Batak Karo adalah salah satu kelompok etnisBatak yang menyebar dan menetap di Taneh Karo. Etnis ini merupakan salah satu etnis terbesar di Sumatera Utara.
Nama etnis ini juga dijadikan sebagai nama salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, yaitu Kabupaten Karo. Etnis ini memiliki bahasa yang disebut cakap Karo. Pakaian adat Batak Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas. Konon, Kota Medan didirikan oleh seorang tokoh Karo yang bernama Guru Patimpus Sembiring Pelawi.
Sejarah dan etimologi
Karo adalah salah satu etnisBatak yang menyebar dan menetap di Tanah Karo. Etnis ini memiliki bahasa yang disebut cakap Karo dan memiliki salam khas yaitu mejuah-juah. Adapun rumah tradisional masyarakat Batak Karo yang disebut dengan nama Siwaluh Jabu yang berarti rumah untuk delapan keluarga, yaitu rumah yang terdiri dari delapan kamar yang masing-masing kamar dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang menghuni rumah itu memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan pola kekerabatan masing-masing.
Wilayah
Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari dimana wilayah masyarakat Batak Karo hanya diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo, yakni:
Kabupaten Karo
Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Karo. Wilayah yang terkenal di kabupaten ini adalah Berastagi dan Kabanjahe. Berastagi merupakan salah satu kota turis di Sumatera Utara yang sangat terkenal dengan produk pertaniannya yang unggul. Salah satunya adalah buah jeruk dan produk minuman yang terkenal, jus markisa. Mayoritas masyarakat Batak Karo bermukim di daerah pegunungan ini, tepatnya di daerah Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak yang sering disebut sebagai Taneh Karo Simalem. Banyak keunikan-keunikan terdapat pada masyarakat Batak Karo, baik dari geografis, alam, maupun bentuk masakan. Masakan Batak Karo, salah satu yang unik adalah trites. Trites ini disajikan pada saat pesta budaya, seperti pesta pernikahan, pesta memasuki rumah baru, dan pesta tahunan yang dinamakan kerja tahun. Trites ini bahannya diambil dari isi lambung sapi atau kerbau, yang belum dikeluarkan sebagai kotoran. Bahan inilah yang diolah sedemikian rupa dicampur dengan bahan rempah-rempah sehingga aroma tajam pada isi lambung berkurang dan dapat dinikmati. Masakan ini merupakan makanan istimewa yang di suguhkan kepada yang dihormati.
Kota Medan
Pendiri Kota Medan adalah seorang putra Karo yang bernama Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Sebagian sejarawan dan pemerhati budaya juga memercayai bahwa asal mula nama Medan berasal dari bahasa Batak Karo, yakni "madan" yang berarti "obat". Namun pendapat ini masih menjadi pro dan kontra karena terdapat beberapa versi mengenai asal mula nama Medan.
Kota Binjai
Kota Binjai merupakan daerah yang memiliki interaksi paling kuat dengan Kota Medan, hal ini disebabkan oleh jaraknya yang relatif dekat dari Kota Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara. Nama "Binjai" juga dipercaya oleh sementara orang berasal dari gabungan kedua kosakata bahasa Batak Karo, "ben" dan "i-jei" yang artinya "bermalam di sini". Hal tersebut kemudian diucapkan "Binjei" dan menjadi "Binjai" hingga sekarang. Namun etimologi nama "Binjai" berasal dari buah Binjai.
Kabupaten Langkat
Masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat mendiami daerah hulu, seperti Bahorok, Kutambaru, Sei Bingai, Kuala, Salapian, Selesai, Batang Serangan, dan Serapit. Teluk Aru yang berada di Langkat Hilir juga pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Haru, kerajaan bercorak Batak Karo-Melayu yang dimana menjadi leluhur dari Sultan Melayu Sumatera Timur.
