Setelah lulus AMS tahun 1922, Palar meneruskan ke jenjang pendidikan tingginya di Technische Hoogeschool te Bandoeng, yang sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB) selama sekitar satu tahun. Di kampus ini, Palar bertemu dengan Sukarno dan mahasiswa nasionalis lainnya dan aktif dalam menyelenggarakan pertemuan dan pidato nasionalis. Karena dilanda sakit yang parah, Palar hampir satu tahun terbaring di tempat tidur dan terpaksa menghentikan kuliahnya dan kembali ke Minahasa. Setelah sembuh ia bekerja sebentar di Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM).[1]
Pada tahun 1924 Palar memulai kembali kuliahnya di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, cikal-bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia). Di sana ia bergabung dengan paham sosialis-demokrat melalui seorang anggota Volksraad yaitu J. E. Stokvis, Ketua Indische Sociaal-Democratische Partij (ISDP - Partai Sosialis-Demokrat Hindia). Setelah pemberontakan komunis tahun 1926 gagal di Jawa dan Sumatra, pemerintah Hindia Belanda mengambil tindakan represif termasuk deportasi ke Boven Digoel. Melihat kondisi tersebut, keluarga Palar mencari perlindungan di tempat lain. Pada tahun 1928, Palar pindah ke Belanda.[1] Pada tanggal 4 Agustus 1928 Palar berangkat dari Batavia menuju Rotterdam, Belanda dengan kapal "Tabanan" yang tiba di tujuan pada bulan September 1928.[2]
Karier politik di Belanda
Pada tahun 1930, Palar menjadi anggota Sociaal-Democratische Arbeiders Partij (SDAP) setelah SDAP melaksanakan Kongres Kolonial dan mengadakan pengambilan suara yang menyatakan beberapa posisi partai termasuk hak kemerdekaan nasional untuk Hindia Belanda tanpa syarat. Palar menjabat sebagai sekretaris Komisi Kolonial SDAP dan Nederlands Verbond van Vakverenigingen (NVV) mulai Oktober 1933. Dia juga adalah direktur Persbureau Indonesia (Persindo) yang ditugaskan untuk mengirim artikel-artikel tentang sosial demokrasi dari Belanda ke pers di Hindia Belanda. Pada tahun 1938, Palar kembali ke tanah airnya bersama isterinya, Johanna Petronella Volmers, yang dinikahinya pada tanggal 26 Juni 1935.[1] Dia mengunjungi berbagai daerah di Indonesia untuk menghimpun informasi. Dia menemukan bahwa gerakan kemerdekaan Indonesia sedang giat dan dia menulis tentang pengalamannya pada saat dia kembali ke Belanda.[3]
Selama pendudukan Jerman di Belanda ketika Perang Dunia II, Palar tidak bisa bekerja untuk SDAP sehingga dia bekerja di laboratorium Van der Waals. Dia juga bekerja sebagai guru bahasa Melayu dan sebagai gitaris orkestra keroncong. Sementara perang, Palar dan istrinya tergabung dalam gerakan bawah tanah anti-Nazi.[4]
Setelah perang, Palar terpilih menjadi anggota Tweede Kamer dari partai Partij van de Arbeid (PvdA), sebuah partai baru yang bermula dari SDAP.[3][5] Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Palar mendukung pernyataan ini dan mempromosikan hubungan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia. Hal ini tidak disambut baik oleh PvdA sehingga menyebabkan partai ini menjauhkan diri dari posisi yang sebelumnya mendukung hak kemerdekaan Indonesia.[3] Setelah ditugaskan untuk mengadakan misi ke Indonesia, Palar sempat bertemu kembali dengan para pemimpin kemerdekaan Indonesia. Di Belanda, Palar berusaha untuk mendesak penyelesaian konflik antara Belanda dan Indonesia tanpa kekerasan, tetapi pada tanggal 20 Juli1947 parlemen Belanda menyetujui untuk melakukan aksi polisionil di Indonesia. Palar kemudian mengundurkan diri sebagai anggota parlemen dan anggota PvdA.[5]
Karier diplomatik
Palar bergabung dengan usaha pengakuan internasional kemerdekaan Indonesia dengan menjadi Wakil Indonesia di PBB pada tahun 1947. Posisi ini dijabatnya sampai tahun 1953. Pada masa jabatannya peristiwa-peristiwa penting terjadi seperti konflik antara Belanda dan Indonesia, pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda, dan masuknya Indonesia menjadi anggota PBB.[3][4][5]
Pada saat konflik antara Belanda dan Indonesia, Palar memperdebatkan posisi kedaulatan Indonesia di PBB dan di Dewan Keamanan walaupun pada saat itu dia hanya mendapat gelar "peninjau" di PBB karena Indonesia belum menjadi anggota pada saat itu. Setelah Agresi Militer II yang dikecam oleh Dewan Keamanan PBB, Perjanjian Roem Royen disetujui yang kemudian diikuti dengan Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember1949.
