Dari kiri ke kanan, atas ke bawah: Lomba pacuan kuda tradisional di Kampala, Patung Kuda Jeneponto, Coto Kuda khas Jeneponto, Persawahan di Jeneponto, Danau Butta Barakka, Ladang garam di Jeneponto
Kerajaan Bangkala dan Kerajaan Binamu memisahkan diri dari Kerajaan Laikang pada bulan November 1863. Pada masa tersebut, wilayah Kerajaan Laikang berada dalam pemerintahan Hindia Belanda. Kedua kerajaan ini mengadakan perlawanan politik dengan Hindia Belanda. Pada tanggal 29 Mei 1929, Kerajaan Binamu memilih seorang raja baru yang dipilih oleh rakyatnya melalui lembaga adat bernama Toddo' Appaka.[11]
Tanggal 20 Mei 1946, adalah simbol patriotisme Raja Binamu (Mattewakkang Dg Raja) yang meletakkan jabatan sebagai raja yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda . Dengan Demikian penetapan Hari Jadi Jeneponto yang disepakati oleh pakar pemerhati sejarah, peneliti, sesepuh dan tokoh masyarakat Jeneponto, dari seminar Hari jadi Jeneponto yang berlangsung pada hari Rabu, tanggal 21 Agustus 2002 di Gedung Sipitangarri, dianggap sangat tepat, dan merupakan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.[butuh rujukan]
Masa kemerdekaan Indonesia
Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Di Sulawesi kemudian menetapkan Kabupaten Jeneponto sebagai Daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan pada tanggal 1 Mei 1959. Penetapan ini bersamaan dengan pembentukan Kabupaten Takalar yang memperoleh pemekaran wilayah dari Kabupaten Jeneponto.[11]
Geografi
Secara geografis, Kabupaten Jeneponto terletak di 5°23'- 5°42' Lintang Selatan dan 119°29' - 119°56' Bujur Timur. Kabupaten ini berjarak sekitar 91 Km dari Makassar. Luas wilayahnya 749,79 km2 dengan kecamatan Bangkala Barat sebagai kecamatan paling luas yaitu 152,96 km2 atau setara 20,4 persen luas wilayah Kabupaten Jeneponto. Sedangkan kecamatan terkecil adalah Arungkeke yakni seluas 29,91 km2.
Topografi
Kondisi topografi Kabupaten Jeneponto pada bagian utara terdiri dari dataran tinggi dengan ketinggian 500 sampai dengan 2700 meter di atas permukaan air laut (mdpl) yang merupakan lereng pegunungan Gunung Bulu Bialo - Lompobattang. Sedangkan bagian tengah berada di ketinggian 100 sampai dengan 500 mdpl dan pada bagian selatan merupakan pesisir serta dataran rendah dengan ketinggian antara 0 sampai dengan 100 mdpl. Karena perbatasan dengan Laut Flores maka Kabupaten Jeneponto memiliki pelabuhan cukup besar yang terletak di desa Bungeng.
Berdasarkan klasifikasi iklim Koppen, wilayah Kabupaten Jeneponto beriklim tropis basah dan kering (Aw) dengan dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim kemarau di wilayah Kabupaten Jeneponto berlangsung pada periode Mei hingga Oktober dengan rata-rata curah hujan bulanan kurang dari 100 mm per bulan dan bulan terkering adalah bulan Agustus dan September. Sementara itu, musim hujan di wilayah Kabupaten Jeneponto berlangsung pada periode November hingga April dengan rata-rata curah hujan bulanan lebih dari 120 mm per bulan dan bulan terbasah adalah bulan Januari dengan curah hujan bulanan lebih dari 250 mm per bulan. Curah hujan tahunan di wilayah Kabupaten Jeneponto berkisar antara 1.000–2.500 mm per tahun dengan jumlah hari hujan berkisar antara 60–150 hari hujan per tahun. Suhu udara di wilayah Kabupaten Jeneponto berkisar antara 21°–34 °C dengan tingkat kelembapan nisbi ±76%.