Kabupaten Dairi
Wilayah Kabupaten Dairi pada umumnya subur dengan kemakmuran masyarakatnya melalui perkebunan kopinya yang berkualitas. Sebagian wilayah Kabupaten Dairi yang merupakan bagian dari Taneh Karo adalah:
Etnis Batak Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama Merga Silima, Tutur Siwaluh, dan Rakut Sitelu. Merga disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Batak Karo terdiri dari lima kelompok utama (marga inti/pokok), yang disebut dengan Merga Silima. Kelima merga tersebut adalah:
Kelima marga Batak Karo tersebut mempunyai sub-marga masing-masing, dimana setiap orang Batak Karo mempunyai salah satu dari marga tersebut. Marga diperoleh secara turun temurun dari ayah, marga ayah juga marga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Jikalau laki-laki bermerga sama, maka mereka disebut (b)ersenina. Demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru yang sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada mergaSembiring Kembaren.
Falsafah kemasyarakatan
Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Batak Karo adalah Rakut Sitelu, yang artinya secara metaforik adalah tungku nan tiga, yang berarti ikatan yang tiga. Arti Rakut Sitelu tersebut adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi masyarakat Batak Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Batak Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu:
Kalimbubu, yakni dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi istri.
Anak beru, yakni keluarga yang mengambil atau menerima istri.
Sembuyak, yakni keluarga satu galur keturunan marga atau keluarga inti.
Masyarakat Batak Karo mempunyai salam khas yaitu mejuah-juah atau lengkapnya adalah mejuah-juah kita kerina yang memiliki arti sehat-sehat kita semua, baik-baik kita semua, kedamaian, kesehatan, kebaikan untuk kita semua.
Sistem kekerabatan
Tutur Siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan:
Puang Kalimbubu
Kalimbubu
Senina
Sembuyak
Senina Sipemeren
Senina Sepengalon/Sedalanen
Anak Beru
Anak Beru Menteri
Dalam pelaksanaan upacara adat, Tutur Siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan, yaitu sebagai berikut :
Puang Kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang
Kalimbubu adalah kelompok pemberi istri kepada keluarga tertentu. Kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi :
Kalimbubu Bena-bena atau Kalimbubu Tua, yaitu kelompok pemberi istri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi istri adalah dari keluarga tersebut. Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah Kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah Kalimbubu Bena-bena / Kalimbubu Tua dari anak A. Jadi Kalimbubu Bena-bena atau Kalimbubu Tua adalah kalimbubu dari ayah kandung.
Kalimbubu Simada Dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu Simada Dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang. Disebut Kalimbubu Simada Dareh karena mereka yang dianggap mempunyai keturunan sedarah, karena sedarah maka itu juga yang terdapat dalam diri keponakannya.
Kalimbubu Iperdemui, yaitu yang berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Maka seseorang itu yang menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan.
Senina, yaitu mereka yang bersaudara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.
Sembuyak, yaitu secara harfiah artinya adalah satu dan Mbuyak yang artinya adalah kandungan. Maka artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan sub-merga juga, dalam bahasa Karo disebut Sindauh Ipedeher (Yang jauh menjadi dekat).
Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak Siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai istri yang bersaudara.
Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperistri dari beru yang sama.
Anak beru, yang berarti pihak yang mengambil istri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti Anak Beru Menteri dan Anak Beru Singikuri. Anak beru ini terdiri lagi sebagai berikut :
Anak Beru Tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil istri dari keluarga tertentu (Kalimbubu-nya). Anak Beru Tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubu-nya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak Beru Tua juga berfungsi sebagai Anak Beru Singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.
Anak Beru Cekoh Baka Tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubu-nya. Anak Beru Cekoh Baka Tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah Anak Beru Cekoh Baka Tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga Bere-bere Mama.
Anak Beru Menteri, yaitu anak berunya si anak beru. Asal kata Menteri adalah dari kata Minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubu-nya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut Anak Beru Singkuri, yaitu anak beru-nya si Anak Beru Menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.
Bahasa Karo adalah salah satu bahasa Austronesia yang digolongkan ke dalam bahasa Batak Utara[6]; yang utamanya dituturkan oleh masyarakat Batak Karo di wilayah Kabupaten Karo, Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Dairi, dan Kota Medan.
