Barisan Pelopor (Bahasa Jepang: 推進体 Suishintai) adalah sayap pemuda dari Jawa Hokokai yang dibentuk Agustus 1944 oleh Ir. Soekarno. Barisan Pelopor dipimpin oleh Ir. Soekarno, Sudiro, Dr. Moewardi, RP. Suroso, Otto Iskandardinata dan Dr. Boentaran Martoatmodjo. Seragam Barisan Pelopor tidak mengenakan seragam khusus layaknya sebuah pasukan, tetapi hanya menggunakan lencana kepala banteng di dalam lingkaran yang dipasang pada baju bagian dada sebelah kiri sebagai ciri.[1] Pada akhir tahun 1945, anggota laskar ini kurang lebih ada 60.000 orang pemuda. Jumlah anggota yang hanya bisa diimbangi dan dikalahkan oleh Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Hizboellah (Masyumi), dan Lasjkar Rakjat (Murba).[2] Setelah kemerdekaan, organisasi ini dikenal dengan nama Barisan Banteng. Barisan ini dikerahkan untuk mendengarkan pidato dari pemimpin-pemimpin nasionalis. Selain itu, mereka dilatih untuk menggerakan masa yang banyak, memperkuat pertahanan militer dan melakukan kegiatan untuk kesejahteraan rakyat. Melalui Barisan Pelopor, golongan muda terpelajar berusaha mengorbankan semangat rakyat dalam membela tanah air dan meningkatkan rasa persaudaraan untuk menguatkan perlawanan.[3]
Pembentukan
Pada pertengahan tahun 1944, diadakan rapat Dewan Pertimbangan Pusat (中央参議院 Chuuou-Sangi-In). Salah satu keputusannya adalah merumuskan cara untuk menumbuhkan rasa cinta pada tanah air dan mempererat persaudaraan antara rakyat untuk mencegah penyerangan langsung maupun tidak langsung dari musuh. Atas dasar ini, Jepang membentuk barisan pelopor. Karena pada saat itu tanah air masih dikuasai Jepang, organisasi ini dibentuk untuk mendukung perjuangan Jepang dalam melawan sekutu dengan dalih mempertahankan Indonesia. Organisasi ini berkembang di perkotaan. Kegiatan utamanya adalah melatih kemiliteran kepada anggotanya. Walaupun dengan alat yang sederhana, seperti menggunakan senapankayu dan bambu runcing. Seluruh anggota barisan pelopor itu heterogen dan terdiri dari berbagai kalangan pemuda, baik itu yang terpelajar, pendidikan rendah, atau tidak berpendidikan sama sekali. Dari sistem ini diharapkan terbangun solidaritas untuk persatuan dan kesatuan seluruh anggota.[4]