Suku Kokoda
Orang Kokoda atau Emeyode adalah kelompok etnis yang bermukim di wilayah Sorong Raya, Papua Barat Daya. Suku ini merupakan sub-suku dari suku besar Imekko (Inanwatan, Matemani, Kais, dan Kokoda). Pemukiman suku Kokoda tersebar di dua wilayah, yaitu di Kelurahan Klasabi, Distrik Sorong Manoi dan Distrik Kokoda. EtimologiNama Kokoda sebenarnya mengacu pada nama wilayah yang ditempati, dalam bahasa Kokoda (Yamueti) berarti "kawasan air yang berwarna hitam yang dikelilingi tanaman sagu".[1] Sedangkan nama kelompok etniknya adalah Emeyode. Nama "Emeyode" berasal dari kata eme 'mari' dan yode 'kita jalan'. Dalam konteks ini nama tersebut dimaknai "mari berjalan bersama-sama".[2] Wilayah persebaranSuku Kokoda yang tinggal di Kota Sorong umumnya sudah mulai mengenal penggunaan teknologi modern, mengingat lokasi perkampungan mereka juga bersebalahan dengan Bandar Udara Domine Eduard Osok, Kota Sorong. Sementara itu, suku Kokoda yang tinggal di daerah Imekko masih hidup dengan cara tradisional, seperti menokok sagu dan mencari ikan di dalam sungai atau kali dengan menggunakan alat berupa tangguh ayang yang dianyam dari pelepah sagu. Letak perkampungan itu sendiri sangat sulit dijangkau, baik dijangkau melalui jalur laut, darat, dan udara. Secara geografis, mereka merasakan dua musim, yaitu musim panas dan musim hujan. Ketika musim panas tiba, masyarakat suku Kokoda akan mengalami kekurangan air. Namun demikian, mereka akan menggali sumur sedalam mungkin sampai kemudian menemukan sumber air. Hal itu telah berlangsung secara turun temurun.[3] Persebaran margaBerikut adalah persebaran marga pemilik hak ulayat di Distrik Kokoda:[2]
Kehidupan sosialSecara garis besar, jumlah penduduk Kokoda yang bertempat di Kelurahan Klasabi berjumlah 6.528 jiwa pada tahun 2010. Mayoritas suku Kokoda bekerja di sektor formal dan informal seperti guru, buruh tani, nelayan, dan buruh bangunan. Selain itu, banyak diantara suku Kokoda yang memilih untuk menjual kayu dan batu karang. Meskipun sebagian besar lebih memilih untuk menjadi buruh nelayan, mereka juga mulai mempraktikkan kegiatan pertanian selama menetap. Hal itu mereka lakukan karena banyaknya pendatang dari luar Papua yang menetap di lingkungan tempat tinggal mereka. Mencukupi makanan melalui kegiatan pertanian secara mandiri perlu untuk mereka lakukan.[4] Dalam hal keagamaan, suku Kokoda menganut dua agama besar, yaitu Islam dan Kristen Protestan. Islam masuk ke wilayah mereka pada tahun abad ke-15. Masuknya agama Islam ke wilayah tersebut tidak terlepas dari peran Sultan Tidore. Meskipun terdapat dua perbedaan agama besar, suku Kokoda hidup sangat rukun dan berdampingan satu sama lain. Hampir tidak pernah dijumpai konflik agama terjadi dalam kehidupan mereka. Sesuatu yang terlihat justru hubungan yang harmonis dan tolong menolong satu sama lain. Seperti misalnya, ketika umat Islam menggelar perayaan hari besar keagamaan seperti Isra Miraj dan Idul Fitri, yang ditunjuk menjadi ketua pelaksana justru suku Kokoda dari agama Kristen Protestan. Begitu pula ketika umat Kristen akan menggelar perayaan hari besar agama seperti Hari Raya Natal, yang ditunjuk menjadi ketua pelaksana justru suku Kokoda yang beragama Islam. Di wilayah tempat mereka tinggal terhitung ada 5 masjid, 2 mushola, dan 4 gereja. Dalam hal pendidikan, suku Kokoda terhitung masih sedikit yang bersentuhan dengan dunia pendidikan. Banyak di antara mereka yang tidak menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas. Mereka yang menyelesaikan pendidikan hingga ke tingkat perguruan tinggi (S1) umumnya adalah para pemuka agama dari kalangan mereka sendiri. Namun demikian, beberapa kalangan dari kelompok mereka juga ada yang telah mengerti akan pentingnya pendidikan. Terutama bagi yang beragama Islam, mereka membangun yayasan pendidikan berbasis pesantren sebagai tempat belajar bagi generasi muda di sana. Pemberdayaan masyarakat suku Kokoda dilaksanakan pula oleh organisasi Muhammadiyah. Pengajaran bertani, beternak, dan menjadi nelayan juga dilaksanakan untuk pemberdayaan masyarakat. Kampung Warmon Kokoda di Kota Sorong bahkan disebut sebagai "Kampung Muhammadiyah" karena kedatangan organisasi tersebut membawa kemajuan.[5] Selain itu, suku Kokoda juga diberkahi dengan kekayaan alam berupa tanaman obat-obatan. Terhitung ada 70 spesies tanaman yang mereka gunakan sebagai obat-obatan tradisional. Jumlah tersebut meliputi 67 genus dan 41 familia tumbuhan obat. Familia tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional yaitu Fabaceae dan Euphorbiaceae. Selama ini, telah terbukti bahwa spesies tanaman obat tersebut terbukti mampu mengobati 73 jenis keluhan penyakit. Keluhan yang paling banyak dialami masyarakat suku Kokoda antara lain: badan pegal-pegal, luka luar, dan tambah darah. Bagian tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku obat oleh suku Kokoda adalah daun (50%). Cara meramu dengan merebus adalah yang paling sering dilakukan oleh masyarakat suku Kokoda.