Aksara yang digunakan oleh orang Karo adalah Tulisen Karo yang merupakan varian dari Surat Batak. Aksara ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Batak Karo, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi.
Kalender Karo
Nama-nama bulan
Adapun nama-nama bulan dan binatang atau benda apa yang bersamaan dengan bulan bersangkutan adalah sebagai berikut:
Bulan Sipaka sepuluh dua merupakan bulan binurung (ikan)
Nama-nama hari
Nama-nama hari pada suku Karo apabila diperhatikan banyak miripnya dengan kata-kata bahasa Sanskerta. Setiap hari dari tanggal itu mempunyai makna atau pengertian tertentu. Oleh karena itu apabila seseorang hendak merencanakan sesuatu, misalnya keberangkatan ke tempat jauh, berperang ke medan laga, memasuki rumah baru dan berbagai kegiatan lainnya. selalu dilihat harinya yang dianggap paling cocok. Di sinilah besarnya peranan "guru si beloh niktik wari" (dukun/orang tua yang pintar melihat hari dan bulan yang baik dan serasi), yang dengan perhitungannya secara saksama, ia menyarankan agar suatu acara yang direncanakan dilakukan pada hari X.
Adapun nama yang 30 dalam satu bulan adalah sebagai berikut:
Aditia
Suma
Nggara
Budaha
Beras pati
Cukra enem
Belah naik
Aditia naik
Sumana siwah
Nggara sepuluh
Budaha ngadep
Beras pati tangkep
Cukera dudu (lau)
Belah purnama raya
Tula
Suma cepik
Nggara enggo tula
Budaha gok
Beras pati
Cukra si 20
Belah turun
Aditia turun
Sumana mate
Nggara simbelin
Budaha medem
Beras pati medem
Cukrana mate
Mate bulan ngulak
Dalan bulan
Sami sara
Budaya dan kesenian
Orang Karo mempunyai beberapa kebudayaan tradisional, mulai dari kesenian (sastra), dan tari tradisional. Beberapa tari tradisional Karo adalah:
Seni bela diri orang karo merupakan Silat Karo yang dalam bahasa Karo disebut ndikar. Kata tersebut mulai jarang digunakan masyarakat Karo sehingga kini asing terdengar. Masyarakat Karo dewasa ini cenderung menyebutnya dengan nama Silat Karo saja.
Kata ndikar untuk penamaan bela diri/silat dalam bahasa Karo kadang kerap disamakan dengan kata pandikar. Kata ndikar hanya untuk menyebut silat/bela diri, sedangkan pandikar merupakan seseorang yang mempunyai ilmu bela diri yang tinggi atau bisa juga orang yang mendalami ilmu bela diri dan memiliki ilmu bela diri.
Seni musik
Alat musik tradisional Karo adalah Gendang Karo. Biasanya disebut Gendang “Lima Sedalinen” yang artinya seperangkat gendang tari yang terdiri dari lima unsur.
Unsur disini terdiri dari beberapa alat musik tradisional Karo seperti kulcapi, balobat, surdam, keteng-keteng, murhab, serune, gendang si ngindungi, sendang si nganaki, penganak dan gung. Alat tradisional ini sering digunakan untuk menari, menyanyi dan berbagai ritus tradisi.
Jadi gendang Karo sudah lengkap (lima sedalinen) jika sudah ada serune, gendang si ngindungi, gendang si nganaki, penganak dan gung dalam mengiringi sebuah upacara atau pesta.
Seni tari
Tari dalam bahasa Karo disebut "landek". Pola dasar tari Karo adalah posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun lutut (endek) disesuaikan dengan tempo gendang dan gerak kaki. Pola dasar tarian itu ditambah dengan variasi tertentu sehingga tarian tersebut menarik dan indah.
