Bahasa MakassarBahasa Makassar (basa Mangkasaraʼ; Jangang-jangang: 𑻤𑻰 𑻥𑻠𑻰𑻭; Lontara: ᨅᨔ ᨆᨀᨔᨑ) adalah sebuah bahasa Austronesia yang lazimnya dituturkan oleh penduduk bersuku Makassar di sebagian wilayah Sulawesi Selatan, Indonesia. Secara khusus, bahasa ini termasuk ke dalam subrumpun Melayu-Polinesia cabang Sulawesi Selatan, walaupun kosakata bahasa ini tergolong divergen jika dibandingkan dengan kerabat-kerabat terdekatnya di cabang yang sama. Bahasa Makassar memiliki sekitar 1,87 juta penutur jati pada tahun 2010. Terdapat 23 fonem dalam sistem fonologi bahasa Makassar. Bahasa Makassar juga memiliki beberapa deret konsonan ganda atau geminat. Sebagai bahasa aglutinatif, bahasa Makassar memiliki beragam afiks yang masih produktif serta serangkaian klitik yang (antara lain) memarkahi fungsi pronomina dan aspek. Argumen dalam bahasa Makassar dimarkahi pada predikat dengan klitik pronomina yang lazimnya mengikuti pola persekutuan ergatif-absolutif. KlasifikasiKekerabatanBahasa Makassar merupakan bahasa Austronesia dari subrumpun Melayu-Polinesia cabang Sulawesi Selatan,[4] khususnya kelompok Makassar atau Makassarik yang juga mencakup bahasa Konjo (baik ragam Pegunungan maupun Pesisir) serta bahasa Selayar.[5] Ragam bahasa Konjo dan Selayar terkadang juga dianggap sebagai dialek bahasa Makassar. Sebagai bagian dari rumpun bahasa Sulawesi Selatan, bahasa Makassar juga berkerabat dekat dengan bahasa Bugis, Mandar, dan Sa'dan (Toraja).[6] Dalam hal kosakata, rumpun bahasa Makassar merupakan yang paling berbeda di antara bahasa-bahasa Sulawesi Selatan. Rerata persentase kemiripan kosakata antara rumpun Makassar dengan bahasa-bahasa Sulawesi Selatan lainnya adalah sebesar 43%.[7] Secara spesifik, dialek Gowa atau Lakiung adalah yang paling divergen; tingkat kemiripan kosakata dialek ini dengan bahasa-bahasa Sulawesi Selatan lainnya sekitar 5–10 poin persentase lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kemiripan kosakata bahasa Konjo serta Selayar dengan bahasa-bahasa Sulawesi Selatan lainnya.[6][7] Meski begitu, analisis etimostatistik[a] dan functor statistics[b] yang dilakukan oleh linguis Ülo Sirk menghasilkan persentase kemiripan kosakata yang lebih tinggi (≥ 60%) antara bahasa Makassar dan bahasa-bahasa Sulawesi Selatan lainnya. Bukti-bukti kuantitatif ini mendukung analisis kualitatif yang menempatkan bahasa Makassar sebagai bagian dari rumpun Sulawesi Selatan.[9][10] DialekRagam bahasa dalam rumpun Makassar membentuk sebuah kesinambungan dialek, sehingga batas antara bahasa dan dialek sulit ditentukan.[11] Survei bahasa di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasangan linguis dan antropolog Charles dan Barbara Grimes memisahkan bahasa Konjo dan Selayar dari bahasa Makassar,[12] sementara survei lanjutan yang dilakukan oleh linguis Timothy Friberg dan Thomas Laskowske memecah bahasa Konjo menjadi tiga (Konjo Pesisir, Konjo Pegunungan, dan Bentong/Dentong).[13] Walaupun begitu, dalam buku mengenai tata bahasa Makassar terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, linguis lokal Abdul Kadir Manyambeang dan tim memasukkan ragam bahasa Konjo dan Selayar sebagai dialek bahasa Makassar.[14] Tidak termasuk ragam-ragam bahasa Konjo dan Selayar, bahasa Makassar dapat dibagi ke dalam setidaknya tiga dialek, yaitu 1) dialek Gowa atau Lakiung, 2) dialek Jeneponto atau Turatea, dan 3) dialek Bantaeng.[12][14][15][c] Perbedaan utama antara ragam-ragam dialek dan bahasa dalam rumpun Makassar adalah pada tataran kosakata; tata bahasa ragam-ragam ini secara umum tidak jauh berbeda.