Suku Tehit adalah kelompok etnis yang mendiami bagian selatan Semenanjung Doberai. Pemukiman tradisional mereka terkonsentrasi di sekitar distrik Teminabuan. Jumlah populasinya 15.972 jiwa menurut Sensus Penduduk Indonesia 2010.[1]
Etimologi
Kata tehit atau tehid berasal dari kata "tahiyid" yang berarti "mereka(lah) tehid", namun arti leksikalnya telah hilang.[2]
Sejarah
Menurut sejarah, orang Tehit berasal wilayah kebudayaan Toror yang meliputi Semenanjung Seget-Sele. Bencana alam berupa pasang surut besar mengakibatkan penduduk kebudayaan Toror mengungsi dan menetap ke wilayah yang saat ini menjadi Teminabuan. Orang Tehit yang bermigrasi ke Teminabuan dengan perahu adalah marga Kondologit, Kondjol, Sarwanik, Kemesrar, Salamuk, Bless, Blesia, Bleskadit, Sremere, Kremak, Momoth, Adjolo, Sfahrit, Kdamaa, dan Salambauw. Kelompok migrasi ini kemudian memperkenalkan kapak batu dan tembikar kepada penduduk yang telah tinggal di Teminabuan sebelumnya.[2] Mereka mungkin datang ke Teminabuan beberapa ratus tahun yang lalu dan mendesak penduduk yang lebih dahulu datang, yakni orang Safledrar; kelompok pribumi Papua yang tergolong pigmi. Orang Tehit sendiri memiliki perawakan tinggi dan tegap, seperti orang-orang Papua yang hidup di pantai berawa-rawa umumnya.[2]
Cerita tradisional penduduk Tehit menyebutkan bahwa sebagian dari mereka berasal dari kefi, yakni sebuah pohon yang dianggap kerajaan oleh mereka. Dalam cerita ini, dikatakan bahwa kefi dibelah oleh marga Frisa yang menghuni kampung Wenselalo saat ini. Setelah dibelah, kemudian keluarlah manusia. Pembelahan ini didasarkan atas petunjuk dari seekor anjing betina yang namanya tidak diketahui dengan jelas. Marga-marga yang berasal dari pohon kefi, yakni Sagisallo, Sera, Selaya, Seflembolo, Sagrim, Sarefe, Sabru, Sakamak, Thesia, Sreflo, Sawen, dan Yarollo.[2] Selain itu, beberapa ada yang berasal dari tanah, kasuari, langit, dan sungai. Meliputi marga Simat, Flassy, Kamesrar, Suahan, dan marga lainnya. Dari ketiga cerita tradisional ini terjadilah percampuran budaya, bahasa, dan adat istiadat. Kemudian diantara mereka terjadi perkawinan silang, sehingga terbentuklah suku Tehit.[2]
Masyarakat suku Tehit dipengaruhi oleh beberapa zaman, pada masa Kesultanan Tidore, orang Tehit dipimpin oleh raja-raja kecil yang berkedudukan di empat buah weri (petuanan atau bandar), yaitu Weri Ambuam (Teminabuan), Weri Sar, Weri Konda, dan Weri Kasrer (Seribau). Raja Kaibus di Teminabuan merupakan petuanan yang memiliki pengaruh paling dominan diantara petuanan lainnya, gelarnya Raja Kaibus atau Woronemin dengan raja pertamanya bernama Angguok Kondjol. Hubungan dagang antara petuanan-petuanan ini terbentuk dengan kerajaan di Semenanjung Onin seperti Fatagar dan Arguni, maupun dengan kerajaan di Kepulauan Raja Ampat seperti Salawati. Terjadi penjualan burung kuning dan budak untuk mendapatkan kain timur, kapak, parang, pisau, dan sebagainya.[2]
Pada tahun 1940-an, para misionaris Eropa (zending) mulai menyebarkan Kekristenan di antara penduduk asli Tehit, banyak guru zending yang berasal dari Kepulauan Maluku dikirim ke Teminabuan. Raja Kaibus Angguok sendiri berperan penting dalam memfasilitasi penyebaran agama Kristen pada masa ini. Penyebaran agama 'asing' ini menyebabkan pelepasan kebudayaan tradisional masyarakat dan menerima modernisasi lewat gereja. Pada tahun 1941, terjadi Perang Dunia II, maka seluruh pendeta dan guru zending lari mengikuti masyarakat ke pedalaman.[2]
