Suku Korowai atau Koroway adalah suku yang baru berinteraksi dengan dunia luar sekitar 30 tahun silam[1] di pedalaman Papua Pegunungan dan Papua Selatan, Indonesia dan populasi sekitar 3000 orang. Suku ini hidup di rumah yang dibangun di atas pohon yang disebut Rumah Tinggi.[2] nama lain rumah yang dimiliki oleh Suku Korowai adalah Rumah xaim yang dibangun dengan ketinggian 9 meter/sekitar 15 kaki atau 4,5 meter.[3]
Suku Korowai adalah satu dari suku di daratan Papua yang tidak menggunakan koteka. Menurut majalah Daily Telegraph, ketika antropolog memulai studi tentang suku ini di 1970, mereka tidak mengetahui keberadaan orang selain suku mereka.[4]
Bahasa
Bahasa Korowai termasuk dalam Rumpun bahasa Sungai Digul (Papua tenggara) atau dalam klasifikasi lama disebut Awyu-Dumut dan merupakan bagian dari filum Trans-Nugini. Sebuah tata bahasa dan kamus telah diproduksi oleh ahli bahasa misionaris Belanda.
Budaya
Serupa dengan tetangga mereka suku Kombai di Kabupaten Mappi dan juga suku Momuna di Kabupaten Yahukimo, penduduk dari suku ini membangun rumah pada pohon yang memiliki tinggi 10 hingga 30 meter. Terbuat dari kayu, rotan, bilah bambu dan kulit kayu, rumah Suku Koroway dibangun di atas pohon untuk mencegah serangan binatang buas pada zaman dahulu atau bahkan serangan dari suku lain. Untuk mencapai ke dalam rumah, mereka membuat tangga yang terbuat dari sebatang kayu.
Suku Korowai memiliki pembagian tugas sama seperti Suku Kombai. Kaum pria bertugas menebang pohon dan pergi ke hutan untuk berburu, mulai dari kus-kus, babi hutan hingga burung kasuari. Sementara itu kaum wanita dari suku ini bertugas mengasuh anak dan mencari sagu. Ciri khas dari kaum wanita suku ini adalah mereka biasa memakai rok pendek yang bahannya didapatkan dari kayu dan serat sagu.[5]
Tempat tinggal
Mayoritas klan Korowai tinggal di rumah pohon di wilayah terisolasi mereka. Sejak tahun 1980 sebagian telah pindah ke desa-desa yang baru dibuka dari Yaniruma di tepi Sungai Becking (area Kombai-Korowai), Mu, dan Basman (daerah Korowai-Citak). Pada tahun 1987, wilayah pedesaan dibuka di Manggél, di Yafufla (1988), Mabül di tepi Sungai Pulau (1989), dan Khaiflambolüp (1998).[6] Tingkat absensi desa masih tinggi, karena relatif panjang jarak antara permukiman dan sumber daya makanan (sagu).