[14][15] Penutur dialek Gowa cenderung bertukar menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan penutur dialek Bantaeng atau penutur bahasa Konjo dan Selayar, begitu pula sebaliknya. Dialek Gowa umumnya dianggap sebagai "ragam tinggi" (prestige variety) bahasa Makassar. Sebagai ragam yang dituturkan di wilayah pusat daerah, dialek Gowa juga lazim digunakan oleh penutur dialek atau ragam bahasa lainnya dalam rumpun Makassar.[11] Demografi dan persebaranMenurut sebuah studi demografi yang didasarkan pada data sensus tahun 2010, sekitar 1,87 juta penduduk Indonesia yang berusia di atas lima tahun menggunakan bahasa Makassar sebagai bahasa ibu. Secara nasional, bahasa Makassar termasuk ke dalam 20 bahasa dengan jumlah penutur terbanyak, tepatnya di posisi ke-16.[18] Bahasa Makassar juga merupakan bahasa dengan penutur terbanyak kedua di Sulawesi setelah bahasa Bugis yang memiliki lebih dari 3,5 juta penutur.[1][19] Bahasa Makassar utamanya dituturkan oleh etnis Makassar,[20] walaupun sebagian kecil (1,89%) etnis Bugis juga menggunakan bahasa ini sebagai bahasa ibu.[21] Penutur bahasa Makassar terpusat di wilayah barat daya semenanjung Sulawesi Selatan, terutama di wilayah pesisir yang subur di sekitar Kota Makassar, Kabupaten Gowa, dan Kabupaten Takalar.[22] Bahasa Makassar juga dituturkan oleh sebagian penduduk kabupaten Maros serta Pangkajene dan Kepulauan di utara, berdampingan dengan bahasa Bugis.[13][23][24] Penduduk kabupaten Jeneponto serta Bantaeng umumnya juga mengidentifikasi diri sebagai bagian dari komunitas penutur bahasa Makassar, walaupun ragam yang mereka tuturkan (dialek Jeneponto atau Turatea serta dialek Bantaeng) lumayan berbeda dari dialek yang digunakan di Gowa dan Takalar.[22][23] Bahasa Konjo yang berkerabat dekat dengan bahasa Makassar dituturkan di wilayah pegunungan Gowa serta di pesisir Kabupaten Bulukumba,[25] sementara bahasa Selayar dituturkan di Pulau Selayar di selatan semenanjung.[22][26] Sejarah
Status saat iniBahasa Makassar termasuk salah satu bahasa daerah Indonesia yang cukup berkembang.[19] Memasuki milenium ketiga, bahasa ini masih digunakan secara luas di daerah pedesaan serta di sebagian wilayah Kota Makassar. Bahasa Makassar juga masih dianggap penting sebagai penanda identitas kesukuan.[27] Akan tetapi, pada masyarakat urban, pembauran antara bahasa Makassar dan bahasa Indonesia melalui alih kode atau campur kode lazim ditemui.[28] Sebagian dari masyarakat urban Makassar, terutama yang berasal dari kelas menengah ataupun berlatar belakang multietnis, juga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dalam rumah tangga.[27] Ethnologue menggolongkan bahasa Makassar sebagai bahasa dengan tingkat 6b (Terancam) dalam skala EGIDS,[d] yang menunjukkan bahwa walaupun bahasa ini masih lazim digunakan dalam percakapan tatap muka, proses transmisi atau pengajaran bahasa secara alami antargenerasi sudah mulai terganggu.[30]
Sistem penulisan
FonologiVokalBahasa Makassar memiliki lima fonem vokal, yaitu /a e i o u/.[31] Tidak ada diftong dalam bahasa Makassar, walaupun deret vokal monoftong dapat ditemukan, seperti dalam kata tau 'orang', jai 'banyak', rua 'dua', dan sebagainya.[32][33]
