Menurut catatan sejarah, mereka secara historis dikuasai secara bergantian oleh suku Bima dengan Kesultanan Bima dari pulau Sumbawa dan suku Makassar dengan Kesultanan Gowa dari pulau Sulawesi. Dibawahnya terdapat beberapa kerajaan lokal. Kerajaan Reo yang didirikan putri Sultan Gowa bernama Daeng Tamima yang mempersunting pangeran Bima. Penguasa Reo menjadi perwakilan Sultan Bima bersama penguasa Pota sehingga keduanya bergelar naib. Kerajaan-kerajaan kecil lainnya disebut Kedaluan dipimpin oleh seorang yang bergelar dalu. Tiga kedaluan dengan pengaruh yang kuat disebut dalu mese (kedaluan besar), mereka adalah Kedaluan Todo yang pendirinya merupakan seorang Minangkabau bernama Mashur, Kedaluan Cibal, dan Kedaluan Bajo. Para naib (Reo dan Pota) dan Kedaluan Todo kemudian membawahi beberapa dalu koe (kedaluan kecil).[2]
Terdapat sekitar 500.000 orang Manggarai pada akhir abad ke-20.[3] Menurut catatan Joshua Project, jumlah populasi suku ini sekitar 725.000 jiwa.[1]
Sistem politik
Sistem politik asli suku Manggarai berdasarkan pada klan, dipimpin oleh seorang kepala klan atau raja. Sistem ini sudah diperlakukan oleh kerajaan lokal seperti Adak Todo, Nggaeng Cibal, dan Bajo. Suku ini menerapkan sistem keturunan patrilineal, dan secara historis mereka bermukim di desa-desa, yang terdiri dari setidaknya dua klan.[3] Di bawah Kesultanan Bima, wilayah Manggarai mengadopsi sistem kedaluan dan gelarang, yang mengooptasi sistem kerajaan kecil tradisional. Perwakilan Sultan Bima yang berkuasa di Reo dan Pota bergelar naib, sedangkan kerajaan-kerajaan kecil lain disebut kedaluan yg dipimpin oleh seorang dalu, seperti: Kedaluan Todo, Kedaluan Cibal, dan Kedaluan Badjo.[2]
Kedaluan yang berada dalam tanggung jawab naib Reo adalah Ruis, Pasat, Nggalak, Rego, Pacar, Boleng, Kempo, Nggoran, Mburak, Lo'ok, dan Lambaleda. Sedangkan naib Pota membawahi Congkar, Biting dan Rembong. Diantara dalu mese (kedaluan besar) hanya Kedaluan Todo yang membawahi dalu koe (kedaluan kecil) berupa tiga belas dalu yang disebut dalu campulutelu: Kolang, Lelak, Wontong, Welak, Ndoso, Ndeles, Rahong, Ruteng, Pocoleok, Torokgolo, Sita, Riwu, dan Manus.[2]
Dibawah dari para dalu tersebut terdapak pembantu dalu yang disebut gelarang. Setiap kedaluan memiliki jumlah gelarang yang beragam tergantung dari luas wilayah, seperti Kedaluan Lambaleda yang memiliki wilayah lebih besar dari Kedaluan Ruteng, membawahi duabelas gelarang. Biasanya gelarang merupakan hasil seleksi dari tu'a golo, tu'a beo (kepala kampung), dan tu'a wa'u (kepala klan patrilineal).[2]
Ritual
Suku Manggarai terkenal memiliki sederet upacara ritual sebagai ucapan syukur atas kehidupan yang sudah dijalani dalam periode waktu tertentu, antara lain:[4]
Penti Manggarai, upacara adat merayakan syukuran atas hasil panen,
Barong Lodok, ritual mengundang roh penjaga kebun di pusat lingko (bagian tengah kebun),
Barong Wae, ritual mengundang roh leluhur penunggu sumber mata air,
Barong Compang, upacara pemanggilan roh penjaga kampung pada malam hari,
Wisi Loce, upacara yang dilakukan agar semua roh yang diundang dapat menunggu sejenak sebelum puncak acara Penti, dan
Libur Kilo, upacara mensyukuri kesejahteraan keluarga dari masing-masing rumah adat.
Suku Manggarai juga mempunyai olahraga tradisional yang disebut caci, pertarungan saling pukul dan tangkis dengan menggunakan pecut dan tameng yang dimainkan oleh dua orang pemuda di sebuah lapangan luas.[4] Pertunjukan caci diawali dengan pentas tarian Danding, sebelum para jago cacicc beradu kebolehan memukul dan menangkis. Tarian itu biasanya disebut juga sebagai Tandak Manggarai, yang dipentaskan khusus hanya untuk meramaikan pertarungan caci.[4]
Bahasa
Suku ini menuturkan bahasa Manggarai, sebuah bahasa yang disebut sebagai tombo Manggarai oleh para penutur aslinya. Bahasa ini mempunyai sekitar 43 dialek.[5]