Bupati Jeneponto adalah pemimpin tertinggi di lingkungan pemerintah Kabupaten Jeneponto. Bupati Jeneponto bertanggungjawab atas wilayah Kabupaten Jeneponto kepada gubernur provinsi Sulawesi Selatan. Saat ini, bupati atau kepala daerah yang menjabat di Jeneponto ialah Iksan Iskandar, dengan wakil bupati Paris Yasir. Mereka menang pada Pemilihan umum Bupati Jeneponto 2018. Iksan merupakan bupati Jeneponto ke-12, sejak kabupaten ini dibentuk. Iksan dan Paris dilantik oleh gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, pada 31 Desember2018 di Ruang Pola Kantor Gubernur Kota Makassar, untuk masa jabatan 2018-2023.[15]
Kabupaten Jeneponto terdiri dari 11 kecamatan, 31 kelurahan dan 82 desa. Pada tahun 2017, kabupaten ini memiliki luas wilayah 706,52 km² dan jumlah penduduk sebesar 409.693 jiwa dengan sebaran penduduk 580 jiwa/km².[16][17]
Daftar kecamatan dan kelurahan di Kabupaten Jeneponto, adalah sebagai berikut:
Bahasa resmi instansi pemerintahan di Kabupaten Jeneponto adalah bahasa Indonesia. Menurut Statistik Kebahasaan 2019 oleh Badan Bahasa, terdapat satu bahasa daerah di Kabupaten Jeneponto,[18] yaitu bahasa Makassar, khususnya dialek Lakiung dan dialek Turatea.[19] Sebahagian besar dialek yang dituturkan adalah dialek Turatea kecuali Bangkala Barat yang menuturkan dialek Lakiung.
Agama
Masyarakat Jeneponto termasuk sebagai penganut agama Islam. Meski demikian, peninggalan leluhur masih menjadi pengaruh yang kuat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jeneponto. Disatu sisi, masyarakat Jeneponto sangat menunjung tinggi nilai-nilai agama Islam, tetapi sebagian lagi dari masyarakatnya masih memercayai kekuatan supranatural dan benda-benda serta tempat keramat.[20]
Indonesia secara resmi mengakui enam agama, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu, sehingga dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia, hanya bisa menyantumkan enam agama tersebut, sementara di luar itu tidak masuk dalam KTP, melainkan kolom agama dikosongkan apabila tidak menganut salah satu agama tersebut.[21]
Pada tahun 2016, penganut agama leluhur atau penghayat kepercayaan, yakni Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim, melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Administrasi Kependudukan Pasal 61 ayat 1 dan 2, yang berbunyi:[21]
Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.
Kemudian pada 3 Mei 2017, Mahkamah Konstitusi mengadakan sidang rapat pembuktian terakhir. Lalu pada 17 November2017, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan para penganut penghayat kepercayaan. Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Arief Hidayat, mengatakan bahwa pembatasan hak "a quo" menyebabkan adanya perlakuan yang tidak adil terhadap warga negara penganut penghayat kepercayaan.[21]
Tahun 2019, pendistribusian KTP dengan menyantumkan agama Penghayat di kolom agama mulai dilaksanakan, termasuk di provinsi Sulawesi Selatan. Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) provinsi Sulawesi Selatan, Sukarniaty Kondokelele, mengatakan bahwa KTP bagi penganut penghayat kepercayaan mulai disediakan di Sulawesi Selatan. Dari seluruh kabupaten dan kota, Kabupaten Jeneponto merupakan kabupaten di Sulawesi Selatan yang memiliki penganut kepercayaan terbanyak.[22]
Pada Sensus Penduduk Indonesia 2010, penghayat kepercayaan di Kabupaten Jeneponto belum dimasukkan dalam catatan sipil kependudukan, sehingga data pada saat itu, mencatat bahwa hampir keseluruhan warga Jeneponto menganut agama Islam.[23] Setelah gugatan penghayat kepercayaan dikabulkan Mahkamah Konstitusi, data penduduk Jeneponto berdasarkan agama yang dianut mengalami perubahan. Data dari Kementerian Dalam Negeri melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil per 30 Juni 2023, adapun banyaknya penduduk Jeneponto berdasarkan agama yang dianut yakni Islam sebanyak 96,04%, kemudian Penghayat Kepercayaan sebanyak 3,92%, dan sebagian kecil menganut agama Kekristenan yakni sebanyak 0,04%, dimana Protestan sebanyak 0,03% dan Katolik 0,01%.[4]
^Statistik Kebahasaan 2019. Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan. 2019. hlm. 11. ISBN9786028449182. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-04-30. Diakses tanggal 2020-05-23.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)