Fonem vokal /e/ cenderung direalisasikan sebagai vokal semiterbuka [ɛ] jika berada di posisi akhir kata atau sebelum suku kata dengan bunyi [ɛ] lainnya. Bandingkan, misalnya, antara pengucapan /e/ dalam kata leʼbaʼ [ˈleʔ.baʔ] 'sudah' dan mange [ˈma.ŋɛ] 'pergi ke'.[31] Fonem /o/ juga memiliki alofon semiterbuka [ɔ] jika berada di posisi akhir kata atau jika mendahului suku kata dengan bunyi [ɔ], seperti yang bisa ditemukan pada kata lompo [ˈlɔ̃m.pɔ] 'besar' (bandingkan dengan órasaʼ [ˈo.ra.saʔ] 'lebat').[34] Terlepas dari letaknya dalam sebuah kata, sebagian penutur cenderung mengucapkan kedua vokal ini dengan posisi lidah yang lebih tinggi (tertutup) sehingga mendekati pengucapan fonem /i/ dan /u/.[35] Vokal dapat diucapkan secara sengau jika berada di sekitar konsonan sengau dalam suku kata yang sama. Terdapat dua tingkat intensitas penyengauan vokal, yaitu penyengauan kuat dan penyengauan lemah. Penyengauan lemah dapat ditemukan pada vokal sebelum konsonan sengau yang tidak berada pada akhir ucapan. Penyengauan kuat dapat ditemukan pada vokal sebelum konsonan sengau akhir ucapan atau setelah konsonan sengau secara umum. Penyengauan dapat menyebar ke vokal dalam suku kata setelah vokal sengau jika tidak ada konsonan yang menghalangi. Walaupun begitu, intensitas sengau dalam vokal seperti ini tidak sebesar vokal yang mendahuluinya, semisal dalam pengucapan kata niaʼ [ni͌.ãʔ][e] 'ada'.[36] KonsonanTerdapat 17 konsonan dalam bahasa Makassar, seperti yang dijabarkan dalam tabel berikut.[37][38]
Fonem /t/ merupakan satu-satunya konsonan dengan pengucapan dental, tidak seperti fonem /n d s l r/ yang merupakan konsonan alveolar.[39] Fonem hambat nirsuara /p t k/ umumnya diucapkan dengan sedikit aspirasi (aliran udara), seperti dalam kata katte [ˈkat̪.t̪ʰɛ] 'kitaʼ, lampa [ˈlam.pʰa] 'pergi', dan kana [ˈkʰa.nã] 'kata'. Fonem /b/ dan /d/ memiliki alofon implosif [ɓ] dan [ɗ], terutama pada posisi awal kata semisal balu [ˈɓa.lu] 'janda' dan setelah bunyi [ʔ] seperti dalam kata aʼdoleng [aʔ.ˈɗo.lẽŋ] 'menggelepai'.[40] Kedua konsonan ini, terutama /b/ pada posisi awal, terkadang juga direalisasikan sebagai konsonan nirsuara tanpa aspirasi.[41] Fonem palatal /c/ dapat direalisasikan sebagai afrikat (bunyi hambat dengan pelepasan desis) [cç] atau bahkan [tʃ]. Fonem /ɟ/ juga dapat diucapkan sebagai afrikat [ɟʝ]. Jukes menganalisis kedua konsonan ini sebagai konsonan hambat karena keduanya memiliki padanan sengau palatal /ɲ/, sebagaimana konsonan hambat oral lainnya juga memiliki padanan sengau masing-masing.[42] FonotaktikStruktur dasar suku kata dalam bahasa Makassar adalah (K1)V(K2). Posisi K1 dapat diisi oleh hampir seluruh konsonan, sementara posisi K2 memiliki beberapa batasan.[43] Pada suku kata yang terletak dii akhir morfem, K2 dapat diisi oleh bunyi hambat (K) atau bunyi sengau (N) yang pengucapannya ditentukan oleh beberapa aturan asimilasi. Bunyi K berasimilasi (diucapkan sebagai konsonan yang sama) dengan konsonan nirsuara kecuali [h] dan direalisasikan sebagai [ʔ] dalam konteks lainnya. Bunyi N direalisasikan sebagai bunyi sengau yang homorgan (diucapkan pada tempat artikulasi yang sama) sebelum konsonan hambat atau sengau, berasimilasi dengan konsonan /l/ dan /s/, serta direalisasikan sebagai [ŋ] dalam konteks lainnya.[38][44] Sedangkan pada suku kata di dalam bentuk akar, bahasa Makassar mengontraskan satu bunyi tambahan pada posisi K2 selain K dan N, yaitu /r/. Analisis ini didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa Makassar membedakan antara deret bunyi lintas suku kata [nr], [ʔr], dan [rr]. Walaupun begitu, [rr] dapat pula dianggap sebagai realisasi dari satu segmen geminat murni alih-alih deret bunyi lintas suku kata.[45]
