Cari artikel bahasaCari berdasarkan kode ISO 639 (Uji coba)Kolom pencarian ini hanya didukung oleh beberapa antarmuka
Halaman bahasa acak
Bahasa Buru merupakan sebuah bahasa Austronesia yang dituturkan di Pulau Buru, Maluku. Penuturnya berjumlah sekitar 45.000 orang.[1]
Klasifikasi dan dialek
Bahasa Buru termasuk ke dalam rumpun bahasa Maluku Tengah yang juga mencakup sebagian besar bahasa-bahasa Austronesia di Kepulauan Maluku. Di antara bahasa-bahasa Maluku Tengah, bahasa Buru paling dekat hubungannya dengan bahasa-bahasa di kepulauan Sula dan Taliabu, membentuk subkelompok Buru-Sula-Taliabu dalam rumpun Maluku Tengah. Rumpun bahasa Maluku Tengah sendiri termasuk dalam kelompok Melayu-Polinesia (cabang Tengah-Timur) dari keluarga Austronesia.[4]
Pada tahun 1980-an, bahasa Buru memiliki lima dialek, yaitu Masarete, Wae Sama, Rana, Lisela, dan Fogi.[5] Di antara kelima dialek bahasa Buru, dialek Lisela merupakan dialek yang paling berbeda secara kosakata. Namun, dalam hal struktur, dialek Lisela hampir persis sama dengan dialek Masarete dan Rana.[6] Perbedaan antar dialek juga tidak menghalangi usaha untuk berkomunikasi satu sama lainnya. Ditambah lagi, masyarakat Buru menganggap bahwa kelima dialek ini merupakan satu kesatuan dan bukannya bahasa-bahasa berbeda.[7]
Pantangan
Masyarakat Buru mengenal pantangan atau koit yang melarang penggunaan kata-kata tertentu dan menggantinya dengan kosakata baru yang mirip secara semantik, atau kata yang dimaksudkan sebagai deskripsi.[8][9] Salah satu pantangan adalah menyebut nama kerabat secara langsung. Jika nama kerabat tersebut diambil dari nama makhluk hidup atau fenomena alam (penamaan semacam ini umum di beberapa tempat yang masih belum begitu dipengaruhi budaya luar), maka nama makhluk atau fenomena tersebut pun pantang diucapkan.[a][10] Ada pula pantangan yang diasosiasikan dengan wilayah tertentu; wilayah pantangan ini disebut net koit dalam bahasa Buru. Contohnya kata ikan 'ikan', yang di beberapa daerah diganti dengan kata edhamat 'sesuatu yang mengambang',[11] atau kata senget 'nyamuk' yang di beberapa tempat diganti inhadat 'sesuatu yang menggigit'.[9] Pantangan semacam ini biasanya dikaitkan dengan legenda atau mitos setempat.[9][11]
Di wilayah pedalaman Garan yang tak berpenghuni di bagian barat laut pulau, bahasa Buru sehari-hari sepenuhnya pantang digunakan. Wilayah pantangan ini memilki panjang dan lebar kurang lebih dua hari perjalanan dari ujung ke ujung. Untuk menghindari menggunakan bahasa sehari-hari, penutur dialek Rana yang lazim melalui wilayah ini pun menciptakan ragam bahasa bernama Li Garan 'bahasa Garan', yang leksikonnya dibentuk melalui metode yang umum digunakan untuk menghindari kata pantangan seperti dijelaskan di atas.[6] Contohnya, dalam Li Garan, kata geba 'orang' diganti em-kise-n (kata dasar kise berarti 'berdahi tinggi'), ana-fina 'perempuan' diganti em-kise-n brenge-t (kata dasar brenge berarti 'kuskus betina'[b]), dan kira-n 'dahi' diganti olo-n hapu-t '(bagian) kepala yang diikat'.[12] Selain berfungsi sebagai ragam bahasa yang digunakan di wilayah Garan, penutur dialek Rana juga menggunakan ragam ini sebagai bahasa rahasia jika ingin mendiskusikan sesuatu tanpa melibatkan penutur dialek lain.[6]
Demografi dan persebaran
Bahasa Buru dituturkan di sebagian besar Pulau Buru. Dialek Masarete dituturkan di daerah aliran sungai Wa Mala di bagian barat daya pulau, dialek Wae Sama di pesisir tenggara, dialek Rana di wilayah pedalaman, dialek Lisela di sepanjang pesisir utara, dan dialek Fogi di pesisir barat daya.[13][5] Dialek Rana dan Lisela merupakan dialek dengan jumlah penutur terbanyak pada tahun 1989.[14] Dari kelima dialek ini, penggunaan dialek Masarete, Wae Sama dan Rana masih cukup kuat. Sementara itu, dialek Lisela penggunaannya menurun, dan penutur dialek Fogi yang jumlahnya paling sedikit mungkin sudah bertukar menggunakan bahasa Melayu seluruhnya.[13][15]
Fonologi
Terdapat 17 fonemkonsonan dan 5 fonem vokal dalam bahasa Buru. Fonem /dʒ/ merupakan serapan.[16]
Dalam bahasa Buru, evaluasi dari sebuah ungkapan selalu dilakukan di akhir, termasuk dalam hal negasi.[17]
[Sira
hapu
lafa-t
la
yako
langina]
moo
3pl
ikat
makanan-nom
untuk
1sg
sebelumnya
neg
'Mereka tidak menyiapkan bekal makanan untuk saya tadi'
Penggunaan kata penyangkal di akhir kalimat pada bahasa Buru berlawanan dengan lazimnya bahasa Austronesia yang meletakkan kata penyangkal sebelum predikat atau kata kerja. Negasi di akhir kalimat merupakan ciri khas bahasa-bahasa non-Austronesia di Papua dan Halmahera, yang kemudian menyebar ke beberapa bahasa-bahasa Austronesia di Maluku dan Papua (termasuk Buru) melalui kontak.[18]
Referensi
Keterangan
^Tidak seperti pada beberapa masyarakat Austronesia lainnya, menyebut nama kerabat yang sudah meninggal bukanlah pantangan. Terkadang, mereka bahkan dipanggil dengan nama langsung tanpa panggilan kekerabatan.[9]
^Kata ini pun awalnya tumbuh dari pantangan; kata dasar renge berarti 'membawa sesuatu dengan menyampirkannya di punggung', sebab induk kuskus sering kali menggendong anaknya di punggung.[12]
^Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Buruic". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.Pemeliharaan CS1: Tampilkan editors (link)
^"Bahasa Buru". www.ethnologue.com (dalam bahasa Inggris). SIL Ethnologue.
Grimes, Charles E. (1995). Digging for the Roots of Language Death in Eastern Indonesia: The Cases of Kayeli and Hukumina. 69th Annual Meeting of the Linguistic Society of America. New Orleans. hlm. 1–18.
Grimes, Charles E.; Maryott, Kenneth R. (1994). "Name speech registers in Austronesian languages". Dalam Thomas Edward Dutton; Darrell T. Tryon. Language Contact and Change in the Austronesian World. Trends in Linguistics. 77. hlm. 275–319. ISBN9783110883091.
Klamer, Marian (2002). "Typical Features of Austronesian Languages in Central/Eastern Indonesia". Oceanic Linguistics. 41 (2): 363–383. doi:10.1353/ol.2002.0007.