Suku Wano adalah kelompok etnis yang mendiami wilayah Kabupaten Puncak dan Kabupaten Puncak Jaya di Papua Tengah, Indonesia.[1] Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Wano yang termasuk rumpun besar bahasa Dani, sehingga antropolog pada masa lampau menyebut suku Wano sebagai suku Dani.
Etimologi
Kata Wano digunakan untuk menyebut nama bahasa dan suku tersebut yang berasal dari kata seru (interjeksi) 'waa' yang bisa berarti sapaan atau salam, seperti "selamat pagi", "sampai jumpa", "maaf!", "terima kasih", dan lain-lain. Ucapan tersebut akan dibalas pula dengan 'waa'.[2] Sedangkan kata 'no' merupakan kata partikel (referential marker) yang digunakan pada kalimat untuk menjelaskan konteks secara umum, berbeda dengan 'ne' yang menjelaskan konteks lebih spesifik.[2] Kata 'ap' berarti orang sehingga 'Wano ap' berarti "orang Wano".[2]
Sejarah
Pada tahun 1926, Matthew W. Stirling melakukan ekspedisi untuk "menembus wilayah yang tidak diketahui di Barisan Sudirman (Nassau) yang berada di sebelah Utara Pegunungan Tengah". Stirling sendiri berhasil dengan mudah menemui orang Tapiro (Ekari), orang Pesechem (Nduga), orang Nogolo (Dani), orang Ekari, dan orang Moni. Ia menyatakan keberadaan suku-suku yang tinggal di gua yang tidak berhasil ia temukan. Menurut peneliti Willem Burung, walau tidak bisa dipastikan, kemungkinan yang Stirling maksud adalah suku Wano. Ini dikarenakan pada masa lampau, suku Wano tinggal di dalam gua seperti di Kampung Mbowid.[2]
Membandingkan peta dari Nieuw Guinea Kaartmateriaal of the Topographic Service 1941, lokasi Explorer Bivouac dekat dengan Kampung Wodegoduk, sedangkan Bad-luck Bivouac dengan Kampung Dukibeci, keduanya kampung Wano. Kampung Kimbin oleh Bromley (1973) disebut sebagai wilayah Dani Barat, walaupun merupakan juga merupakan perkampungan awal suku Wano.[2][3]
Pada tahun 1960-an, kontak dengan misionaris mulai berkembang dimana banyak bahan-bahan naskah Injil dan lainnya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa lokal, akan tetapi tidak ada untuk Walak dan Wano dikarenakan mereka dianggap sub-suku Dani. Sehingga pengaruh bahasa Dani dan bahasa Moni cukup kuat kedalam bahasa Wano melalui pendidikan dan aktivitas gereja bagi suku Wano. Baru sekitar tahun 1975, Grace Cutts (pasangan Bill dan Grace Cutts merupakan misionaris untuk suku Moni) dengan bantuan Yahya Weya (orang lokal suku Wano) menerjemahkan material primer ke dalam bahasa Wano. Baru sejak 1980 dilakukan standardisasi sekolah oleh Pemerintah Indonesia sehingga masuknya penggunaan bahasa Indonesia dan dialek Melayu Papua, walau pada tahun 1995 masih sedikit pembangunan sekolah dan fasilitas di wilayah Wano, sehingga kebanyakan harus bersekolah di daerah terdekat.[2]
Wilayah
Suku Wano (Papua wilayah Indonesia)
Kampung Biricare yang terletak di Distrik Fawi, bisa dibilang merupakan titik tengah wilayah suku Wano. Batas timur terletak diantara Kampung Kiagai dan Kampung Lumo, yang menjadi batas tenggara. Batas selatan merupakan Kampung Weiga hingga Kampung Puduk. Sedangkan batas barat daya adalah sebelah timur Sungai Jamo (Sungai Tariku). Batas paling barat adalah Kampung Wodegoduk, sedangkan batas barat laut adalah sebelah timur Sungai Jamo didekat kaki gunung dekat sungai Kendo-kendo hingga Kampung Dukibeci. Batas utara berlanjut dari Kampung Dukibeci hingga Sungai Mui dan Kampung Fawi. Batas timur laut adalah Kampung Nggweri, hingga Kampung Dagai dan Kampung Acodi.
