Bahasa Binan (kadang disebut juga bahasa Banci, bahasa Bencong, bahasa Gay dsb.) adalah ragam bahasa Indonesia yang dipertuturkan oleh komunitas gay dan waria di Indonesia. Bahasa ini memiliki beberapa pola pembentukan kata yang teratur dan terdokumentasikan dalam tulisan dan ujaran.[1] Salah satu pola pembentukan kata yang paling umum adalah dengan mengganti suku kata terakhir dari kata bahasa Indonesia/bahasa daerah menjadi akhiran -ong (tetapi konsonan pertamanya dipertahankan) dan mengubah vokal suku kata sebelumnya menjadi bunyi e. Sebagai contoh, suku kata terakhir dalam kata banci diganti dengan akhiran -ong (tetapi konsonan c dipertahankan) dan huruf vokal suku kata sebelumnya diganti e sehingga menghasilkan kata bencong.
Perbendaharaan kata dalam bahasa Binan kebanyakan diturunkan dari bahasa Indonesia, dengan sedikit kata yang diturunkan dari bahasa daerah, seperti bahasa Jawa.[2]
Penamaan
Binan berasal dari kata banci dengan suku kata pertama ban diberi sisipan -in- dan suku kata berikutnya dihilangkan. Pembuatan kata baru dengan memberikan sisipan pada suku kata semacam ini cukup jamak dalam bahasa Binan, seperti kata bule menjadi binul, gay menjadi ginay dan lesbi menjadi lines.[3]
Sebagaimana sifat bahasa Binan sendiri yang sangat fleksibel dan mudah berubah, selain disebut bahasa Binan, bahasa ini juga bisa disebut bahasa Banci, bahasa Bencong, bahasa Binaria, bahasa Binanto Warsito dan bahasa Waria.[4]
Sebagian peneliti mencoba membedakan istilah bahasa Binan dengan bahasa Gay karena menggambarkan subjek yang berbeda. Istilah Binan/Banci/Bencong dihindari karena merupakan istilah yang digunakan untuk meremehkan/merendahkan waria. Meskipun demikian, kedua ragam bahasa ini dinyatakan sangatlah berdekatan.[5]
Sejarah
Bahasa Binan setidaknya sudah timbul pada kisaran tahun 1960-an di kalangan waria dan pria homoseksual Indonesia. Pada 1960-an, bahasa Binan masih sebatas akhiran se', seperti terima kasih → trimse'. Lambat laun kata-kata berakhiran cong dan ces diperkenalkan. Bahasa ini lantas dikenal dengan sebutan Omong Cong atau Omong Ces. Contoh penggunaan bahasa Binan se' dan cong ini dapat dilihat pada film Betty Bencong Slebor yang dibuat pada tahun 1970-an. Kemudian bahasa ini terus berkembang hingga lebih dikenal dengan istilah bahasa Binan seperti sekarang. Sebagian kata dalam khazanah bahasa Binan lambat laun diterima dalam percakapan informal sehari-hari di luar komunitas waria/homoseksual.[6][7][8] Puncak penerimaan bahasa Binan dalam bahasa Indonesia gaul terjadi pada dasawarsa 1990. Televisi dan radio mulai diramaikan dengan penggunaan bahasa Binan sebagai bagian dari sajian hiburan. Kata-kata yang mulanya berasal dari bahasa Binan, mulai lazim terdengar dalam percakapan sehari-hari, seperti nepsong, bencong, lekong dll.[3]
Bahasa Binan yang dikenal hari ini kemungkinan berkembang dari bahasa yang dituturkan para waria di Medan. Sebagaimana yang diceritakan oleh Debby Sahertian bahwa pada 1997, komunitas waria atau bencong di kota Medan telah aktif menggunakan bahasa ini. Bahasa ini kemudian terbawa ke Jakarta dan mulanya digunakan di salon-salon di seantero Jakarta. Debby mengaku semenjak itu ia mulai menggunakan bahasa itu bersama sebagian kawan selebritas, contohnya bersama Tata Dado. Debby dibantu Tata Dado dan sejumlah selebritas lain kemudian mulai mencatat dan mendokumentasikan kata-kata bahasa Binan ini yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah kamus, yakni Kamus Bahasa Gaul, yang terbit pertama kali pada 1999.