Frits Maurits Kirihio (lahir di Serui, Kabupaten Yapen pada 1934–meninggal di Jayapura pada 12 Agustus 2018)[1] adalah seorang sarjana Papua pertama. Ia belajar dalam jurusan ilmu sosiologi di Universitas Leiden.[2]
Kehidupan awal
Frits Kirihio dilahirkan di Serui, Kepulauan Yapen sekitar tahun 1934 dengan nama Frits Maurits Kiriho dari keluarga guru zending.
Dalam perjalanannya, Frits termasuk murid terpandai mulai dari sekolah kampung di Yapen jaman Jepang, HBS jaman Belanda di Hollandia hingga pada umur 16 atau pertengahan tahun 1950-an, Kiriho mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda untuk menempuh pendidikan di Universitas Leiden.
Ia mendapat beasiswa tersebut karena menjadi siswa cerdas di Sekolah Pendidikan Amtenar Pribumi (OSIBA).
Dalam beasiwa tersebut, berlaku ikatan dinas berlaku dalam beasiswa itu. Pada saat yang sama, Belanda sedang berkonflik dengan Indonesia mengenai status kekuasaan wilayah Papua yang dulu masih disebut Irian Barat.
Sejarawan Belanda, P.J. Drooglever dalam bukunya Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri menulis bahwa jelang pemilihan anggota Nieuw Guinea Raad di tahun 1960-an, Frits Kiriho memilih mengambil cuti ke Papua.
Dari berbagai diskusi dengan para tokoh dan pemuda Papua yang terdidik lainnya, mulai muncul kesadaran politik dalam diri Frits Kiriho.
Ia bersama rekannya, ikut menggawangi lahirnya Partai Nasional (Parna) pada 10 Agustus 1961 bertempat di gedung 'serbaguna' Hamadi bersama Herman Wajoi (ketua) dan Amos Indey (sekretaris).
Parna bertujuan mempercepat kemerdekaan rakyat Papua dengan mengusung nasionalisme Papua. Selambat-lambatnya cita-cita Parna ini hendak dicapai pada 1970.
“Kirihio di Belanda dapat mengikuti langkah demi langkah diskusi mengenai masa depan Papua, dan dapat dimengerti ia tidak tenang dengan itu,” tulis Drooglever.
Sedangkan, menurut sejarawan asal Papua, Bernarda Meteray, sosok Frits Kiriho yang justru menyampaikan bahwa Frits Kirihio telah mengetahui keraguan di kalangan orang Belanda perihal Papua, apakah bisa menjadi suatu negara merdeka.
Dalam aktivitasnya di Parna, Frits membuka kesempatan berdialog dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana termuat dalam suratnya pada November 1960 yang dikutip Bernarda dari arsip nasional Belanda, Frits mengatakan, “Kami menginginkan perdamaian di NNG (Papua) dan termasuk Indonesia," kata Frits dikutip dari disertasi Bernarda Meteray, Penyemaian Dua Nasionalisme: Papua Dan Indonesia Di Nederlands Nieuw Guinea Pada Masa Pemerintah Belanda, 1925-1962.
Pertemuan dengan Sukarno
Begawan jurnalisme Indonesia yang juga Sejarawan, dikutip Rosihan Anwar dari buku Vlasbom sebagaimana dilansir dalam Tabloid Suara Perempuan Papua, 16 Oktober 2008 pernah menulis bahwa Jurnalis Belanda Dirk Vlasbom dalam buku Papoea Een Geschiedenis (Papua Sebuah Sejarah) mengungkapkan bahwa Frits menjadi utusan Parna yang pergi ke Jakarta setelah Presiden Sukarno mendeklarasikan Trikora Pembebasan Irian Barat pada 19 Desember 1961.
Frits berhasil masuk ke Indonesia atas bantuan Kolonel Donald I. Pandjaitan, atase militer Indonesia di Bonn, Jerman. Pandjaitan membekali Frits dengan paspor Indonesia.
Di Jakarta, Frits diterima oleh Jenderal Abdul Haris Nasution di kediamannya, Jalan Teuku Umar. Dari sana, Frits dibawa ke Istana Bogor menemui Presiden Sukarno.
“Frits, saya tidak punya apa-apa terhadap orang-orang Papua, kalian adalah saudara-saudara kami, tapi orang Belanda harus pergi. Kalau kalian mau merdeka, kalian akan mendapatkannya dari saya, dan bukan orang-orang Belanda,” kata Sukarno kepada Frits.
Pernyataan Sukarno itu sepertinya menumbuhkan simpati Frits akan itikad baik Indonesia. Pada 2 Januari 1962, Bung Karno memperkenalkan Frits ketika berpidato di Parepare, Makassar. Dalam kesempatannya memberikan sambutan, Frits menyatakan dukungannya terhadap pemerintah Indonesia atas Irian Barat yang disambut dengan sorak-sorai rakyat.