Bunyi /s l r/ dapat dikategorikan sebagai kelompok kontinuan (bunyi yang diucapkan tanpa menghalangi secara penuh aliran udara yang keluar melalui mulut) non-sengau, dan ketiga-tiganya tidak dapat mengisi posisi akhir suku kata kecuali sebagai bagian dari deret konsonan geminasi.[47] Kata dasar yang sejatinya berakhir dengan konsonan-konsonan ini akan diimbuhi vokal epentetis yang sama dengan vokal di suku kata sebelumnya, serta ditutup dengan konsonan hambat glotal [ʔ],[48] seperti pada kata ótereʼ /oter/ 'tali', bótoloʼ /botol/ 'botol', dan rántasaʼ /rantas/ 'kotor'.[49] Elemen tambahan ini juga disebut sebagai deret "vokal-konsonan pantulan" (echo-VC), dan dapat memengaruhi posisi tekanan pada sebuah kata (lihat bagian #Tekanan).[33][50] Umumnya, kata dasar dalam bahasa Makassar memiliki panjang dua atau tiga suku kata. Meski begitu, kata-kata yang lebih panjang dapat dibentuk karena sifat bahasa Makassar yang aglutinatif serta adanya proses reduplikasi (perulangan) yang masih sangat produktif.[51] Menurut Jukes, kata dengan panjang enam atau tujuh suku kata lazim ditemukan dalam bahasa Makassar, sementara kata dasar dengan satu suku kata (yang bukan merupakan pinjaman dari bahasa lain) sangatlah jarang, walaupun ada beberapa kata seru dan partikel yang terdiri dari satu suku kata saja.[52] TekananTekanan umumnya diberikan pada suku kata penultima (kedua dari akhir) dari sebuah kata dasar. Dalam kata ulang, tekanan sekunder akan diberikan pada unsur pertama, contohnya pada kata ammèkang-mékang /amˌmekaŋˈmekaŋ/ 'memancing-mancing (secara tidak serius)'.[51][53] Sufiks umumnya dihitung sebagai bagian dari unsur fonologis yang diberikan tekanan, sementara enklitik tidak dihitung (ekstrametrikal).[51][54] Kata gássing 'kuat', misalnya, jika ditambah sufiks benefaktif -ang akan menjadi gassíngang 'lebih kuat dari' dengan tekanan pada suku kata penultima, tetapi jika diberi enklitik pemarkah persona pertama =aʼ akan menjadi gássingaʼ 'saya kuat', dengan tekanan pada suku kata antepenultima (ketiga dari akhir).[55] Morfem lainnya yang dihitung sebagai bagian dari unsur yang diberi tekanan adalah klitik afiksal[h] pemarkah kepunyaan, seperti pada kata tedóng≡ku (kerbau≡1.POSS) 'kerbau saya'.[54] Khusus untuk pemarkah takrif (definite marker) ≡a, morfem ini dihitung sebagai bagian dari unsur yang diberi tekanan hanya jika kata dasar yang diimbuhinya berakhiran vokal seperti pada kata batúa 'batu (itu)'—bandingkan dengan pola tekanan pada kóngkonga 'anjing (itu)' yang kata dasarnya berakhiran konsonan.[57][58] Sebuah kata dapat memiliki tekanan pada suku kata keempat terakhir jika kata tersebut diimbuhi kombinasi enklitik dwisilabis seperti =mako (=ma PFV =ko 2), contoh: náiʼmako 'naiklah!'.[54] Posisi tekanan juga dapat dipengaruhi proses degeminasi vokal, yaitu peleburan vokal identik lintas morfem menjadi satu. Misalnya, kata jappa 'jalan' jika ditambah imbuhan -ang akan menjadi jappáng 'berjalan dengan', dengan tekanan pada suku kata ultima (akhir).[59] Suku kata vokal-konsonan pantulan dianggap bukan bagian dari unsur yang diberi tekanan, sehingga kata-kata yang memilikinya akan selalu diberi tekanan pada suku kata antepenultima, seperti pada kata lápisiʼ 'lapis', bótoloʼ 'botol', pásaraʼ, dan Mangkásaraʼ 'Makassar'.[33][50][49] Pengimbuhan sufiks -ang dan -i menghapus vokal-konsonan pantulan dan memindahkan tekanannya ke suku kata penultima, seperti pada kata lapísi 'lapisi'.