Suku Kalang atau Wong Kalang adalah salah satu subsuku di masyarakat Jawa. Mereka ada sejak zaman kerajaan-kerajaan Jawa Kuno. Tetapi karena satu dan lain hal, mereka dikucilkan oleh masyarakat mayoritas saat itu. Pengucilan tersebut yang mengawali sebutan "kalang".
Cikal Bakal Suku Kalang
Kata "kalang" berasal dari bahasa Jawa yang artinya "batas". Lingkup sosial orang-orang ini sengaja dibatasi (atau dikalang) oleh otoritas atau masyarakat mayoritas waktu itu. Orang Kalang sengaja diasingkan dalam kehidupan masyarakat luas, karena dulu ada anggapan bahwa mereka liar dan berbahaya.[1]
Istilah "kalang" pertama ditemukan dalam prasasti Kuburan Candi di Desa Tegalsari, Kawedanan Tegalharjo, Kabupaten Magelang, yang berangka tahun 753 Saka (831 Masehi). Jadi diduga, suku ini telah ada sejak Jawa belum mengenal agama Hindu.[2]
Menurut mitos orang kalang adalah maestro pembuat candi yang secara fisik berbadan kuat dan tegap. Ada kemungkinan berasal dari Khmer atau Kamboja di mana orang kuat di negeri tersebut diterjemahkan sebagai manusia k'lang (មនុស្សខ្លាំង). di mana seperti kita ketahui candi di negeri Khmer mempunyai kemiripan dengan dengan candi di Jawa,
Setelah Hindu masuk, Wong Kalang semakin tersisih oleh sistem pengastaan, karena ketidakjelasan nenek moyang mereka. Orang Kalang pun dipaksa tinggal di daerah-daerah pengasingan, seperti pantai yang berpaya-paya, tepi sungai, lereng-lereng gunung yang tinggi, serta tanah-tanah tandus. Sebagian lainnya hidup nomaden dari hutan ke hutan. Lingkungan yang keras itu menempa mereka menjadi pekerja keras. Sehingga, pihak otoritas Kerajaan Majapahit waktu itu memanfaatkan tenaga mereka untuk proyek-proyek fisik berskala besar, antara lain sebagai penebang pohon, juru angkut, terkadang juga prajurit tempur di medan peperangan yang didatangkan dari sekitar gunung Lawu, yakni desa Kalang kabupaten Magetan.
Alasan orang Kalang dikucilkan
Disebutkan dalam buku Javaansch Nederduitsch Woordenboek[3] bahwa Kalang adalah nama sebuah etnis di Jawa yang dulu hidup di sekitar hutan, dan mereka diduga memiliki asal keturunan yang hina. Antara lain karena dianggap keturunan kera atau anjing (baca subjudul "Mitos-mitos Yang Beredar Seputar Suku Kalang" di bawah).
Secara fisik, menurut Pieter Johannes Veth,[4] orang Kalang memang memiliki fisik yang lain dengan penduduk setempat. Mereka lebih mirip dengan suku Negrito di Filipina yang berkulit legam dan berambut keriting. Orang Kalang juga dianggap pendatang dari Kedah, Kelang, dan Pegu pada tahun 800 Masehi.
Dengan sejumlah perbedaan fisik dan latar belakang tersebut, orang Kalang memilih hidup memisahkan diri dari pemukiman warga lainnya. Akhirnya, oleh otoritas Kerajaan Hindu saat itu, mereka dicap tidak memiliki kasta (kaum paria). Semakin besarlah jarak di antara mereka dan masyarakat umum. Sebab dalam sistem kasta, orang yang tidak berkasta tidak boleh berhubungan dengan orang yang berkasta, sekalipun itu orang dari kasta terendah (Sudra).
Kendati demikian, hubungan kerja tetap terjalin sesekali. Namun, karena karakter orang Kalang yang keras, liar, dan berbahaya, sering terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Antara lain pembangkangan orang Kalang, sebagaimana tertulis dalam penelitian Hery Santoso. Dikisahkan dalam buku Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-Desa Sekitar Hutan di Jawa (2004), orang Kalang melakukan aksi penebangan kayu secara liar (h. 73-78).[5]
Mitos-mitos Yang Beredar Seputar Suku Kalang
Lantaran asal-usulnya yang simpang-siur dan jumlah anggota masyarakatnya yang sedikit, suku Kalang sering disalahpahami orang. Itulah mengapa, pada zaman dulu, mereka cenderung dihindari dan dikucilkan (dikalang). Bukan hanya itu, beredar juga mitos-mitos yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Beberapa di antaranya sebagai berikut:
Orang Kalang Memiliki Ekor
Mitos ini pertama dikemukakan oleh Mitsuo Nakamura pada 1983. Antropolog Jepang itu mengatakan bahwa orang-orang Kalang dulunya adalah tawanan yang ditangkap oleh Sultan Agung dari ekspedisinya di Bali pada awal abad 17. Mereka dipercaya merupakan keturunan dari kera dan seorang putri, sehingga memiliki ekor pendek serupa kera.[6]
Orang Kalang adalah Keturunan Anjing
Selain anggapan bahwa orang Kalang merupakan blasteran kera, mereka juga dianggap keturunan anjing. Orang Jawa memiliki anggapan yang berbau takhayul bahwa Wong Kalang merupakan anak hasil perkawinan antara seorang perempuan dengan seekor anjing.[3]
Anggapan itu sebenarnya juga bukan terbentuk dengan sendirinya. Dalam Gegumbregan Gegalungan, upacara yang sekarang sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Kalang, terlihat sekali ekspresi dan simbolisasi gerakan yang meniru perilaku anjing. Antara lain, partisipan upacara merangkak seperti anjing. Hal ini dilakukan agar apa yang diinginkan dapat dikabulkan oleh leluhurnya. Anjing dalam sistem upacara Galungan tersebut dapat juga dimanifestasikan dalam wujud patung kecil yang diletakkan di depan orang yang merangkak tadi.[7]
Orang Kalang Sakti Mandraguna
Pada era Majapahit, komunitas Kalang ditugaskan untuk menjaga hutan agar tidak kemasukan penyusup yang membahayakan kerajaan. Alasannya, orang Kalang dianggap sakti. Selain itu, dengan kesaktiannya, mereka juga dipekerjakan sebagai pembuat candi. Konon, Wong Kalang mampu mengangkat batu yang sangat besar. Ketika berperang melawan suku Dayak yang dikenal sakti pun Majapahit banyak membawa tentara Kalang, sehingga akhirnya memperoleh kemenangan besar.[8]
Dengan jasa-jasa ini, Majapahit memberikan kaum ini penghargaan. Namun lantaran sifat liarnya, penghargaan tersebut kemudian dicabut. Masyarakat Kalang kemudian kembali dilepas ke hutan. Mereka beranak pinak di sana, hingga akhirnya satu per satu keluar dari hutan dan membaur dengan warga lokal di Jawa.