[9] Pencatatan dan dokumentasi ini dilatarbelakangi kekhawatiran Debby Sahertian bahwa bahasa Binan ini akan menguap begitu saja seperti bahasa Prokem pada 1980-an.[10][11] Seiring dengan meningkatnya pamor bahasa Binan belakangan ini, Debby Sahertian mengaku berencana untuk memperbarui Kamus Bahasa Gaul-nya, sehingga kata-kata yang lebih baru dapat tercatat dengan baik.[12]
Tata bahasa
Sebagai turunan dari "bahasa vernakuler nasional" yaitu bahasa Indonesia, bahasa Binan pada dasarnya memiliki struktur tata bahasa Indonesia. Bahasa Binan yang dituturkan di daerah, misalkan Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, memiliki sedikit perbedaan pada tataran leksikon yang berasal dari bahasa daerah. Perbedaan leksikon tersebut tidak mengakibatkan adanya bahasa Binan daerah, melainkan tetap merupakan bagian tak terpisahkan dari bahasa Binan yang dipertuturkan secara nasional oleh komunitas-komunitasnya. Adakalanya kosakata bahasa Binan yang berasal dari bahasa daerah tersebar luas dan digunakan pada tingkat nasional.[13][14]
Kosakata
Leksikon dalam bahasa binan menunjukkan adanya serangkaian pola pembentukan kata yang cukup konsisten. Kosakata bahasa Binan umumnya dibentuk dengan dua cara, yakni (1) perubahan bunyi dalam kata yang berasal dari bahasa daerah atau bahasa indonesia; dan (2) penciptaan kata atau istilah baru ataupun penggeseran makna kata atau istilah (pelesetan) yang sudah ada dalam bahasa daerah atau bahasa indonesia.[6] Akan tetapi, penelitian lainnya memperinci proses-proses pembentukan istilah ini ke dalam empat jenis, yaitu penggantian silabis (syllabic substitution), neologisme, pergeseran makna (semantic shift) dan afiksasi.[15]
Sebagian kata baru dalam bahasa Binan tetap dapat dikombinasikan dengan afiksasi umum dalam bahasa Indonesia baku/gaul sesuai kebutuhan, seperti kata pacar → pecong + akhiran -an → pecongan (pacaran); isap → esong+ awalan ng-→ ngesong (mengisap).
Penggantian silabis
Pada pertengahan 1990-an, pola pembentukan istilah baru dalam bahasa Binan yang paling populer adalah pola penggantian silabis. Dalam penggantian silabis, kata dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah diganti dengan kata lainnya yang memiliki kemiripan silabis/suku kata (umumnya suku kata pertama). Contohnya kata tidak yang diganti dengan kata tinta.[13] Pola pembentukan kata ini dipercayai berawal di Medan dan kemudian menyebar di semua kota-kota Indonesia.[6]
Di bawah ini akan dijabarkan beberapa contoh penggantian silabis berdasarkan kalompok asal katanya.
Neologisme dalam bahasa Binan memungkinkan pembuatan kata baru, tidak berasal dari kata bahasa Indonesia/daerah yang sudah ada. Kata baru ini biasanya masih mengandung suku kata yang mirip dengan kata yang dimaksud dalam bahasa Indonesia/daerah, contohnya akika (aku), cuco' (cakep) dan jahara (jahat).
Kata bahasa Binan
Kata yang dimaksud
Kesamaan bunyi
Akika
Aku
ak
Lambreta
Lambat
lam
Takara
Takut
tak
Dolang
Dulu
d-l
Capcus
Cabut
ca
Pergeseran makna
Pergeseran makna adalah pola pembentukan istilah dalam bahasa Binan yang memberikan makna baru pada kosakata bahasa Indonesia, tanpa memandang apakah memiliki kemiripan suku kata dengan makna yang dimaksud, contohnya istilah kucing untuk pekerja seks.
