Suku Sahu adalah suku asli pulau halmahera Indonesia yang kebanyakan bermukim wilayah kota Jailolo, kecamatan Sahu dan kecamatan Sahu Timur, Kabupaten Halmahera Barat, provinsi Maluku Utara. Wilayah sahu awal nya bernama Ji'o japung malamo(daerah cekungan besar).
Suku Sahu memiliki struktur masyarakat yang terdiri
dari struktur masyarakat pada masa kesultanan dan pada masa kini. Struktur masyarakat pada masa
kesultanan Ternate yaitu: Walasae: Marga pimpinan; hanya dari rumpun Walasae yang menjadi pimpinan
dalam masyarakat suku Sahu. Kapita: Sebagai panglima perang. Walangatom: Marga prajurit. Jou/Olan
ma bala: Pegawai kesultanan; tugasnya mengumpulkan upeti. Jou guru / Gomater: Bertugas dalam
bidang keagamaan (pemimpin ritual). Khalifa: Pendamping Gomater; tugasnya mempersiapkan berbagai
perlengkapan dalam setiap upacara di bidang keagamaan. Ngoarepe: Masyarakat.
Sedangkan struktur masyarakat Suku Sahu saat ini yaitu: Fomanyira: Pemimpin Gam (desa) atau
pemimpin masyarakat. Gam Makale: Merupakan institusi masyarakat yang anggotanya terdiri dari
Walasae dan Walangatom; tugasnya adalah mengatur dan menegakkan hukum-hukum adat. Babamasohi:
Tua-tua kampung; Mereka mendampingi dan memberikan legitimasi kepada Gam Makale dalam
mengatur dan menegakkan hukum adat. Ngoarepe: Masyarakat.
Konon menurut cerita warga Sahu, nama Sahu diberikan oleh Kesultanan Ternate. Nama itu diberikan karena pada saat itu seorang utusan dari sahu sangaji, orang yang memimpin daerah sahu dlm bidang pemerintahan kesultanan saat itu/kepala camat untuk saat ini menemui sang Sultan tepat diwaktu Sahur,sultan pun berkata dalam bahasa ternate " hara kane si jou sahur, jadi kane suku ngana si golo ngana jiko sahu" sehingga Sultan memanggil mereka sebagai Orang Sahu.[2]
Kebudayaan
Rumah Adat Sasadu
Rumah adat menjadi bangunan utama dalam sebuah suku. Rumah adat suku Sahu disebut Sasadu. Rumah adat yang cukup sederhana ini menjadi simbol kebersamaan antar sesama suku Sahu. Pembuatannya yang tidak menggunakan paku, didalamnya terkandung makna dimana suku Sahu sangat menghargai kaum perempuan.[3] Di dalam ruangan rumah Sasadu terdapat dua buah meja, satu untuk kaum perempuan diposisi paling depan, sedangkan satu lagi untuk kaum laki-laki diposisi paling belakang. Posisi meja kaum perempuan paling depan sebagai makna bahwa kaum perempuan lebih diutamakan dan kaum pria siap untuk selalu melindungi dari belakang.[3]
Didalam rumah Sasadu ini diadakan berbagai kegiatan adat. Salah satunya acara orom Toma Sasadu sebuah acara ucapan syukur atas panen. Selain itu acara pemasangan bumbungan Sasadu (atap sasadu) juga menjadi acara penting di rumah Sasadu.[3]
Pemasangan Bumbungan Sasadu
Banyak budaya di Indonesia yang menjadikan Indonesia salah satu negara yang kaya akan keberagaman adat budaya yang tidak dimiliki negara lain. Salah satu diantaranya ialah Pemasangan Bumbungan Sasadu dalam suku Sahu. Kegiatan ini sesuatu yang sakral karena sangat jarang dilakukan sehingga dalam pelaksanaannya sangat dihargai oleh warga suku Sahu. Ini merupakan pemasangan bumbungan di atap rumah adat suku Sahu yakni di Sasadu, dalam bahasa Sahu disebut Sibere Wanat Sasadu.[4] Bumbungan atap rumah atau Wanat Sasadu ini dibuat dari daun pohon sagu, dilapisi pohon bambu lalu diikat menggunakan tali gumutu. Tali gumutu sebuah tali yang diolah dari serabut pohon enau.[4]