Tarian berkaitan adat misalnya memasuki rumah baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Tarian berkaitan dengan ritus dan religi biasa dipimpin oleh guru (dukun). Misalnya tari mulih-mulih, tari tungkat, erpangir ku lau, tari baka, tari begu deleng, tari muncang, dan lain-lain.
Tarian berkaitan dengan hiburan digolongkan secara umum. Misalnya tari gundala-gundala, tari ndikkar dan lain-lain. Sejak tahun 1960 tari Karo bertambah dengan adanya tari kreasi baru. Misalnya tari lima serangkai yang dipadu dari lima jenis tari yaitu tari morah-morah, tari perakut, tari cipa jok, tari patam-patam lance dan tari kabang kiung. Setelah itu muncul pula tari piso surit, tari terang bulan, tari roti manis dan tari tanam padi.
Seni ukir/pahat
Keragaman seni pahat dan ukir etnis Karo terlihat dari corak ragam bangunannya. Dulu orang yang ahli membuat bangunan Karo disebut "Pande Tukang".
Hal ini terlihat dari jenis-jenis bangunan Karo seperti rumah Siwaluh Jabu, Geriten, Jambur, Batang, Lige-lige, Kalimbaban, Sapo Gunung, dan Lipo. Seni ukir yang menjadi kekayaan kesenian Karo terlihat pada setiap ukiran bangunannya seperti Ukir Cekili Kambing, Ukir Ipen-Ipen, Ukir Embun Sikawiten, Ukir Lipan Nangkih Tongkeh, Ukir Tandak Kerbo Payung, Ukir Pengeretret, dan Ciken.
Suku Karo juga memiliki drama tradisional yang disebut dengan Gundala-Gundala.
Kegiatan kebudayaan dan adat-istiadat
Merdang Merdem: "Kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
Mahpah: "Kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
Ngaloken Rawit: Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau clurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) - keponakan laki-laki.
Kuliner khas
Makanan
Kuliner Karo banyak ragamnya, salah satu yang terkenal adalah babi panggang karo, sering disingkat sebagai BPK. Babi panggang karo dibuat dengan cara memanggang babi yang sebelumnya telah diberi bumbu khas, yang di dalamnya terdapat tuba atau andaliman. Umumnya orang Karo yang menjual babi panggang karo di warung makan ataupun restoran, namun tidak jarang juga ditemukan orang non-Karo yang juga menjual hidangan tersebut seperti orang Batak Toba, Nias, dan lain-lain.
Kuliner Karo lainnya meliputi: kidu-kidu, manuk getah, arsik nurung mas, cimpa, unung-unung, cincang bohan, pagit-pagit, trites, gule kuta-kuta (gulai ayam kampung), tasak telu, mi keling, bihun bebek, bika ambon, lemang Karo, cipera, anyang pakis, gule bulung gadung, dan lain-lain.
Minuman
Selain makanan, minuman khas Karo pun banyak macam ragamnya. Minuman yang terkenal adalah susu kitik, yaitu teh susu telur khas Karo. Minuman ini umumnya disajikan di warung kopi di daerah Karo.
Lagu daerah
Beberapa lagu yang berasal dari daerah Karo adalah:
Sebagian kecil orang Karo di Dusun Pintu Besi menganut agama Hindu yang dimana memiliki kemiripan dengan agama Hindu Bali mulai dari tempat ibadah berupa pura hingga upacara keagamaan.[7]
Umumnya pemeluk agama Pemena (agama awal dan agama asli Karo) berada di desa yang berada di dekat atau di kaki Gunung Sinabung.
Pemeluk agama tradisional/kepercayaan lama lainnya dapat ditemui di pedalaman dan mereka nyaris punah. Agama lainnya pun terutama agama Buddha dapat ditemui di perkotaan namun jumlahnya sangat sedikit.
^"Katolik di Tanah Karo: Kabanjahe, 1942-1970an". jurnal.ugm.ac.id. Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 11, No. 2, Oktober 2014 | Mahasiswa S1 Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada. Oktober 2014.Parameter |first1= tanpa |last1= di Authors list (bantuan)