Adat (Adom Wone)
Adom Wone adalah nama hukum adat suku Wano yang meliputi perkawinan, bertani, perang suku/saudara, peliharaan ternak, pembuatan honai, dan lain-lain.
Perkawinan (Aptawe-Kwarawe dambubigwa)
Masyarakat Wano mengenal beberapa bentuk perkawinan:
- perkawinan ideal dengan proses meminang (he hounto)
- perkawinan dimana seorang lelaki dijodohkan dengan perempuan lebih muda, yang kemudian dibesarkan oleh sang tunangan pria (piara)
- perkawinan lari dimana calon tidak disetujui kerabat (komi wogicenok wingkwa)
Untuk memilih pasangan diharuskan bukan merupakan kerabat inombavi yaitu anak-anak dari ibunya ibu, tempat keluarga ayah atau ibu, endogami klan atau paroh masyarakat. Perkawinan dengan kerabat (paby atau inses) ini dilarang karena dianggap mendatangkan kutukan kepada dirinya dan keturunannya.[4]
Organisasi sosial
Struktur paling kecil adalah klan yang diberikan wilayah tergantung status sosialnya untuk membangun pemukiman dan tinggal berdekatan. Satu kampung biasanya terdiri dari beberapa klan. Suku Wano secara tradisional hidup semi-nomaden, sebidang tanah yang baru dibuka disebut yavuk, sebidang tanah yang sedang ditanam disebut yarak, sebidang tanah yang sedang dipanen disebut akut, sedangkan tanah yang sudah kosong disebut wadik. Klan dengan darah bangsawan, seperti klan dari Nagwan, boleh memilih wilayah yang terbaik. Walaupun sekarang tradisi ini sudah tidak dilakukan dan siapa saja boleh memilihnya. Klan dari kugwi (dukun, suanggi) yang mempraktekkan ilmu sihir (irudik) harus tinggal berjauhan dari pemukiman utama biasa di bukit berbeda di seberang sungai.[2]
Budaya
Busana tradisional
Busana tradisional suku Wano adalah kevewok penutup yang terbuat dari sejenis Labu air yang dipakai pria dan rok rumput dari alang-alang disebut mbuk. Biasa untuk berperang pria juga akan melukis wajahnya dan disebut mangga, berasal dari pohon dimana buahnya digunakan untuk memberi warna coklat/merah. Taring babi tid pada hidung yang dilubangi dan besarnya 'tid' menandakan keberanian seseorang. Selain itu mereka juga membawa senjata berupa busur egin, panah wim, kapak batu ye, dan pisau yedowi. Pemimpin perang juga akan menggunakan hiasan bulu burung cendrawasih yawid di kepala.[2]
Rumah adat
Rumah dalam bahasa Wano adalah awi, satu perkampungan wano disebut anavawi. Kunyawi adalah rumah/asrama bagi pemuda laki-laki untuk dipersiapkan menjadi dewasa. Di tengah terletak tiang utama (tiruk) diantara perapian (wunawi) mensimbolkan kaki (betis)/telapak kaki dari kakek (ninyombo ovok/acok) dan diperlakukan dengan hormat. Didalam kunyawi selalu ada kayu bakar (kani) untuk terus menyalakan api (indu) sebagai simbol kehidupan. Sedangkan untuk asrama perempuan disebut Kwenyawi walaupun secara adat tidak sepenting kunyawi.[1] Babi (wom) dan ayam (towewom) sekarang dipelihara di luar perkarangan rumah karena alasan kebersihan, akan tetapi secara tradisional kandang babi (davo) terletak dibawah rumah awi.[2]
Referensi