[60] Penambahan klitik afiksal pemarkah kepunyaan juga memindahkan tekanan ke posisi penultima, tetapi tidak menghapus deret vokal-konsonan ini, seperti pada kata botolóʼna 'botolnya'. Sementara, penambahan pemarkah takrif dan enklitik tidak menghapus deret ini maupun mengubah posisi tekanannya, seperti pada kata pásaraka 'pasar (itu)' dan appásarakaʼ 'saya pergi ke pasar'.[47][61] Tata bahasaPronomina personaPronomina atau kata ganti persona dalam bahasa Makassar memiliki tiga bentuk, yaitu 1) bentuk bebas, 2) proklitik yang merujuk-silang (cross-reference) argumen S dan P ('absolutif'), serta 3) enklitik yang merujuk-silang argumen A ('ergatif').[62][i] Tabel berikut menunjukkan ketiga bentuk pronomina ini beserta pemarkah kepunyaan bagi masing-masing serinya.[63]
Pronomina persona pertama jamak inklusif juga digunakan untuk merujuk kepada persona kedua jamak sekaligus berfungsi sebagai bentuk hormat bagi persona kedua tunggal. Seri pronomina persona pertama ku= lazimnya juga digunakan untuk merujuk pada persona pertama jamak dalam bahasa Makassar modern; pronomina kambe dan pemarkah kepunyaan ≡mang bersifat arkais, sementara enklitik =kang hanya dapat muncul dalam bentuk kombinasi dengan klitik pemarkah modalitas dan aspek, seperti =pakang (=pa IPF =kang 1PL.EXCL).[64] Makna jamak dapat dinyatakan lebih jelas dengan menambahkan kata ngaseng 'semua' setelah bentuk bebas, semisal ia–ngaseng 'mereka semua' dan ikau–ngaseng 'kalian semua',[65] atau sebelum enklitik, misalnya ngaseng=i 'mereka semua'. Walaupun begitu, ngaseng tidak dapat dipasangkan dengan proklitik.[64] Bentuk proklitik dan enklitik merupakan bentuk pronomina yang paling umum digunakan untuk merujuk pada persona atau benda yang dituju (lihat bagian #Klausa dasar untuk contoh penggunaannya). Bentuk bebas lebih jarang digunakan; pemakaiannya biasanya terbatas pada klausa presentatif (klausa yang menyatakan atau mengenalkan sesuatu, lihat contoh 1), sebagai penekanan (2), dalam frasa preposisional yang berfungsi sebagai argumen maupun adjung (3), dan sebagai predikat (4).[66][j]
Nomina dan frasa nominaCiri dan jenis nominaNomina atau kata benda dalam bahasa Makassar merupakan kelas kata yang dapat menjadi argumen bagi sebuah predikat, sehingga bisa dirujuk-silang oleh klitik pronomina.[69] Nomina juga dapat menjadi inti dari sebuah frasa nomina (termasuk klausa relatif). Nomina dapat berperan sebagai pemilik maupun yang dimiliki dalam konstruksi kepemilikan; klitik afiksal akan diimbuhkan pada frasa nomina yang dimiliki. Ketakrifan nomina dapat dinyatakan dengan klitik afiksal ≡a. Nomina tanpa imbuhan juga dapat menjadi predikat dalam sebuah kalimat. Keseluruhan poin-poin utama ini digambarkan dalam contoh berikut:[70] Selain itu, nomina juga dapat dikhususkan oleh demonstrativa, diterangkan oleh adjektiva, dikirakan dengan numeralia, menjadi pelengkap dalam frasa preposisional, serta menjadi verba yang bermakna 'pakai/gunakan [nomina yang dimaksud]' jika diimbuhi dengan prefiks aK-.[70] Nomina yang biasanya diimbuhi klitika afiksal takrif ≡a dan pemarkah kepunyaan adalah nomina umum (common noun).[72] Sementara itu, nomina diri atau nama diri (proper noun) seperti nama tempat, nama orang, dan gelar (tidak termasuk panggilan kekerabatan) biasanya tidak diimbuhi pemarkah takrif dan kepunyaan, tetapi dapat dipasangkan dengan prefiks personal i- seperti kelas kata pronomina.[73] Beberapa nomina umum merupakan nomina generik yang sering kali menjadi inti dari sebuah kata majemuk, seperti kata jeʼneʼ 'air', tai 'tahi', dan anaʼ 'anak'.[74] Contoh kata-kata majemuk yang diturunkan dari nomina generik ini adalah jeʼneʼ inung 'air minum', tai bani 'lilin lebah' (arti harfiah: 'tahi lebah'), dan anaʼ baine 'anak perempuan'.