Suku Konjo PegununganSuku Konjo Pegunungan (disebut juga Kondjo atau Kajang) adalah bagian dari suku makassar di Sulawesi Selatan yang mendiami wilayah pegunungan di kecamatan Tinggimoncong, Tombolo Pao, Parigi di Kabupaten Gowa, wilayah pegunungan Kabupaten Maros seperti Tompobulu, Cenrana dan Camba, serta wilayah barat Kabupaten Sinjai seperti Kecamatan Sinjai Barat. Pusat penyebaran suku ini terletak di desa Malino dan Tana Toa.[1] Suku Konjo Pegunungan memiliki populasi sekitar 167.000 jiwa.[2] Dalam bahasa Makassar, konjo berarti "disana".[3] Masyarakatnya dicirikan dengan penerapan kebudayaan dan keyakinan yang sudah turun-temurun, seperti berpakaian serba hitam.[4] BahasaSama seperti suku Konjo Pesisir, masyarakat suku Konjo Pegunungan juga menggunakan bahasa Konjo yang merupakan bagian rumpun bahasa Makassar. Bahasa Konjo Pegunungan sangat berkaitan dengan bahasa Konjo Pesisir, tetapi keduanya berbeda.[5][6] Secara umum, bahasa Konjo dibagi dalam dua dialek, yakni dialek Konjo Pesisir yang dituturkan di sekitar pesisir Bulukumba, pantai Teluk Bone, dan sebelah tenggara Sinjai, serta dialek Konjo Pegunungan yang dituturkan di daerah sekitar Gunung Bawakaraeng. Masing-masing dialek tersebut digunakan oleh sekitar 150.000 penutur. Dalam tingkatan morfonemik, morfologi, dan sintaksis, keduanya memilikinya kemiripan.[7][8] Para penutur bahasa Konjo ini menyimpan perasaan satu identitas etnolinguistik, khususnya dengan sesama penutur bahasa Bugis. Mereka memandang penutur bahasa Indonesia sebagai orang di atas, atau maksudnya masyarakat "kelas atas".[9]
Mata pencaharianSebagaimana komunitas tradisional lainnya, suku Konjo Pegunungan masih mempraktikkan hidup bergotong-royong dalam banyak hal. Misalnya, dalam membangun rumah, menyelenggarakan pesta, atau saat masa panen. Keramahtamahan dan interaksi sosial merupakan nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam masyarakat Konjo Pegunungan. Mayoritas masyarakatnya Konjo Pegunungan ini bermata pencaharian petani dan pekebun. Sistem bagi hasil sangat lazim, yaitu para penggarap sawah menerima setengah atau sepertiga dari hasil keuntungan, dan sisanya pada pemilik atau pemodal benih dan keperluan tanam.[10] Rata-rata petani memiliki sawah atau ladang seluas dua hingga tiga hektar. Biasanya, mereka bercocok tanam kacang dan tembakau. Kendati demikian, suku Konjo Pegunungan masih menggunakan sistem pengairan tradisional, sehingga hasilnya kurang maksimal. Lahan mereka masih berpotensi untuk dikelola dengan lebih baik.[2] Sistem kepercayaanMayoritas orang Konjo Pegunungan saat ini beragama Islam. Mereka taat menganutnya, terlihat dari tradisi-tradisi adat mereka yang selalu mengandung unsur-unsur islami. Namun, masih banyak di antara mereka yang percaya kepada roh-roh di alam sekitarnya. Orang Konjo lebih percaya dukun untuk upacara-upacara dan menolong orang sakit. Diduga, sebanyak 75% dari orang Konjo Pegunungan masih mempertahankan praktik animisme lokal.[10] Pemimpin agama Islam dalam budaya Konjo tidak terlalu memiliki pengaruh. Mereka dipilih hanya untuk memimpin upacara-upacara keagamaan dan tugas-tugas di masjid. Pengaruhnya kalah dari amma toa (ayah tua) dari orang Konjo Pegunungan yang dianggap sebagai pemimpin keagamaan de facto dengan kekuatan sihirnya.[4] Lihat jugaReferensi
|