Suku Kimyal

Kimyal
Yelenang
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia (Papua Pegunungan)
Bahasa
Kimyal (Koropun-Sela), bahasa Indonesia
Kelompok etnik terkait
Mek (Ketengban • Nalca • Nipsan • Kosarek • Yalimek • Eipomek • Una Ukam)

Suku Kimyal adalah suku bangsa Mek yang mendiami lembah Korupun, Duram, Dagi, Debula, Sesebne, Yemindomon, Kobokdua, Kemligin, Sela, Orisin, Megom, Haromon, Senayom, Yaldomon, Baluk, dan Kwelamdua di Papua Pegunungan. Bahasa Kimyal merupakan salah satu dari rumpun bahasa Mek.

Secara administratif dan teritorial kewilayahan suku ini mendiami wilayah distrik Sela, Korupun, Duram, dan Distrik Kwelemdua, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan.

Etimologi

Secara harafiah, arti suku Kimyal dapat diberikan oleh Elinor Young, seorang misionaris muda yang datang di daerah Korupun pada tahun 1970-an.[1] Dia melihat perbandingan posisi dan letak geografis antara komunitas masyarakat yang mendiami di wilayah ini dengan suku bangsa Yali di bagian barat (Daerah Soloikma, Lolat, Ninia, Holuwon dan lainnya), maka Nona Elinor menyebut istilah Kimyal yang berakar dari ejaan kata: "Kimban/Khemban" (logat Sela) atau "Kesengban" (logat Korupun) artinya "Barat" dan "Yale" artinya "Timur". Dengan demikian kata tersebut berasal dari dari "Khemban-Yale" (Barat-Timur). Tujuan dari pemberian nama Kimyal berarti "orang-orang yang mendiami di tengah-tengah kawasan barat dan timur". Maka dari itu penamaan ini berasal dari asing (eksonim) dan bukanlah sebutan asli dari suku ini.

Suku yang kini disebut Kimyal dahulu adalah orang Mek yang oleh kalangan antropolog pada awal abad lalu (1900-an) untuk kawasan ini (Neipsan, Nalca, Kosarek, Emdomen, Puldama’ Kono, Dirwemna’ Eipomek, Korupun, Sela, Kwelamdua, Dagi, Debula, Langda, Bomela, Sumtamon dan Duram). sama halnya seperti orang Yali Selatan (Daerah Ninia, Holuwon, Soba, Lolat dan lain-lain) dan orang Yali Utara (Daerah Anggruk, Pronggoli, Apalapsili, Ubahak, Yahuli-Ambut dan lain-lain).

Bukti kekerabatan ini bisa ditemui di struktur arsitek bangunan Ae/Ee (Honai), bahasa (Yobo/Yubu), pola penanaman dan pembuatan kebun (Wa/We), Metode dan prosesi Inisiasi terhadap anak-anak muda, Nyanyian tradisional (Mos/Ber), keterampilan bersiul (Kos-kos ana’/Kol-kol ana’), sistem sesajian makanan, pola pengasuhan anak, sistem pertukaran hasil-hasil kebun, pesta babi yang di-iringi dengan nyanyian Mos dan masih banyak lagi.

Penduduk yang pada masa kini di sebut "Suku Kimyal" pada masa dahulu sejak nenek moyangnya menyebutkan diri mereka sendiri dengan istilah endonim Yelenang artinya "orang-orang yang mendiami di ufuk timur bila di ukur dari terbitnya matahari". Hal ini dapat di patok pada orang-orang yang mendiami lembah Baliem (Dani), lembah Heluk (Yali-Ninia), lembah Sengsolo (Yali) dan suku bangsa lainnya di bagian barat dari lingkungan perkampungan mereka.

Adat

Sistem kepemimpinan

Pemimpin dari suku Kimyal dan Mek secara general, bukan dipilih tetapi berasal dari prestasi. Yang disebut secara antropologi orang besar big man. Ada beberapa banyak panggilan dari lembah Sela untuk orang seperti ini. Weik nang/weik ni artinya "orang besar", walau istilah ini juga digunakan untuk orang yang sudah aktif dan bisa bekerja. Whi ngi/ ni nong ni artinya pria yang sudah dewasa bagi wei nang yang sudah lebih tua. Dub nang/ dub ni arti harafiahnya "pria diatas" bagi orang kaya atau orang besar. Yang terakhir ad burup ni untuk laki-laki dan ad burup kil untuk perempuan, yang artinya kepala kampung atau kepala wilyah. Orang-orang tersebut dianggap berpengetahuan, kuat, mendominasi, rajin, dan dermawan. Biasanya pendapatnya akan selalu didengar orang lain walau tidak ada jaminan setiap saat. Saat perang orang tersebut juga akan menjadi mal deiya' ni ("pria yang berada di dasar perang") atau kepala perang yang menentukan arah perang dan menerima dan membayar babi ketika ada yang meninggal.[1]