Kata bahasa Binan
Arti
Cuci WC
Menjilat pantat
Nyiur melambai
Feminin
Kucing
Pelacur laki-laki
Lubang buaya
Orang yang suka disemburit
Mandi kucing
Menjilati badan
Brondong
Laki-laki muda
Afiksasi
Afiksasi atau pemberian imbuhan adalah salah satu pola umum pembentukan istilah baru dalam bahasa Binan. Afiksasi dapat berupa awalan (prefiks), sisipan (infiks) dan akhiran (sufiks). Pemberian afiksasi tak jarang juga disertai perubahan bunyi vokal dan penghilangan suku kata tertentu pada sebuah kata. Berbagai macam kaidah pemberian imbuhan ini akan dijelaskan satu per satu di bawah ini.
Awalan si-
Pola pembentukan kata baru dengan memberikan awalan si- ini dapat ditemui di Surabaya, Malang, Semarang, Solo, Yogyakarta dan kota-kota berbasis budaya Jawa lainnya, dan umumnya berupa perubahan bunyi terhadap kata-kata bahasa Jawa. Pola pembentukan ini dilakukan dengan cara mempertahankan suku kata pertama kata dasar dan apabila suku kata pertama diakhiri dengan huruf vokal, maka konsonan dari suku kata berikutnya diikutkan. Kemudian dari suku kata tersebut diberikan awalan si-.[6]
Contoh:
banci → si + ban → siban
lanang ꦭꦤꦁ (bahasa Jawa) → si + lan → silan
wedok ꦮꦺꦢꦺꦴꦏ꧀ (bahasa Jawa) → si + wed → siwed
homo → si + hom → sihom
Sisipan -in-
Pola pembentukan kata dengan sisipan -in- pada mulanya hanya dipakai di kawasan Jakarta dan Bandung, tetapi kemudian dalam perkembangannya juga menyebar ke kota-kota lain di Indonesia. Pola pembentukan ini menyisipkan sisipan -in- sesudah konsonan awal setiap suku kata pada suatu kata dasar, sehingga dua kali lebih panjang dari kata aslinya. Kadang kata yang menjadi panjang itu kemudian diperpendek dengan hanya mempertahankan suku kata pertama.[6]
Pola pembentukan dengan akhiran -ong adalah salah satu pola pembentukan yang paling umum dan produktif dalam bahasa Binan. Bahasa dengan pola pembentukan kata ini juga bisa disebut omong cong atau bahasa ong-ong. Prosesnya dilakukan dengan cara mengganti suku kata terakhir menjadi -ong dan mengubah bunyi vokal suku kata sebelumnya dengan vokal è.[6] Konsonan pertama suku kata terakhir dipertahankan sehingga membentuk suku kata baru bersama akhiran -ong.
Contoh:
laki → la-k + ong → lekong
homo → ho-m + ong → hemong
banci → ban-c + ong → bencong
polisi → po-li-s + ong → polesong
napsu → nap-s + ong → nepsong
sakit → sa-k + ong → sekong
tua → tu-(w) + ong → tewong
Akhiran -es
Mirip dengan pola pembentukan dengan akhiran -ong, pola pembentukan akhiran -es juga banyak ditemui dalam bahasa Binan. Bahasa dengan pola pembentukan kata ini juga bisa disebut omong ces atau bahasa es-es. Prosesnya dilakukan dengan cara mengganti suku kata terakhir menjadi -es dan mengubah bunyi vokal suku kata sebelumnya dengan vokal è.[6] Konsonan pertama suku kata terakhir dipertahankan sehingga membentuk suku kata baru bersama akhiran -es.