Pasa masa penjajahan Jepang, masyarakat Tehit dipaksa membangun jalan raya dari Teminabuan hingga ke Ayamaru dengan peralatan seadanya. Akibat kesewenangan Jepang terhadap penduduk lokal, terjadilah perlawanan terhadap Jepang. Atas kerjasama pasukan sekutu dan masyarakat Teminabuan, pasukan Jepang akhirnya dapat diusir dari Teminabuan dan Papua secara keseluruhan. Setelah itu, terdapat pengeboran minyak bumi di Sorong yang digagas oleh Belanda. Masyarakat suku Tehit kembali membangun dirinya dalam bidang pemerintahan, gereja, sosial ekonomi, sosial, dan budaya. Pada masa ini, suku Tehit biasanya membentuk sebuah kesatuan yang terdiri dari dua bagian, yakni suku Tehit Pantai dan Tehit Pegunungan.[2] Saat perlawanan terhadap kolonial Belanda, tangki-tangki minyak inilah yang ditarget untuk dibakar oleh para pemuda Papua yang tergabung dalam organisasi Persatuan Pemuda Indonesia (PPI) yang bekerja di Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) pada tahun 1947, maupun Organisasi Pemuda Irian (OPI) pada tahun 1956.[3]
Masyarakat Tehit terdiri atas beberapa klan (marga) patrilineal. Anggota klan disebut wendla dan pemimpinnya disebut nakhohokh. Kepemimpinan ini umumnya terlihat dalam masalah kemasyarakatan, seperti masalah pembagian harta waris, aturan perkawinan, dan pelanggaran adat. Nakhohokh sendiri harus memimpin sebuah musyawarah (lelekh wamar) untuk memutuskan suatu perkara. Keputusannya memerlukan pertimbangan dari sekelompok orang tua-tua bijaksana yang disebut nasemba. Pada zaman dahulu, lelekh wamar juga berfungsi sebagai lembaga ritual, perantara antara nadkhoin (manusia) dengan tali nggameri (tuhan) yang disebut Na Agow Allah.[2]
Kepercayaan tradisional
Orang Tehit memilik kepercayaan bahwa wua (roh) orang yang baru mati akan pergi ke mlfitain (akhirat). Di sana wua akan mengawasi anak cucunya yang masih hidup di dunia. Bila terjadi pelanggaran, maka wua akan datang menjelma ke dalam bentuk roh pengganggu. Tujuan sebenarnya agar anak cucunya tidak melanggar lagi. Wua bisa datang dalam bentuk penyakit, babi hutan, atau menutupi rezeki orang dalam berburu dan pekerjaan lainnya. Gangguan wua itu disebut khlembet ysimari (diawasi arwah). Hal ini hanya bisa diatasi dengan memberikan hea (sesajen), atau melakukan sambe (permintaan maaf) dengan bantuan mimit (dukun). Wua yang paling jahat disebut khol, roh ini hanya takut kepada tali nggameri atau Na Agow Allah yang berkedudukan di ik (langit).[2]
Sama seperti berbagai kelompok etnis Papua lainnya di Semenanjung Doberai, alat pembayaran yang digunakan oleh orang Tehid adalah not hokh (kain sakral). Terutama digunakan sebagai maskawin. Dalam perkawinan suku Tehit, syolo (saudara laki-laki) dari pihak ibu sangat berperan dalam menentukan jodoh keponakannya. Karena itu perkawinan yang dianggap ideal dalam masyarakat adalah antara saudara sepupu silang.[2]
Bahasa
Bahasa Tehit terdiri atas 11–12 dialek, yakni dialek Tehiyit (dituturkan di Teminabuan dan sekitarnya), Afsya (dikenal juga sebagai Mbolfle; dituturkan di bagian selatan Teminabuan, yakni di Weri Konda dan Mbariat), Gemma (dituturkan di sebelah utara Teminabuan, yakni di Wehali dan Eles), Yemian (dituturkan di kampung Hana dan Sanekh), Sawiat (dituturkan di kampung Soroan dan sekitarnya), Fkar (dituturkan di wilayah pegunungan), Sayfi, Konyokh, Salmeit, Yatfle, Olabra, dan Sfaryere.[2]
Mata pencaharian
Orang Tehit mendiami daerah yang berawa-rawa. Mata pencaharian utamanya adalah menebang dan mengumpulkan pati sagu. Sedangkan orang Tehit yang mendiami daerah hutan umumnya berladang untuk ditanami umbi-umbian, keladi, labu, dan lain-lain.[2]
Lihat juga
Referensi
- ^ a b Ananta, Aris (2015). Demography of Indonesia's Ethnicity. Evi Nurvidya Arifin, M. Sairi Hasbullah, Nur Budi Handayani, Agus Pramono. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-4519-88-5. OCLC 1011165696.
- ^ a b c d e f g h i j k l m Handoko, Soewarto; Rumbewas, Dominggus; Sawaki, Marthen; Krenak, Thonce; Sunaryo, Suristina (1983). Isi dam Kelengkapan Rumah Tangga Tradisional Menurut Tujuan, Fungsi dan Kegunaannya Daerah Irian Jaya (PDF). Indonesia: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Diakses tanggal 2022-02-10.
- ^ Nurhabsyah (2005). "Gerakan Bawah Tanah Cara Rakyat Irian Jaya Menentang Kekuasaan Pemerintahan Kolonial Belanda" (PDF). Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Sumatera Utara. hlm. 5. Diakses tanggal 4 Maret 2021.