Penampilan Frits Kirihio bersama Sukarno itu jadi berita besar dalam media massa Indonesia. Kolaborasi ini sekaligus membantu kampanye Indonesia untuk menekan Belanda lewat pembentukan opini publik internasional.
Harian Warta Bakti, 7 Januari 1962 mewartakan, “Hal ini membuat pemerintah Belanda marah mengingat Frits adalah mahasiswa Universitas Leiden yang dibiayai oleh ambtenaar Belanda di Irian Barat.”
Menurut Frits, berafiliasi dengan pemerintah Indonesia merupakan satu-satunya solusi untuk menyelesaikan persoalan Papua.
Keyakinan ini dipengaruhi anggapan Frits bahwa setiap provinsi di Indonesia memiliki kesempatan untuk memerintah sendiri.
Frits bahkan menegaskan bawah realisasi hak menentukan nasib sendiri tidak mungkin tanpa pemerintah Indonesia.
“Dia (Frits) beranggapan Papua akan memperoleh status sendiri apabila diserahkan kepada Indonesia,” kata Bernarda Meteray dalam disertasinya yang dibukukan dalam Nasionalisme Ganda Orang Papua.
Selain itu, Presiden Soekarno menunjuk Herman Wayoi, E.J. Bonay, dan Fritz Kirihio sebagai anggota MPRS asal Irian Barat dari utusan partai PNI.
Mereka bertiga bergabung bersama delegasi Irian Barat lainnya, yaitu Karubuy, AL Marani, NL Suwages dan Pdt. Frist Karubaba.
Kehidupan selanjutnya
Pada tahun 1962, Kirihio juga dikirim ke New York sebagai bagian delegasi Indonesia yang dipimpin Subandrio. Beberapa wakil Papua lainnya yang terlibat seperti J.A. Dimara, M. Indey, Albert Karubuy, Silas Papare dan Efraim Somisu,[3] sehingga lahirnya Perjanjian New York. Frits Kirihio dan Efraim Somisu menjadi perwakilan partai PARNA.
Pada 15 Agustus 1962, Indonesia memenangkan sengketa Irian Barat melalui perjanjian New York. Tidak lama setelah itu, Frits kembali ke Belanda dan tinggal beberapa hari untuk menyelesaikan urusan pribadi.
Setelah menyelesaikan urusannya, Frits kembali lagi ke Indonesia. Frits sempat menjadi penasihat Menteri Luar Negeri Soebandrio dalam Sekretariat Urusan Irian Barat.
“Frits Kirihio kemudian berjuang untuk meyakinkan dunia bahwa West Nieuw Guinea merupakan bagian dari Indonesia, dan ia diangkat menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara,” tulis Johannes Rudolf Gerzon Djopari dalam tesisnya yang dibukukan Pemberontakan Organisasi Indonesia Papua Merdeka.
Arsip Nasional Belanda yang menyimpan potret Frits pada 19 Agustus 1962 menuliskan deskripsi bernada antipati.
Frits Kirihio disebut sebagai mahasiswa Papua kontroversial, yang menyebabkan kehebohan setelah perjalanannya ke Jakarta. Oleh koleganya sesama putra Papua yang pro Belanda, Frits dan beberapa anggota lain Partai Nasional (Parna) seperti Eliezer Jan Bonay dan Herman Wayoi yang mengadvokasi untuk bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dianggap pengkhianat. Kena U Embay, partai politik lainnya yang mendorong Papua untuk bergabung dengan Negara Belanda, menanggap (Parna) hanya mementingkan posisi birokrasi di pemerintahan dan Kirihio dianggap 'Hitler Papua'.[5]
Frits mengemban amanat sebagai anggota MPRS hingga tahun 1967. Dalam Keputusan Presiden Nomor 222 tahun 1967 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto itu, Frits diberhentikan dengan hormat. Menurut Drooglever, Frits kecewa dengan cara pemerintah Indonesia menangani Papua, khususnya dalam kebebasan berpendapat sehingga dia mulai melontarkan kritik.
Setelah purnabakti dari pemerintahan Indonesia, Frits berkhdimat sebagai aktivis Gereja Kristen Injil (GKI) Papua. Frits mengisi waktunya dengan berkhotbah dan mengabdikan diri untuk kemajuan masyarakat Papua. Di senjakalanya, Frits sempat menetap di Jakarta selama sepuluh tahun. Dia pernah menjadi asisten Freddy Numberi, putra Papua yang menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan lalu Menteri Perhubungan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Frits Maurits Kirihio wafat di Jayapura pada 12 Agustus 2018.[6]
Referensi