Perkawinan dan pernikahan

Ketika laki-laki menikah (kil dob) arti harafiahnya adalah mengambil/menculik istri. Walau begitu, kaum perempuan juga memiliki hak pilihan, sehingga sang perempuan bisa saja mengambil inisiatif dan mendatangi kampung sang laki-laki. Kemudian pernikahan akan diatur antar keluarga, biasa dengan mas kawin yang diberikan keluarga suami dan diterima keluarga istri. Biasa acara perkawinan dilakukan dengan sederhana, dengan pendeta yang memberikan kotbah, dan acara makan-makan bersama. Tidak ada sistem moeitas eksogami dalam suku-suku Mek.[1]

Seorang laki-laki dilarang untuk menikahi perempuan yang berasal dari klan ibunya atau kelompok klan yang sama. Ketika ini terjadi pria tersebut dianggap melanggar hukum adat dan melakukan inses. Biasanya disebut suli kwelamla, atau tingkah laku pria tersebut seperti burung suli yang kawin dengan semua pasangan perempuan yang dilihatnya. Istilah kedua adalah pabya atau pabya phik balamla artinya "dia pergi dijalan Pabya" yang mengacu pada hukuman adat yang dilaksanakan. [1]

Dalam upacara hukuman ini, pasangan tersebut akan ditangkap, dan upacara bakar batu akan dilakukan untuk memasak makanan. Pasangan tersebut akan diberi makanan kotoran tinja dengan daun dari pohon kubari. Daun tersebut juga akan diusap pada wilayah dimana orang sudah kencing dan diberi untuk makan. Kemudian sebuah bola besar setinggi manusia yang disebut pabya dibuat oleh masyarakat kampung dengan tanaman du dengan akar dan lapisan tanahnya du deiya' masih terhubung. Makanan yang dimasak ditujukan kepada para pembuat pabya. Bola tersebut akan didorong dibawah kaki pasangan tersebut yang terbuka lebar. Mereka juga berdiri diatas dahan pohon atau diatas tiang. Kemudian masyarakat akan menembaki bola dan pasangan tersebut dengan panah, walau tidak bertujuan untuk membunuh hanya melukai. Kemudian pasangan tersebut harus menarik bola tersebut ke sungai atau menuruni tebing. Biasanya pasangan tersebut akan dihukum mati setelah upacara usai. Walau dengan datangnya ajaran agama kristen, hukuman yang lebih berat tidak dilakukan lagi, tetapi pernikahan dengan saudara klan ibu masih dianggap taboo. Ada kepercayaan jika tidak ada hukuman bencana besar akan datang.[1]

Sistem kekerabatan

Tidak seperti suku Dani dan suku Yali, tidak ada sistem moeitas, dimana klan dibagi menjadi dua kelompok. Akan tetapi sistem eksogami masih berlaku diatas level klan. Ini dikarenakan beberapa klan (sisya') dianggap bersaudara, disebut alka-alka (kakak beradik) atau mhalni (saudara laki laki) dengan mhalkil (saudara perempuan) atau nhonok sisya (clan yang sama/mirip). Klan-klan tersebut memiliki asal yang sama seperti contohnya mirin-so, berdasarkan legenda seseorang memotong babi di gua, dari kepalanya muncul klan mirin sedangkan dari potongan badannya muncul klan sul. Contoh lain berupa Yalak-Sinat, Sala-Ou-Biri, dll. Karena nama klan juga terikat pada daerah, ketika seseorang pindah ke wilayah lain biasanya mereka juga mengubah nama klan ke nama klan saudaranya seperti dari nama Yalak ke Sinat, maka dari itu anggota keduanya dilarang berpasangan.[1]

