Bahasa HajiBahasa Haji atau Aji adalah sebuah ragam bahasa Melayik yang digunakan oleh masyarakat Marga Aji yang mendiami 12 desa di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, serta beberapa pemukiman di Kabupaten Lampung Selatan hasil migrasi penduduk pada paruh pertama abad ke-20. Wilayah tutur bahasa Haji dihimpit oleh ragam-ragam dari rumpun Lampung-Komering seperti Daya dan Ranau, serta ragam Melayu Barisan Selatan seperti Semende.[3] KlasifikasiMeskipun bahasa Haji memiliki persentase kata serapan Lampung-Komering yang signifikan, sebagian besar kosakata dasarnya lebih berpadanan dengan rumpun Melayik. Di antara bahasa-bahasa Melayik sendiri, bahasa Haji sejauh ini dianggap sebagai isolat dan tidak berkerabat dekat dengan ragam-ragam Melayik di kawasan sekitarnya.[3][4] Analisis leksikostatistik terhadap kosakata dasar menunjukkan bahwa bahasa Haji hanya berbagi rerata sekitar 65% kosakata sekerabat (kognat) dengan ragam-ragam Melayu Barisan Selatan, 60% dengan ragam-ragam Musi dan Palembang, 63% dengan bahasa Proto-Melayik, dan 60% dengan bahasa Indonesia.[4] Bahasa Haji memiliki beberapa ciri arkais yang dipertahankan dari Proto-Melayik, tetapi hilang di ragam Melayik lainnya, seperti retensi bunyi *h (< Proto-Melayu-Polinesia *q) di awal kata (hasap < PM *hasəp 'asap'), walaupun ada kemungkinan hal ini dipengaruhi oleh ragam Lampungik di sekitarnya yang juga mempertahankan bunyi tersebut. Bahasa Haji juga mempertahankan sistem vokal Proto-Melayik yang terdiri dari dua vokal tinggi /i/ dan /u/ (dengan alofon yang sedikit lebih rendah di suku kata akhir tertutup), vokal rendah /a/, pepet, serta diftong /aj/ dan /aw/.[3] Bahasa ini juga merupakan satu dari sedikit ragam Melayik di Sumatra Selatan yang mempertahankan pengucapan Proto-Melayik *a di posisi akhir sebagai [a]; beberapa ragam Melayu Barisan Selatan di kawasan yang sama juga mempertahankan sistem vokal PM, tapi merealisasikan fonem /a/ di akhir secara bervariasi menjadi [ɘ], [ɨ] dan lain sebagainya.[4] Di sisi lain, bahasa Haji juga memiliki beberapa inovasi fonologis yang unik, seperti perubahan vokal tertutup menjadi /a/ sebelum /h/ yang tidak berada di posisi akhir, seperti bahaya < PM *buhaya 'buaya', lahat < PM *lihat 'lihat', dan tahang < PM *tihaŋ 'tiang'.[3] SosiolinguistikBahasa Haji lazim digunakan dalam kegiatan sehari-hari di lingkungan domestik, terutama di keluarga inti, dalam percakapan antarteman, serta sewaktu melakukan kegiatan di sawah dan kebun. Penutur bahasa Haji cenderung bertukar menggunakan bahasa Indonesia dalam domain formal seperti urusan kepemerintahan dan keagamaan, serta bahasa Daya (Komering) dan bahasa Palembang saat berbelanja di kalangan (pasar mingguan).[3] Penutur bahasa Haji cenderung menggunakan lebih banyak serapan rumpun Lampung ketika berbicara dengan penutur ragam dari rumpun tersebut. Tingginya penggunaan serapan rumpun Lampung kemungkinan juga dipengaruhi oleh pantangan untuk menggunakan kosakata Melayik tertentu di masa lalu. Linguis Karl Anderbeck yang merupakan ahli dialektologi Melayik dan Lampungik mencatat bahwa sebagian penutur bahasa Haji, misalnya, mengganti kata asli Melayik hujan 'hujan' dengan serapan Lampung terai akibat pantangan leluhur. Perubahan leksikon akibat pantangan seperti ini lazim ditemui dalam bahasa-bahasa Austronesia secara umum, walaupun tampaknya proses ini sudah tidak produktif lagi di bahasa Haji.[3] Tata bahasaPronomina
Bahasa Haji menggunakan kata ganti penunjuk hani 'ini' dan hatu 'itu':
SintaksisSebagaimana ragam Semende dan rumpun Lampung yang bertetangga dengannya, bahasa Haji cenderung tidak menggunakan penanda klausa relatif ('yang'):
Referensi
Pranala luar
|