Ahmad al-Muhajir
Ahmad al-Muhajir (bahasa Arab: أحمد المهاجر, Aḥmad al-Muhājir, pelafalan dalam bahasa Arab: [ɑhmɑd ɑl muhɑːdʒiɽ]; 260–345 H atau ca 873–956 M)[1] juga dikenal sebagai al-Imām Aḥmad bin ʿĪsā adalah seorang Imam, Mujtahid, dan diklaim sebagai nenek moyang klan Ba 'Alwi dan al-Qabiji[sumber mendukung?] yang kemudian menyebar ke India, Asia Tenggara dan Afrika Utara. Dia adalah salah satu keturunan Ali al-Uraidi,[2] yang merupakan anak keempat dari Ja'far ash-Shadiq, generasi kelima keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah, putri nabi Islam Muhammad. Dia juga dikenal sebagai teman baik Bisyr al-Ḥāfī. Kehidupan awalMenurut riwayat lain, Ahmad diperkirakan lahir pada tahun 241 Hijriah, atau 854 M;[3] tapi ini dicatat sebagai opini yang lebih lemah. Ada versi lain yang menyatakan bahwa ia telah lahir pada tahun pada 234 Hijriyah dan tinggal di Madinah [4]. Aḥmad tumbuh di bawah pengawasan orang tuanya dalam lingkungan yang dikelilingi oleh para ulama dan teladan hidup karakter kenabian. Ia hafal Al-Qur'an dan kemudian menguasai ilmu-ilmu hukum suci hingga mencapai derajat mujtahid. Ia juga memiliki koleksi hadisnya sendiri (musnad, bukan Musnad Ahmad) dan sangat dihormati oleh Imam Sunni ath-Thabari. MigrasiMeskipun ia lahir pada abad ke-3 Hijriyah, kisah migrasinya ke Hadramaut baru tercatat pada abad 10 Hijriyah dan keatas. Ketiadaan rekam jejak peristiwa migrasinya di kitab abad 3-9 Hijriyah menimbulkan pertanyaan terhadap eksistensi al-Muhajir sebagai tokoh historis di Yaman.[5] Aḥmad bin Isa disebut al-Muhâjir (imigran) karena ia meninggalkan Basra, Irak pada masa Kekhalifahan Abbasiyah yang beribukota di Baghdad di tahun 317H (929 M). Aḥmad bin Isa meninggalkan Basra bersama istrinya, putranya, Abdullah, (yang lebih dikenal sebagai Ubaidillah) dan cucunya dari Ubaidillah (dikenal sebagai Basri). Bersama mereka juga hadir nenek moyang Syarif Muḥammad bin Sulayman, kakek dari keluarga Ahdal dan Syarif Aḥmad al-Qudaimi, kakek dari keluarga Qudaimi, dan rombongan berjumlah 70 orang. Dia meninggalkan ketiga putranya yang lain, Muḥammad, Ali dan Husain di Irak untuk mengurus kekayaan dan harta benda mereka.[butuh rujukan] Pertama-tama, ia pergi ke Madinah dan Makkah, kemudian dari Makkah ke Yaman pada sekitar tahun 319 H. Beliau hijrah pada saat terjadi banyak pertikaian internal, pertumpahan darah dan kekacauan di Irak, dimana sejumlah besar keturunan Muhammad dianiaya karena alasan politik oleh penguasa Abbasiyah dan juga karena terjadi kekacauan akibat pemberontakan melawan pemerintahan Abbasiyah yang dilakukan oleh kaum Qaramitah.[6][7] Ahmad berangkat ke Yaman pada tahun 319 H bersama rombongannya dan akhirnya mencapai Hadhramaut, sedangkan Aḥmad al-Qudaimi menetap di Yaman utara dan Syarif Muḥammad bin Sulaiman di Tihamah di pesisir Laut Merah. Dia pertama kali menetap di desa Jubail dan kemudian Hajrain. Selanjutnya ia melakukan perjalanan ke desa Qarat Bani Jusyair dan akhirnya menetap di al-Husayyisah dekat Seiyun. Kehidupan selanjutnyaAhmad tiba di Hadhramaut pada saat sebuah cabang dari sekte Khawarij yang disebut Ibadiyah memegang kekuasaan politik dan memiliki pengaruh luas di seluruh lembah. Dia bertahan dalam menyebarkan keyakinan teologisnya sendiri sampai dia hampir sendirian menyingkirkan sekte Ibadi dari Hadhramaut tanpa pernah mengangkat senjata melawan mereka.[8] Ahmad meninggal dunia pada tahun 345 H atau 956 M di al-Husaisah, sebuah kota antara Tarim dan Seiyun, Hadhramaut. Kuilnya berdiri di atas bukit dan merupakan salah satu kuil pertama yang dikunjungi pengunjung Hadhramaut ketika mengunjungi daerah tersebut [9]. Makam Ahmad bin Isa belum ditemukan pada akhir abad 9 Hijriyah dan baru ditemukan berdasarkan petunjuk 'gaib' / kasyaf pada sekitar abad 10 Hijriyah [10] Aliran pemikiranAda kontroversi tentang apa mazhab yang diikuti oleh Aḥmad bin ʻIsa. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa dia adalah seorang imam Sunni. Beberapa ulama lainnya seperti ʻAbdurraḥman bin ʻUbaidillah as-Saqqāf, Ṣalih al-Ḥamid, dan Sayyid ʻAbdullah bin Ṭāhir al-Ḥaddād (saudara laki-laki Alwi bin Thahir al-Haddad, Mufti dari Johor) dan beberapa lainnya berpendapat bahwa dia adalah seorang pengikut Syiah Zaidiyah.