Contoh:
laki → la-k + es → lekes
banci → ban-c + es → bences
pura(-pura) → pu-r + es → peres
tentara → ten-ta-r + es → tenteres
Akhiran -i
Sekitar pertengahan tahun 1990-an, pola pembentukan kata dengan akhiran -i muncul. Pola pembentukan kata baru berakhiran -i ini memiliki aturan yang mirip dengan pola pembentukan kata baru berakhiran -ong atau -es. Walaupun demikian, pola ini tidak sepopuler dan seproduktif akhiran -ong atau -es yang telah banyak menghasilkan kata baru. Hanya beberapa kata khusus saja yang lebih jamak menggunakan pola kata berakhiran -i dibandingkan ragamnya yang berakhiran -ong atau -es.[6]
Contoh:
kontol → kon-t + i → kenti
pantat → pan-t + i → penti
Akhiran -se'
Pola pembentukan dengan akhiran -se' memiliki aturan yang mirip dengan pola pembentukan kata dengan akhiran lainnya, yakni suku kata pertama (huruf vokal tidak diubah) dan konsonan pertama suku kata berikutnya dipertahankan, kemudian ditambahkan akhiran -se'. Kata se' sendiri (berasal dari kata sakit) juga dapat dimaknai sebagai gay/homoseks.[6]
Contoh:
homo → ho-m + se' → homse'
Cina → Ci-n + se' → Cinse'
terima kasih → t(e)rim + se' → trimse'
Adakalanya akhiran -se' juga dikombinasikan dengan pola pembentukan kata lainnya, sebagai contoh:
dorong (dalam hal seks anal) → do-r + -ong/-es → derong/deres → derse
Akhiran -ce
Pola pembentukan berakhiran -ce tidak sering dibahas jika dibadingkan dengan pola-pola lain yang telah dijelaskan sebelumnya. Meskipun demikian, kata-kata dalam bahasa Binan dengan akhiran -ce lumayan banyak ditemukan.
Contoh:
murah → mu-r + ce → murce
di mana → di-man + ce → dimance
ke mana → ke-ma-n + ce → kemance
Akhiran -wati
Berbeda dengan pola-pola pembentukan kata sebelumnya yang secara morfologis tidak mempengaruhi arti kata dasar, akhiran -wati memiki fungsi untuk menunjukkan kata sifat dll. atau orang (umumnya merujuk gay/waria) yang melakukan perbuatan/memiliki sifat tersebut.
Contoh:
sibuk → sibuk + wati → sibukwati (orang yang sangat sibuk)[16]
rempong → rempong + wati → rempongwati (orang yang sangat repot/ribet)
Lain-lain
Sebagai bahasa yang sangat dinamis, bahasa Binan terus memunculkan kata-kata baru dan juga afiksasi-afiksasi baru. Terdapat beberapa afiksasi yang belum banyak terdokumentasikan sehingga belum cukup kuat untuk dinyatakan sebagai pola pembentukan kata yang produktif. Contoh di antaranya seperti:
Akhiran -dang sebagaimana di begini → begindang[4]
Akhiran -ose sebagaimana di apa → apose
Akhiran -oska sebagaimana di apa → aposka
Akhiran -dosdos sebagaimana di dimana → dimandosdos
Akhiran -ara sebagaimana di jahat → jahara
Singkatan dan lakuran
Walaupun tidak termasuk pola pembentukan kata tertentu, singkatan dan lakuran juga memegang peran signifikan dalam perkembangan bahasa Binan. Singkatan dapat mengacu pada arti secara langsung atau mengalami proses penggantian silabis untuk arti kata yang memiliki suku kata serupa.
Bahasa Binan sebagai dialek bahasa Indonesia pada dasarnya mengambil kosakata dari bahasa Indonesia. Akan tetapi, dalam perkembangannya juga diperkaya kata serapan dari pelbagai bahasa daerah, seperti bahasa Jawa, Bugis, Bali dll., maupun bahasa asing.