Orang Kalang Hari Ini
Seiring dengan perkembangan zaman dan tidak berlakunya sistem kasta, orang-orang Kalang sudah banyak berbaur dengan masyarakat lainnya, baik dalam pergaulan sosial maupun pernikahan. Suku ini sudah diterima dengan baik di Indonesia. Demikian pula sebaliknya, suku Kalang juga dapat menerima orang-orang dari luar sukunya.
Orang Kalang saat ini banyak tersebar di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, seperti Magetan, Cilacap, Adipala, Gombong, Ambal, Petanahan, Kebumen, Bagelen, sampai wilayah Yogyakarta. Namun, di kalangan internal, tetap saja ada pembagian golongan,[1] yaitu:
- Kalang Obong: golongan Kalang dari laki-laki yang berhak untuk mengadakan upacara Kalang obong, ritual ikonik suku Kalang yang sudah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Takbenda pada 2018.
- Kalang Kamplong: golongan Kalang dari keturunan perempuan yang tidak berhak mengadakan upacara obong karena dianggap tidak murni lagi, dengan alasan suaminya berasal dari luar Kalang.
Sistem Kepercayaan
Sejak puluhan tahun, banyak di antara Wong Kalang yang sudah menjadi muslim dan menjalankan syariat-syariat Islam. Meskipun kebanyakan dari mereka masih setia menjalankan upacara-upacara tradisionalnya. Beberapa di antara ritual mereka yang masih dikerjakan hingga hari ini seperti Kalang obong (obong mitung dino dan obong mendhak, gegalungan gegrumbegan, nyayuti, dan sebagainya.[5]
Upacara-upacara semacam ini sebenarnya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun, hal ini tetap dipandang perlu dilakukan, karena tujuannya untuk mengumpulkan kembali anggota suku Kalang yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia, sekaligus mengikuti amanat leluhur mereka.
Ada pula orang Kalang yang sudah melepaskan identitasnya. Mereka tidak melakukan ritual-ritual khas kaum Kalang lagi dan tidak khawatir akan terjadi sesuatu pada dirinya.
Mata Pencaharian
Karena sudah berakulturasi dan beradaptasi dengan baik, nyaris tidak ada perbedaan antara orang Kalang dan bukan Kalang. Umumnya, kehidupan orang Kalang sangat teratur dan makmur. Banyak keturunannya yang sukses menjadi wirausahawan.
Referensi
- ^ a b Paluseri, dkk, Dais Dharmawan (2018). Penetapan Budaya Warisan Takbenda Indonesia 2018 (PDF). Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 209.
- ^ Suprapto, Hadi (2015-04-16). "Asal Usul 'Manusia Berekor' dari Kendal". VIVA.co.id. Diakses tanggal 2019-03-04.
- ^ a b Gericke, Johann Friedrich C. (1947). Javaansch Nederduitsch Woordenboek. Oxford University. hlm. 206. ISBN 9789814311915.
- ^ Veth, P. J. (1907). Java, Geographisch, Ethnologisch, Historisch (Jilid IV). Batavia: Haarlem, de Eren F. Bohn, G. Kolff & Co. hlm. 93-104.
- ^ a b Muslichin (2011). "Orang Kalang dan Budayanya: Tinjauan Historis Masyarakat Kalang di Kabupaten Kendal". Institute of Southeast Asian Studies: 164-165.
- ^ Nakamura, Mitsuo (2012). The Crescent Arises Over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, C. 1910-2010. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 44. ISBN 9789814311915.
- ^ Pontjosoetirto, Soelardjo (1971). Orang-Orang Golongan Kalang: Laporan 1: Hasil Penelitian Antropologis. Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM Yogyakarta. hlm. 25.
- ^ "Wong Kalang, Manusia Hutan Asli Jawa yang Konon Jadi Maestro Pembuat Candi". Boombastis.com. 2016-09-12. Diakses tanggal 2019-03-04.