[75] Istilah kekerabatan yang biasa dijadikan sapaan juga tergolong nomina umum, seperti misalnya kata mangge 'ayah', anrong 'ibu', dan sariʼbattang 'saudara'.[76] Contoh lainnya adalah kata daeng yang digunakan sebagai sapaan sopan secara umum, atau oleh seorang istri kepada suaminya.[75] Kelompok nomina utama lainnya adalah nomina temporal, yang biasanya muncul setelah preposisi dalam konstruksi adjung untuk menyatakan waktu.[74] Contoh nomina temporal adalah waktu jam (seperti tetteʼ lima '5.00 [pukul lima]'), waktu perkiraan berdasarkan pembagian hari (seperti bariʼbasa 'pagi'), hari-hari dalam seminggu, serta tanggal, bulan dan musim.[77] Nomina turunanNomina turunan dapat dibentuk dengan beberapa proses morfologis produktif, seperti reduplikasi dan pengimbuhan afiks pa-, ka-, dan -ang, baik sendiri-sendiri maupun secara kombinasi.[78] Tabel berikut memaparkan beberapa proses pembentukan nomina yang umum dalam bahasa Makassar:[79][80]
Terdapat beberapa pengecualian dari pola umum yang dijabarkan di atas. Misalnya, reduplikasi kata oloʼ 'ulat' menjadi oloʼ-oloʼ menghasilkan perluasan makna menjadi 'binatang'.[98] Pengimbuhan pa- pada dasar verba juga tidak selalu mengindikasikan instrumen atau alat, contohnya paʼmaiʼ 'napas, tabiat, hati' (seperti dalam frasa lompo paʼmaiʼ 'besar hati') yang diturunkan dari kata aʼmaiʼ 'bernapas'.[99][100] Pengimbuhan pa>...<ang pada dasar verba ammanaʼ 'beranak' menghasilkan kata pammanakang yang bemakna 'keluarga', walaupun mungkin saja kata ini awalnya merupakan kiasan ('tempat untuk memiliki anak').[101] Frasa nominaKomponen frasa nomina dalam bahasa Makassar dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu 1) inti (head), 2) pengkhusus (specifier), dan 3) pewatas (modifier).[102] Yang dimaksud dengan pengkhusus adalah demonstrativa dan numeralia serta penggolong (classifer), sementara pewatas dapat berupa nomina, adjektiva, verba atau klausa relatif yang memodifikasi nomina inti. Pengkhusus juga berbeda dari pewatas karena dapat diletakkan sebelum nomina inti, seperti dalam frasa anjo kongkong≡a (itu anjing≡DEF) 'anjing itu'. Numeralia diletakkan sebelum nomina inti jika nomina tersebut bersifat takrif (6), tetapi diletakkan setelahnya jika nomina tersebut bersifat taktakrif (7).[103]
Pewatas selalu diletakkan setelah nomina inti yang dimodifikasinya, dan dapat berupa:[105]
Klausa relatif dalam bahasa Makassar langsung diletakkan setelah nomina inti tanpa penanda khusus (tidak seperti bahasa Indonesia yang memerlukan kata seperti 'yang' sebelum klausa relatif). Verba dalam klausa relatif akan diberi pemarkah takrif ≡a.[109]
Verba
Klausa dasarKlausa intransitifDalam klausa intransitif bahasa Makassar, enklitik 'absolutif' (=ABS) digunakan untuk merujuk-silang satu-satunya argumen dalam klausa tersebut (S) jika argumen tersebut bersifat takrif (definite) atau kentara (salient) menurut konteks percakapannya. Enklitik ini cenderung dipasangkan pada konstituen pertama dari sebuah klausa. Prefiks (imbuhan awalan) aK- umumnya digunakan untuk membentuk verba intransitif, walaupun beberapa verba seperti tinro 'tidur' tidak memerlukan prefiks ini.[110]