Serapan Belanda
Bahasa Belanda adalah salah satu bahasa asing yang memiliki pengaruh terhadap bahasa Binan. Kata bahasa Belanda yang diserap ke dalam bahasa Binan mengalami perubahan ejaan dan adakalanya juga pergeseran makna.[18]
Contoh serapan dari bahasa Belanda:
Ik (aku) → eike
Jij (kamu) → yey
Deze (yang ini) → dese (dia)
Jongen (pemuda) → yongen
Serapan Inggris
Selain bahasa Belanda, bahasa Inggris juga mempengaruhi perkembangan perbendaharaan bahasa Binan. Sebagai contoh:
Walaupun intonasi tidak dibahas sesering leksikon, intonasi dalam bahasa Binan juga memiliki kekhasannya sendiri. Intonasi dalam bahasa ini sering dianggap feminin (bisa disebut dengan istilah ngondhek, megol, kriting, centil, melambai). Intonasi ini ditandai dengan nada yang tinggi dan naiknya intonasi pada akhir ucapan yang terasosiasi dengan keperempuanan dan kelembutan.[6][15]
Fungsi
Terdapat sejumlah pendapat dari beberapa peneliti tentang apa fungsi bahasa Binan sebenarnya. Bahasa Binan pada dasarnya memiliki dua fungsi yang sering diperdebatkan, yakni bahasa Binan sebagai bahasa rahasia/sandi dan bahasa Binan sebagai bahasa interaksi. Menurut salah satu penelitian, Bahasa Binan memiliki empat fungsi,[5] yakni
Bahasa rahasia
Intoleransi terhadap komunitas gay dan waria di Indonesia salah satunya mengakibatkan komunitas ini mendapatkan kecaman, deskriminasi dan bahkan perundungan. Oleh karenanya komunitas ini membentuk bahasa rahasia yang hanya diketahui kalangan sendiri untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, khususnya untuk menyamarkan hal-hal yang masih dianggap tabu oleh masyarakat pada umumnya. Meskipun demikian, terdapat pendapat yang menyanggah hal ini karena beberapa kata dalam bahasa Binan masih mudah dipecahkan/ditebak artinya.[19][20]
Identitas
Bahasa Binan menjadi bagian dari identias komunitas gay dan waria di Indonesia. Bahasa Binan menjadi penanda dan ekspresi budaya dari komunitas gay dan waria. Sebagai contohnya, dalam penyuluhan-penyuluhan HIV/AIDS oleh Imawa (Ikatan Waria Malang), bahasa yang digunakan sebagai bahasa perantara adalah bahasa Binan, selain bahasa Indonesia dan bahasa daerah (bahasa Jawa).[21]
Humor
Selain berfungsi sebagai ungkapan identitas, bahasa Binan sering berperan sebagai humor dalam berbagai kesempatan. Khususnya dalam bidang hiburan, bahasa Binan yang mengandung banyak kosakata unik dan bahkan bombastis digunakan sebagai bagian dari humor.
Sarana sosial
Bahasa Binan pada banyak kesempatan juga digunakan kepada orang-orang heteroseksual, tidak lagi menjadi bahasa rahasia. Pada tahapan ini bahasa Binan telah menjadi register bahasa informal dari bahasa Indonesia.