[6] KebudayaanTifa syawatTifa syawat merupakan alat musik tradisional tifa yang mirip seperti gendang yang cara memainkannya adalah dengan dipukul. Alat musik ini yang terbuat dari sebatang kayu atau rotan yang dikosongi bagian isinya dan pada salah satu sisi ujungnya ditutupi dengan menggunakan kulit hewan yang telah dikeringkan untuk menghasilkan suara yang bagus dan indah. Formatnya pun biasanya dibuat dengan ukiran yang memiliki ciri khas masing-masing. Tifa syawat sendiri telah berkembang di kalangan suku Kokoda yang oleh mereka disebut sebagai orkes musik tetabuhan (sejenis tradisi Kulintang dan Tatabuang) yang terdiri dari adrat, tifa, suling, dan gong kecil. Kesenian ini menjadi media dakwah penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para da'i di luar wilayah tempat tinggal suku Kokoda. Tifa gong sendiri merupakan alat musik asli Kokoda, sedangkan suling dan adrat dibawa langsung oleh para da'i tersebut dari Kokas. Kesenian ini biasanya ditampilkan ketika hari besar keagamaan tertentu seperti maulid nabi dan upacara-upacara seperti pengiring pengantin ke rumah keluarga laki-laki dan khitanan. Kesenian Tifa syawat tersebut diyakini sebagai bentuk kebudayaan lokal yang muncul akibat ekspansi agama Islam ke wilayah Papua, tepatnya di perkampungan suku Kokoda.[1] Namun demikian, kesenian Tifa syawat tersebut sebenarnya tidak murni berasal dari suku Kokoda. Sebelumnya, kesenian tersebut pertama kali berkembang di wilayah Kokas, Fakfak, Papua. Meskipun begitu, suku Kokoda telah menguasai kesenian tersebut dengan sangat terampil. Hampir di beberapa acara besar keagamaan seperti Maulid Nabi dan kegiatan perayaan masyarakat seperti pernikahan dan khitanan tidak pernah lepas dari adanya kesenian tifa syawat.[1] Tidak heran jika kemudian mereka juga pernah menjadi juarai peringkat kedua pada Festival Seni Budaya Islam Se-Papua Barat.[7] Tradisi peminanganBeberapa tradisi yang sangat terkenal di kalangan suku Kokoda adalah tradisi peminangan. Tradisi ini dilakukan ketika seorang laki-laki suku Kokoda akan meminang (mengajak menikah) perempuan dari suku yang sama. Mula-mula, tua-tua adat sebagai orang yang dipercaya dan ditokohkan oleh suku Kokoda akan meminta ibu-ibu untuk berkumpul di titara, yaitu suatu balai pertemuan yang biasa mereka gunakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan dan merundingkan berbagai macam hal. Di tempat ini, pihak laki-laki akan bermusyawarah terkait rencana pernikahannya dengan penduduk yang hadir di sana. Ketika sudah mendapat persetujuan, keluarga laki-laki akan mendatangi pihak perempuan yang akan dilamar dengan maksud untuk menyampaikan keseriusannya. Setelahnya, keluarga pihak perempuan akan melakukan musyawarah terkait permintaan pinangan pihak laki-laki berikut maskawin atau mahar yang diharapkan. Ibu-ibu dari pihak keluarga perempuan akan mendatangi rumah laki-laki tersebut untuk menyampaikan hasil musyawarah mereka, apakah lamarannya diterima atau tidak.[3] Sementara itu, pihak laki-laki harus bisa menerima dengan lapang dada apa pun yang menjadi keputusan dari keluarga perempuan. Maskawin atau mahar yang diharapkan biasanya dalam bentuk 1500-2000 jenis barang. Barang-barang tersebut di antaranya adalah 10 buah guci, 20 buah piring besar, 20 buah tombak, 20 buah mancadu, 5 manik-manik tali besar, 5 manik-manik tali kecil, dan sisanya adalah barang-barang campuran seperti kain dan lain sebagainya.[3] Tradisi peminangan dengan menggunakan 15000-2000 jenis barang tersebut telah berlangsung lama. Meskipun tidak ada sanksi adat, apalagi sanksi berupa hokum formal yang mengikat, tradisi ini sangat mendarah daging dalam diri mereka. Apabila tidak mampu memenuhinya, si pelamar biasanya akan sangat malu dan kembali pulang ke kampung halamannya sendiri.[3] Dalam tradisi ini, ditemukan dua macam istilah, yaitu bani dan warotara. Bani disebut sebagai prosesi musyawarah sebelum lamaran dilakukan dengan mengumpulkan keluarga laki-laki dan pemuka-pemuka adat setempat di suatu tempat yang disebut sebagai Titara atau balai pertemuan. Sementara warotara disebut sebagai anak perempuan yang telah dilamar, dinaikan seekor kuda bersama saudara laki-lakinya menuju ke tempat sang calon suami. Anak perempuan tersebut akan disuapi oleh keluarga sang laki-laki. Hal itu dimaksudkan sebagai sebuah ungkapan kepercayaan dari keluarga perempuan untuk menitipkan anak perempuannya kepada keluarga laki-laki tersebut untuk hidup bersama dalam satu atap.[3] Referensi
Pranala luar |