Klausa intransitif juga dapat dibentuk dengan inti (head) predikat nomina (13) dan pronomina (contoh (4) di atas), adjektiva (14) atau frasa preposisional (15).[111] Klausa transitifVerba dalam klausa transitif tidak diimbuhi afiks, tetapi diberi proklitik pronomina yang menandakan A atau pelaku (actor) serta enklitik pronomina yang menandakan P atau penderita (undergoer).[111] Jika kedua argumen yang melengkapi predikat verba sama-sama merupakan persona ketiga, dapat terjadi ketaksaan mengenai argumen mana yang dirujuk-silang oleh masing-masing klitik. Dalam kasus ini, konteks pragmatis diperlukan untuk menentukan makna yang tepat bagi klausa tersebut.[111]
Agar dapat dirujuk-silang dengan klitik, penderita dalam klausa transitif harus bersifat takrif. Contoh penderita yang bersifat takrif adalah nama dan gelar, kata yang rujukannya kentara secara pragmatis seperti pronomina persona pertama dan kedua, serta kata yang dipasangkan dengan pemarkah kepunyaan (seperti miongku dan tedongku dalam contoh 16–17) atau pemarkah takrif (seperti untia dalam contoh 18).[112] Pengecualian terhadap pola umum pembentukan klausa transitif terjadi jika 1) argumen A atau P menjadi fokus dalam sebuah klausa; 2) klitik dipasangkan pada kata lainnya karena ada unsur sebelum verba; atau 3) jika klausa tersebut memiliki penderita yang taktakrif (indefinite). Pola ketiga dianalisis oleh Jukes sebagai bentuk klausa semitransitif.[113] Klausa semitransitifKlausa semitransitif merupakan klausa yang memiliki dua partisipan, tetapi hanya satu partisipan saja yaitu pelaku yang dirujuk-silang oleh klitik pronomina. Klitik yang dipakai adalah seri enklitik pronomina 'absolutif' (yang umumnya digunakan untuk merujuk-silang S dan P). Dengan kata lain, verba dalam klausa semitransitif umumnya bersifat bivalen atau dwivalen (memerlukan dua argumen atau pelengkap verba) seperti dalam klausa transitif, tetapi penderita dalam klausa sejenis ini berbeda dari P dalam klausa transitif pada umumnya karena tidak dirujuk-silang oleh klitik pronomina. Prefiks aN(N)- umumnya diimbuhkan pada verba semi-transitif. Penderita dalam klausa sejenis ini bersifat taktakrif, seperti yang bisa dilihat dari contoh (19); bandingkan dengan contoh (18) yang memiliki penderita takrif.[114] Frasa nomina penderita (seperti unti 'pisang' dalam contoh 18) umumnya diperlukan untuk melengkapi klausa semi-transitif. Walaupun begitu, frasa nomina ini dapat dibuang dalam klausa dengan verba ambitransitif (verba yang dapat dimaknai sebagai verba transitif maupun intransitif) seperti kanre 'makan' dan inung 'minum'. Klausa seperti ini dapat dianggap memiliki makna intransitif.[112] Fokus dan topikFokusArgumen dalam sebuah kalimat dapat muncul sebelum verba dan tidak dirujung-silang dengan klitik. Argumen yang berada pada posisi ini dianggap sebagai argumen yang difokuskan, dengan fungsi pragmatis seperti disambiguasi, penekanan, atau pemastian.[115] Jika dibandingkan dengan contoh (12) yang sekadar merupakan pernyataan fakta ('si Ali tidur'), contoh (21) dapat menyatakan makna 'kuberitahu padamu, si Ali sedang tidur', 'kudengar si Ali sedang tidur', atau makna interogatif 'benarkah si Ali yang tidur?'. Contoh ini juga merupakan jawaban bagi pertanyaan inai tinro? 'siapa yang tidur?'.[115] Dalam kalimat transitif, salah satu argumen dapat difokuskan.[116] Imbuhan aN- (bedakan dari imbuhan semi-transitif aN(N)- yang menukar konsonan awal kata dasar dengan bunyi sengau) biasanya akan ditambahkan pada kalimat dengan fokus pada argumen pelaku, sementara kalimat dengan fokus pada argumen penderita tidak memilki imbuhan apapun dan hanya ditandai dengan ketiadaan klitik yang merujuk-silang argumen tersebut.[117] Contoh kalimat (22) memfokuskan argumen A atau pelaku, sementara contoh (23) memfokuskan argumen P atau penderita.[116]