Pengaruh
Bahasa Binan memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan kebahasaan dan budaya populer di Indonesia. Debby Sahertian mengumpulkan perbendaharaan bahasa Binan dan menerbitkannya dalam sebuah kamus yang diberi judul Kamus Bahasa Gaul (cetakan pertama tahun 1999). Kamus itu begitu populer hingga mencapai cetakan kesebelasnya hanya dalam kurun waktu empat tahun saja. Setidaknya 100.000 eksemplar kamus ini telah terjual ke pasaran. Dengan diterbitkannya buku ini, perbendaharaan kata bahasa Binan terpampang ke khalayak umum. Dikatakan bahwa kalangan gay dan lesbian kala itu mengungkapkan kekesalannya karena Debby telah "membocorkan bahasa rahasia mereka" dan karena itu, Debby pernah menyatakan permohonanan maafnya secara terbuka. Semenjak Kamus Bahasa Gaul populer, perbincangan tentang bahasa ini terus mengemuka di tingkat nasional maupun internasional.[22][23][24]
Sahertian mengaku mempelajari bahasa Binan pertama kali ketika melawat ke Medan pada pertengahan 1990-an untuk sebuah pameran busana dan pengambilan gambar. Sahertian memerhatikan bahasa yang digunakan oleh para penata rambut gay yang ditemuinya saat itu dan menjadi tertarik. Sementara itu, ia mengaku menemukan istilah bahasa gaul yang terilhami dari kata tenda gaul, istilah untuk semacam kafe sederhana yang menjamur pascakrisis di penghujung 1990-an. Kafe-kafe ini umumnya dijalankan oleh pegawai-pegawai yang dipecat karena krisis. Di kafe ini, orang-orang datang untuk bergaul dan merumpi.[25]
Di kota-kota besar di Indonesia, utamanya Jakarta, kata-kata bahasa Binan tidak hanya dituturkan oleh kalangan LGBTQ, melainkan juga oleh kalangan umum sebagai bagian dari bahasa Indonesia gaul. Kalangan remaja yang tidak mengerti bahasa Binan dapat dianggap tidak gaul atau ketinggalan zaman. Hal ini merupakan kelanjutan dari dinamika bahasa percakapan di Indonesia yang sebelumnya lebih dikuasai oleh bahasa Prokrem.[14][26][27] Pada kisaran tahun 2020-2021, pamor bahasa Binan kembali meningkat akibat konten viral melalui media sosial Tiktok, khususnya konten yang dibuat oleh Aditya Elmand. Ia juga kemudian diundang ke sejumlah acara televisi dan melakukan banyak video kolaborasi berbahasa Binan bersama Debby Sahertian dan Ivan Gunawan.[28][29] Kata bahasa Binan seperti lines dan bencong telah masuk KBBI dalam ragam cakap.
Dalam dunia sastra, bahasa Binan kadang dimanfaatkan sebagai unsur yang mampu memperkaya karya sastra. Buku kumpulan puisi Hendri Yulius Wijaya Stonewall Tak Mampir di Atlantis (2020) memadukan bahasa gaul, bahasa Binan dan bahasa Inggris.[30]Sekong!, diambil dari bahasa Binan untuk kata sakit, adalah buku novela karya Stebby Julionatan yang mengangkat tema homoseksualitas.[31]
^Oetomo, D. (2001). Memberi suara pada yang bisu. Yogyakarta: Galang Press.
^ abPratiwi, Sandhy Syari. 2010. Bahasa Binan dalam Komunikasi Antarpribadi di Kalangan Waria. Universitas Sumatera Utara. PDFDiarsipkan 2020-06-03 di Wayback Machine.
^ abcM. Rafiek. Ragam bahasa Waria dalam Sinetron. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat.
^ abcdNi Kadek Ary Susandi, Ni Putu Rusanti dan I Putu Gede Sutrisna. 2018. "Gay Language in Bali: Sociolinguistic Study on Homosexual and Bisexual Men in Bali" Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 166
^"FLUIDITAS ANTARA MASKULINITAS DAN FEMININITAS:REPRESENTASI WARIA DALAM FILM DOKUMENTER DAN FIKSI". 28 April 2012.Parameter |first1= tanpa |last1= di Authors list (bantuan)
^ abBoellstorff, Tom. 2004. "Gay Language and Indonesia: Registering Belonging." Journal of Linguistic Anthropology, Vol. 14, Issue 2, pp. 248–268, ISSN 1055-1360, electronic ISSN 1548-1395.
Offord, Baden and Leon Cantrell (2001). "Homosexual Rights as Human Rights in Indonesia". Pages 233–252 in Gerard Sullivan and Peter A. Jackson (eds). Gay and lesbian Asia: culture, identity, community. Haworth Press. ISBN1-56023-146-7