[11][12][13] Namun mayoritas keturunannya menganut Islam Sunni. Mengenai Mazhab hukum apa yang dianutnya, ʻAbdurraḥman bin ʻUbaidillah as-Saqqāf menyatakan bahwa al-Muhajir tidak menganut paham fikih Syafi'i. As-Saqqāf menegaskan bahwa Aḥmad bin Isa adalah seorang mujtahid, dia tidak perlu mengikuti madzhab apapun.[14] Keturunan dan posisiPada awalnya istilah "Alawi" diberikan kepada seluruh keturunan Ali bin Abi Thalib, baik Hasan dan Husain. Kemudian untuk membedakan keturunan Alawi bin Ubaidillah maka digunakanlah gelar Aal Bani Alawi atau Ba 'Alwi. Sayyid dari keluarga Ba 'Alawi sada Yaman menelusuri keturunan mereka hingga Aḥmad al-Muhâjir melalui cucunya, Alawi "Sahib al-Sumal" bin Ubaidillah.[15] Berdasar catatan pustaka dari Belanda , beberapa dari Wali Sanga di Indonesia dalam beberapa tradisi diklaim sebagai keturunannya juga dari jalur Azamatkhan.[16] Akan tetapi ada sumber lain yang mengatakan bahwa Wali Sanga bukanlah keturunan Ahmad al Muhajir.[17] Ubaidillah, atau dikenal juga dengan sebutan Alawi al-Awwal (Alawi pertama) adalah keturunan pertama yang lahir di Yaman (satu versi mengatakan ia lahir di al-Husaisah, versi lain mengatakan dia lahir di Sumal). Kata Bā dalam Ba 'Alawi sada adalah istilah khas Hadhrami yang berarti keturunan.[18] Saat ini keturunan Ahmad melalui Alawi bin Ubaidillah tersebar paling banyak hingga Yaman, Afrika, terutama di Kenya (Lamu, Mombasa, Malindi) Tanzania, Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Brunei, beberapa di Singapura, Filipina Selatan dan beberapa di Thailand), dan Asia Selatan (Pakistan dan India). Beberapa keturunan terkemuka Imam Ahmad adalah Muhammad al-Faqih al-Muqaddam pada abad ke-13, Sayyid Abu Bakar al-Aydarus dari Tarim dan Azmatkhan di India, Sunan Ampel di Indonesia pada abad ke-15, Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad pada abad ke-17, Raden Saleh bin Yahya (seorang bangsawan dan seniman) pada abad ke-19 Haidar Abu Bakr al-Attas (mantan perdana menteri Yaman), Umar bin Hafidz dari Tarim, Ali al-Jifri dari Jeddah di abad ke-21. Beberapa keturunannya di Indonesia antara lain diklaim sebagai Abdullah bin Syeikh al-Aydarus, Habib Ali Kwitang, Ali Alatas, Alwi Shihab, dan Hamid Algadri. Habib Umar bin Hafiz dari Yaman menempati nomor 1 di daftar The 500 Most Influential Muslims untuk tahun 2024,[19] yang disusun tahunan oleh Georgetown University's Prince Al-Waleed Center for Muslim–Christian Understanding and the Royal Islamic Strategic Studies Centre of Jordan. Aḥmad al-Muhâjir dianggap sebagai seorang Imam Mujtahid, yang berarti ia dianggap sebagai salah satu sumber utama keputusan masalah agama. Polemik keturunanTerdapat beberapa versi mengenai keturunan Ahmad al Muhajir, Kitab Abna’ul Imam fi Mishro Wasyam misalnya, yang ditulis pada abad ke-5 H menulis ahwa Ahmad bin Isa memiliki empat anak, yaitu Muhammad, Ali, Husein dan Ubaidillah. Penggunaan kitab tersebut sebagai sumber primer dalam ilmu sejarah, mendapat kritikan keras karena Yusuf Jamalullail sebagai pentahqiq, telah memberikan pengakuan dalam mukaddimah, bahwa kitab ini sudah mendapat penambahan di sana-sini oleh para mualliq.[20] Sementara itu, kitab Syajarah Mubarakah yang ditulis pada abad ke-6 H menyebutkan bahwa anak Ahmad bin Isa hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain, dan tanpa menyebutkan Ubaidillah.[21] Ubaidillah sebagai tokoh abad ke-4 H tidak tercatat dalam kitab-kitab sezaman atau yang mendekatinya sebagai putra al-Muhajir. Kitab-kitab nasab dan sejarah telah banyak ditulis pada abad ke 4 sampai 9 Hijriyah, namun tidak ada yang menyebutkan bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah.[22] Banyak kitab nasab dan sejarah, mulai abad 9 H dan seterusnya, yang menulis Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa kesemuanya akan bermuara merujuk kepada kitab Al-Burqah karya Ali al-Sakran dari klan Ba’alwi sendiri abad ke-9 H. Di abad ke-9 dan hingga saat ini, klan Ba’alwi bukan hanya berhasil membangun kontruksi nasab mereka terkoneksi kepada Nabi Islam Muhammad melalui Ubaidillah, tetapi mereka juga telah berhasil membangun kesejarahan leluhur mereka dengan kesejarahan yang luar biasa.[23]Nama "Ba-Alawi" telah disebut dalam buku abad 8. Sebuah manuskrip yang ditulis Imam Tirmidhi antara 589 H, membantah kliam ini dengan penyebutan nama Muhammad Sahib Mirbath dari keluarga Ba'alawi.[24][25] Ahli keturunan dari abad 8 Hijriah, Bahaudin Al-Janadi dalam bukunya As-Suluk Fi Tabaqatil Ulama Wal Muluk[26] menulis,
Referensi
Pranala luar
|