TopikalisasiTopikalisasi merupakan proses pelepasan ke kiri (left dislocation), atau pengedepanan unsur kalimat yang disertai jeda prosodik antara unsur tersebut dan unsur kalimat lainnya. Topikalisasi berbeda dari fokus karena argumen inti yang dijadikan topik tetap harus dirujuk-silang. Secara fungsi, topikalisasi biasanya digunakan untuk menetapkan topik baru dalam sebuah naskah atau percakapan.[118] Perbedaan antara topik dan fokus dapat dilihat dalam contoh (24–25). Dalam kedua contoh tersebut, argumen A (kongkonga) berada pada posisi topik dan dirujuk-silang oleh klitik na=, tetapi dalam contoh (25), argumen P (mionga) yang berada pada posisi fokus tidak dirujuk-silang oleh klitik apapun.[119]
Kala, aspek, dan modalitasSelain klitik pronomina persona yang dipakai untuk merujuk-silang argumen dalam sebuah kalimat, bahasa Makassar juga memiliki serangkaian klitik yang digunakan untuk memarkahi makna gramatikal seperti kala (tense), aspek, modalitas, serta polaritas (pembenaran dan penyangkalan). Klitik yang termasuk golongan ini adalah proklitik la= FUT dan ta= NEG, serta enklitik =mo PFV, =pa IPF, =ja LIM, dan =ka OR.[120] Klitik jenis ini secara umum diletakkan sebelum klitik pronomina (jika ada), baik dalam posisi awal atau akhir kata dasar yang diimbuhinya.[121] Bunyi vokal dalam enklitik aspek/modalitas akan dibuang jika diikuti oleh enklitik pronomina =aʼ dan =i, dengan pengecualian enklitik =ka yang menjadi =kai jika dipasangkan dengan =i.[122] Tabel berikut menunjukkan kombinasi antara enklitik aspek/modalitas dan pronomina:[123]
Proklitik ta=, walaupun merupakan morfem penyangkal yang paling dasar dalam bahasa Makassar, bukan merupakan penyangkal yang paling umum digunakan. Konstruksi sangkalan pada umumnya menggunakan gabungan kata yang sudah mengalami gramatikalisasi seperti taena 'tidak'.[123] Sementara, proklitik la= dapat digunakan untuk menyatakan kala mendatang (future tense) atau makna 'akan', seperti dalam contoh berikut:[124]
Proklitik la= juga dapat ditemui dalam pertanyaan, seperti dalam ungkapan lakereko mae? atau lakeko mae? 'kamu mau ke mana?' (arti harfiah: 'di mana kamu akan berada?') yang merupakan sapaan umum di Makassar.[124] Penggunaan klitik perfektif =mo bersamaan dengan la= menandakan bahwa hal yang dirujuk oleh kedua klitik tersebut akan segera terjadi.[124]
Enklitik =mo sendiri pada dasarnya merupakan pemarkah aspek perfektif atau makna 'sudah/telah'.[125]
Enklitik ini juga memiliki makna deontik (menandakan keharusan atau kepastian) dan dapat digunakan dalam konstruksi imperatif seperti dalam contoh (9). Dalam konstruksi interogatif, penambahan enklitik =mo menandakan bahwa penanya menginginkan jawaban yang pasti.[126]
Lawan dari =mo adalah enklitik imperfektif =pa, yang menyampaikan makna 'belum usai' atau 'masih'.[127]
Makna 'saja, hanya' (dalam artian 'tidak lebih dari' atau 'tiada lain selain') disampaikan oleh enklitik limitatif =ja. Contoh penggunaan:[128]
Enklitik =ka memiliki dua fungsi. Dalam kalimat tanya, enklitik ini digunakan untuk meminta kepastian atau mengklarifikasi pernyataan lawan bicara, serupa partikel question tag dalam bahasa Inggris.[129] Fungsi lain enklitik =ka adalah untuk memarkahi pilihan atau kemungkinan, misalnya tedong=ka jarang=ka (kerbau=OR kuda=OR) '[pilihannya] antara kerbau atau kuda'. Contoh penggunaan yang lebih panjang dapat dilihat dari kutipan mukadimah Sejarah Gowa berikut:[130]
Simbol dan singkatan istilah
Keterangan
RujukanSitiran
Daftar pustaka
Pranala luar
|