Sedangkan penyangga rumah Sasadu terbuat dari kayu Gofasa. Kayu ini cukup kuat dan tahan lama, dan diambil dari pedalaman pulau Halmahera sehingga untuk rumah Sasadu yang terlihat sangat sederhana namun harganya bisa mencapai Rp 150 juta. Rumah Sasadu tidak memiliki pintu dan jendela, tetapi atap dibangun tinggi sehingga ada sirkulasi udara di dalamnya.[5]
Pada kesempatan langka, pada tahun 1 Mei 2018 lalu, dilakukan peresmian rumah adat Sasadu di desa Akelamo, kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat bertepatan diadakannya Festival Teluk Jailolo 2018. Peresmian ini memikat warga Sahu dan warga sekitar.[5]
Untuk memulai acara ini, salah seorang tokoh adat akan memimpin dalam doa, supaya acara dapat berjalan dengan baik.[4] Selanjutnya, bumbungan atap Sasadu siap untuk dinaikan dan di atas beberapa orang pria terpilih bersiap untuk menarik dan menaikkan bumbungan atau wanat tersebut.[4]
Petugas penarik wanat menggunakan tali dan menarik wanat dengan mengikuti rel buatan yang terdiri dari dua batang pohon bambu supaya wanat mudah ditarik. Selama Prosesi pengangkatan hingga terpasangnya wanat, akan diiringi oleh lantunan gong dan musik Tifa yang berlangsung sekitar 30 menit. Momen sakral acara ini ditandai dengan terpasangnya Wanat di atas Sasadu.[4]
Kepercayaan
Kabupaten Halmahera Barat dikenal akan keberagamannya, termasuk didalamnya keberagaman akan keyakinan atau agama diantara suku Sahu. Mayoritas diantara mereka telah memeluk agama Kristen Protestan sekitar 65% dan selebihnya memeluk agama Islam 35%.[6] Meskipun demikian, tingkat keharmonisan antar pemeluk agama diantara suku Sahu dapat terjaga dengan baik.
Makanan & Minuman Khas Sahu
Salah satu makanan khas dari suku Sahu ialah Nasi Jala atau disebut juga Nasi Kembar. Proses pembuatan nasi Jala ini sama dengan membuat lemang. Beras dibalut dengan daun pisang lalu dimasukkan kedalam bambu seukuran 1 meter lalu kemudian dibakar menggunakan arang atau patok kepala dengan api yang tidak terlalu besar, sehingga matangnya lebih sempurna.[5] Setelah matang, nasi Jala siap disajikan. Biasanya warga suku Sahu memakan nasi Jala bersamaan dengan ikan rica-rica.[2]
Sedangkan salah satu minuman khas suku Sahu ialah Saguer. Saguer adalah arak pada umumnya. Minuman ini sering disajikan pada acara ucapan syukur atas panen penduduk setempat yang diadakan di "Sasadu" rumah adat suku Sahu.[2] Tentunya minuman ini dikhususkan untuk warga yang sudah dewasa.
Pekerjaan
Kebanyakan warga suku Sahu bekerja sebagai petani, khususnya bertani sawah. Hal ini dibuktikan adanya acara adat suku Sahu yakni "orom Toma Sasadu" (orom artinya "makan", toma artinya "di", dan Sasadu adalah "rumah adat suku Sahu") yang dapat diartikan "makan di Sasadu".[2] Acara ini merupakan acara adat sebagai ucapan syukur kepada Tuhan atas panen sawah yang mereka dapat. Acara ini bisa dilakukan dua kali dalam setahun. Masa lalu acara ini bisa dilakukan beberapa hari, tetapi kini cukup hanya sehari saja. Selain makan, mereka juga akan bernyanyi bersama, menari, dan juga minum Saguer.[2]
Referensi
|
---|
|
---|
Batak | |
---|
Melayu | |
---|
Minangkabau | |
---|
Melayu Bukit Barisan Selatan | |
---|
Melayu Aborigin | |
---|
Lampung | |
---|
Kepulauan Barat Sumatera | |
---|
Lain-lain | |
---|
Tionghoa |
|
---|
|
|
|
|
|
|
|
|
Lihat pula: Pribumi-Nusantara *Catatan: Kalimantan dan Papua di sini hanya yang termasuk dalam teritori Indonesia. |