Indonesia menjadi anggota ke-60 di PBB pada tanggal 28 September1950.[6] Pada saat berpidato di muka Sidang Umum PBB sebagai Perwakilan Indonesia di PBB paling pertama, Palar berterima kasih kepada para pendukung Indonesia dan berjanji Indonesia akan melaksanakan kewajibannya sebagai anggota PBB. Palar tetap di PBB sampai saat dia ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia di India pada tahun 1953.[5] Pada tahun 1955, Palar diminta kembali ke Indonesia dan ikutserta dalam persiapan Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika, yang mengumpulkan negara-negara di Asia dan Afrika di mana kebanyakan dari negara tersebut baru merdeka.[5] Setelah pelaksanaan konferensi, Palar memulai kembali tugas diplomatisnya melalui jabatan Duta Besar Indonesia untuk Uni Soviet merangkap Jerman Timur.[7]:232 Dari tahun 1957 sampai 1962, dia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Kanada dan setelah itu kembali menjadi Duta Besar di PBB sampai tahun 1965.[5] Karena konflik antara Indonesia dan Malaysia dan setelah Malaysia terpilih untuk masuk Dewan Keamanan PBB, Sukarno mencabut keanggotaan Indonesia di PBB. Palar kemudian menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat.[5] Pada saat kepemimpinan Suharto pada tahun 1966, Indonesia kembali meminta masuk keanggotaan PBB melalui pesan yang disampaikan kepada Sekretaris Jendral PBB oleh Palar.[4]
Akhir kehidupan
Palar pensiun dari tugas diplomatisnya pada tahun 1968 setelah melayani bangsanya dalam permulaan usaha dan konflik Indonesia dan setelah dia berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dalam arena diplomatis. Palar kembali ke Jakarta, tetapi tetap giat melalui tugas mengajar, pekerjaan sosial, dan tugasnya sebagai penasehat Perwakilan Indonesia di PBB.[5]
Palar meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 13 Februari 1981. Dia meninggalkan isterinya, Johanna Petronella "Yoke" Volmers, dan anak-anaknya Mary Elizabeth Singh, Maesi Martowardojo, dan Bintoar Palar.
Sumber
^ abcdKesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama bwsa
^Turambi, Judie (2017). Lambertus Nicodemus 'Babe' Palar: The First Indonesian Ambassador to the United Nations, Diplomat Legendaris Indonesia: From Tomohon to New York. Yogyakarta: Matapadi Presindo. ISBN9786021634233.
Bacaan lebih lanjut
Drooglever, P., Schouten, M., and Lohanda M. (1999) Guide to the Archives on Relations between the Netherlands and Indonesia 1945-1963. Institute of Netherlands History.
Hansen, E. (1977) The Dutch East Indies and the Reorientation of Dutch Social Democracy, 1929-40. Indonesia, 23.
Kahin, G. (1981) In Memoriam: L. N. Palar. Indonesia, 32.
Saxon, W. (1981) Lambertus N. Palar Dead at 80; Battled for Indonesia's Freedom. New York Times, February 15, 1981.