjalanannya, AMS B telah berhasil meluluskan 292 siswa. Ada 38 orang yang melanjutkan pendidikan di TH Bandung, ditambah 12 orang lagi yang sudah lulus dan menerima gelar Insinyur di bidang teknik sipil. Sedangkan dari para alumni yang melanjutkan pendidikan di Belanda, tujuh diantaranya melanjutkan di Delft. Selain itu, tidak sedikit yang melanjutkan pendidikan kedokteran dan hukum di Weltevreden.[1]
Patut menjadi catatan tersendiri, adalah jumlah murid pribumi yang lulus dari AMS B Yogyakarta. Dalam 10 tahun, AMS B telah meluluskan 168 murid yang berasal dari kaum pribumi. Jumlah ini adalah sekitar 57.5% dari jumlah seluruh lulusan AMS B. Jumlah tersebut lebih banyak dibanding jumlah seluruh lulusan pribumi keempat HBS di Hindia Belanda. Sepanjang eksistensi HBS yang sudah lebih dari 60 tahun ada di Hindia Belanda, tercatat hanya ada 147 lulusan HBS yang berasal dari kaum pribumi. Bandingkan dengan 168 alumni pribumi AMS B dalam 10 tahun. Hal ini merupakan suatu cerminan kesuksesan AMS B dalam memperbaiki pendidikan menengah di Hindia Belanda, namun di sisi lain juga memperlihatkan betapa akses pendidikan bagi kaum pribumi masih sangat terbatas pada masa itu.[1]
Guru AMS
Pada waktu itu, para guru AMS berpendidikan tinggi dari RHS, THS, GHS, ataupun LHS. Sehingga misalnya guru aljabar pada umumnya menyandang gelar Ir., guru sejarah menyandang gelar Mr., guru botani menyandang gelar dokter (Arts), dan sebagainya.