Rumah adat

Rumah adat tradisional suku Kimyal berupa rumah Yuwi yang berbentuk menyerupai honai. Pada bagian tengah terdapat perapian hasigin dengan 4 tiang hagya. Terdapat beberapa jenis rumah, rumah laki-laki, rumah keluarga, rumah perempuan, dan rumah memasak (yuna ak). Rumah laki-laki disebut yuwi ak ('ak' berarti "tempat") berdiameter sekitar 3,5-4 meter dan memiliki pintu masuk (hagindialek barat/asei dialek timur). Terdapat dua jenis rumah laki-laki, rumah suci yang digunakan untuk upacara adat (mem yuwi) dan rumah biasa (mali yuwi).[1]

Rumah keluarga disebut (diba ak) berbentuk sama dengan diameter 2-3,3 meter merupakan tempat tinggal kaum perempuan, anak-anak, dan babi peliharaan. Rumah ini tidak memiliki lantai kedua, fan kantainya bisa berupa tanah atau kayu diatas tanah. Rumah perempuan (kilabu ae/male ae) berbentuk lebih kecil lagi dan memiliki lantai tanah. Rumah ini merupakan tempat bagi kaum perempuan yang sedang menstruasi atau sedang melahirkan.[1]

Busana tradisional

Berdasarkan informasi dari Lembah Sela, laki-laki menggunakan koteka yang disebut bik yang dibuat dari buah bik-do (labu air). Bentuk bik bisa lurus atau melengkung dan pada bagian dasarnya diikat dengan tali mengelilingi skrotum dan tali kedua diikat mengelilingi pinggang dan diikat pada bagian tengah atau ujung bik. Selain itu, laki-laki juga akan menggunakan ikat pinggang yang dibuat dari rotan yang disebut sabya/sapya dan juga selempang weik berbentuk x pada dada dari tali anggrek yang mengelilingi 22 kali dan diikat menjadi satu. Pada bagian dalamnya terdapat juga lapisan ikat pinggang dari daun, sehingga tidak bergesekan dengan kulit. Selain dari rotan, sabya juga bisa dibuat dari tulang kelelawar. Sedangkan perempuan menggunakan rok dari sejenis ilalang (Eleocharis dulcis) yang disebut blae. Rumput tersebut diratakan, dikeringkan, dan diikat dengan tali pada pinggang. Panjangnya pendek diatas lutut, walaupun mulai digunakan rok dengan panjang sampai ke lutut seperti suku Dani.[2][1]

Hiasan rambut (mum)[2] berupa tambahan menyerupai ekor dilekatkan pada rambut bagian belakang para pria yang sudah menyelsaikan proses inisiasi lila. Dibuat dari ikatan rotan atau daun ilalang yang diikat pada kayu yang berujung lancip. Ada dua cara untuk mengikat pada rambut, mengayam benang (mum sae) pada rambut bagian samping (erin mum), dan diikat dengan tali mengelilingi kepala (kalun mum). Selain hiasan rambut mum dengan satu ekor yang dianggap laki-laki (yim) terdapat pula bentuk tambahan rambut jenis kedua yang disebut kyat/kyat/tyar, yang terdiri dari dua ekor. Ekor perempuan (kil) yang lebih besar berada diatas ekor laki-laki. Tradisi ini juga bisa ditemukan pada suku Ngalum perbedaannya posisi ekor perempuan dan laki-lakinya terbalik.[1]

Aksesoris lainnya berupa noken seperti noken besar (ak-ak) dan kecil (aklin), ikat kepala (warembu/kururu) yang dibuat dari kerang, sejenis sisir yang dibiarkan pada rambut (hong lilikna), hiasan bulu burung (winang hong/mhayong), penutup telinga (ongkwalinga), taring babi (marum sola'), dan beberapa jenis kalung seperti kalung tanpa gigi (ngang dama), kalung bundar dengan banyak gigi (adnarob), kalung dengan gigi tikus (kura'sunum), kalung dengan kerang Cymbium (dangman/melik), kalung dengan kerang Nassa (kwaringbu), dan kerang cowrie /kuwuk (whae).[1]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k Godschalk, Jan Anthonie (1993). Sela Valley: an Ethnography of a Mek Society in the Eastern Highlands, Irian Jaya, Indonesia. Amsterdam: Vrije Universiteit. 
  2. ^ a b "Apa Saja Atribut Pakean Adat Pria Suku Kimyal, Yahukimo". Penikmat Alam. 2022-04-15. Diakses tanggal 2025-01-12.