Suku Lamalera adalah kelompok etnis yang mendiami Pulau Lembata bagian selatan.[2] Secara administratif, suku ini tersebar di desa Lamalera A, Lamalera B, dan beberapa desa sekitarnya di kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata. Bahasa asli yang digunakan suku ini adalah bahasa Lamalera, serta bahasa Lamaholot yang berfungsi sebagai lingua franca di daerah tersebut.[3] Meskipun kerap disebut sebagai suku tersendiri, umumnya suku Lamalera oleh para antropolog dikelompokkan sebagai sub-suku di dalam kelompok etnis Lamaholot sehingga alih-alih disebut 'suku', orang di Lembata umumnya menyebutnya dengan sebutan 'orang Lamalera', merujuk pada kelompok etnis yang mendiami wilayah selatan pulau Lembata.[4]
Jika ditafsir berdasarkan kesamaan bunyi kata, "Lamalera" berasal dari kata lam'a (dialek Lamalera) atau lamak (dialek Adonara) yang berarti 'piring' atau 'wadah', dan lera atau rera yang berarti 'matahari' atau juga berarti 'daun dadap'. Berdasarkan sejarahnya, setibanya mereka di tempat yang saat ini disebut Lamalera mereka menemukan daun dadap dan mereka mempergunakannya sebagai lam'a (piring atau wadah).[6]
Sejarah
Menurut Ambrosius Oleona dan Pieter Tedu Bataona, asal-usul masyarakat Lamalera bukan berasal dari keturunan penduduk asli Pulau Lembata. Berdasarkan sejarah dan syair yang diwariskan secara turun-temurun yang disebut sebagai lia asa-usu ("syair asal-usul"), nenek moyang masyarakat di Lamalera berasal dari Tanah Luwuk hingga mencapai selatan Pulau Lembata dan kemudian menetap hingga turun-temurun. Hal ini terlihat dari ciri fisik yang dimiliki oleh orang Lamalera yang memiliki kemiripan dengan orang-orang dari Sulawesi Tengah khususnya suku Banggai.[7] Nenek moyang masyarakat Lamalera ini datang sekitar 500 tahun lalu. Sebelumnya nenek moyang masyarakat Lamalera lebih dulu mengikuti perjalanan armada Gajah Mada menuju perairan Halmahera hingga sampai ke Semenanjung Bomberai, kemudian mereka memutar haluan ke arah selatan yaitu menuju Pulau Seram, Gorom, Ambon, Banda, Timor, dan akhirnya mendarat di Pulau Lembata. Kepindahan nenek moyang masyarakat Lamalera dari Tanah Luwuk ini dilatarbelakangi oleh adanya serangan dan penaklukan kerajaan di Tanah Luwuk oleh Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Kelompok yang melakukan migrasi inilah yang menjadi asal-usul terbentuknya 5 marga di dalam masyarakat Lamalera, yakni Bataona, Blikololong, Lamanudek, Tanakrofa, dan Lefotuka.[2] Marga-marga awal ini kemudian menurunkan kurang lebih sebanyak 19 marga yang saat ini menjadi bagian dari masyarakat adat Lamalera.[8] Sebagai contoh, marga Bataona menurunkan marga Bediona dan Batafor, sementara marga Lefotuka (disebut juga Lewotukan) menurunkan marga Dasion dan Kedang. Marga Kedang dalam sub-marga Lewotukan (dalam beberapa catatan dieja sebagai Kéda) berbeda dan tidak memiliki hubungan dengan suku Kedang (Edang) yang berdomisili di bagian timur pulau Lembata.[9]
Pemerintahan adat di Lamalera dijalankan dalam sistem lika-telo ('tiga tungku') yang diwakili oleh marga Blikololong, Bataona, dan Lewotukan. Urusan administratif terkait Lamalera pada sistem ini, terutama pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda diwakili oleh marga Lewotukan dengan istilah kakang yang mengepalai wilayah Lamalera. Kakang yang pernah tercatat adalah Muran Kedang dan Bao Dasion.[4][10] Pada masa pemerintahan Republik Indonesia, urusan pemerintahan administratif diwakili oleh seorang kepala desa, namun keberadaan lika-telo tetap memiliki peran utama dalam budaya masyarakat Lamalera, terutama terkait tradisi perburuan paus.
Suku ini terkenal dengan tradisi berburu paus sperma (baleo) yang dikenal sebagai leva nuang yang sudah dilakukan sejak abad ke-16 hingga ke-17.[11][12] Catatan Portugis telah menyebutkan adanya masyarakat di Lembata yang berburu paus dengan cara tradisional.[13] Tradisi ini dilakukan pada musim menangkap ikan pada bulan Mei yang dikenal dengan sebutan lewa. Mereka menaiki kapal tradisional yang disebut peledang untuk berburu paus.[2] Masyarakat Lamalera memiliki legenda tentang seekor paus sperma putih yang dikenal sebagai Timor Tom. Dalam novel Moby-Dick karya Herman Melville, ia dideskripsikan sebagai makhluk luar biasa yang memiliki hubungan signifikan dengan pemburu paus sperma tradisional Lamalera. Dalam kepercayaan mereka, paus sperma putih berfungsi sebagai penjaga perahu dan kapal, serta pengawas konstruksi dan konsepsi mereka. Thomas Beale menganggap Timor Tom sebagai 'protagonis dari banyak kisah aneh'.[14]
Agama
Masyarakat Lamalera umumnya menganut agama Katolik. Ini tercermin dalam tradisi Misa Leva untuk memohon restu kepada tuhan atas musim leva yang akan berlangsung pada tanggal 2 Mei–30 September setiap tahunnya.[15] Sedangkan Islam mendominasi di wilayah pesisir.[16]
^ abBlikololong, J. B. (2010). DU-HOPE DI TENGAH PENETRASI EKONOMI UANG: Sebuah Kajian Sosiologis Terhadap Sistem Barter di Lamalera, Nusa Tenggara Timur. Universitas Indonesia.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)