Noaulu atau Noahatan atau Naulu[1] adalah sebuah suku yang terdapat di Desa Sepa bagian selatan-tengah Pulau Seram, Maluku. Noaulu atau Noahatan sendiri berasal dari kata "noa" yang merupakan nama sungai serta "hatan" yang artinya kepala sungai (hulu) sehingga Noahatan (Noaulu) dapat diartikan sebagai orang-orang yang mendiami hulu sungai Noa. Pada tahun 2011 populasi mereka mencapai tiga ribu jiwa.
Suku Noaulu kebanyakan dari mereka adalah datang dari Maluku Utara tepatnya pulau Halmahera. Pasca perang hotebanggoi kemudian memilih migrasi ke wilayah selatan pulau Seram berdiam di hulu sungai Noa petuanan desa Sepa kecamatan Amahai. Di seram bagian utara ada sejenis suku seperti ini yang disebut Masyarakat Huaulu. Suku Huaulu menghuni dua desa di pantai utara Pulau Seram dan suku Noahatan (Noaulu) hanya ada di desa Sepa di pantai selatan.
Secara etnis, orang Nuaulu terkait dengan orang Manusela. Mmereka mirip dengan Manusela juga dalam bahasa dan mengikuti keyakinan pemeluk kepercayaan asli orang Manusela, yakni Naurus.[butuh rujukan] Namun, tak sedikit di antara mereka yang juga mengikuti agama Hindu, dan bentuk-bentuk ritual yang diadopsi dari agama Hindu dapat ditemukan dalam ritual mereka.
Sistem Kemasyarakatan
Orang Noahatan (Noaulu) tersebar dipetuanan Desa Sepa di Pulau Seram yaitu di Yaisuru pindah ke Nua Nea, Bunara, Latan (Kampung Lama), Hahuwalan, Simalouw, Rohua, Rohua Waemanesi. Sistem kemasyarakatan mereka dibagi ke dalam 12 klan atau marga yaitu Pia, Matoke, Kamama, Sounawe Aepura, Sounawe Aenakahata, Sopalani, Perissa, Hury, Nahatue, Soumory, Leipary dan Rumalait. Ciri khas mereka adalah kaum pria mengenakan Nahatari atau kaeng berang yaitu kain merah yang diikatkan di kepala.
Saat berinteraksi dengan masyarakat luar, orang Noaulu selalu mengedepankan perasaan damai. Prinsip mereka selama mereka berbuat baik maka tidak ada hal buruk yang akan mendatangi mereka. Etika lainnya adalah dilarang mencuri, dilarang menyapa dengan panggilan yang kurang pantas. Dalam komunikasi sehari-hari jika ada pelanggaran adat maka akan diberikan sanksi yang disebut dengan Pina.
Pada masa dahulu, mereka masih menganut adat memotong kepala atau mengayau seperti masyarakat Dayak di Kalimantan. Tetapi sejak tahun 1970-an mereka tidak melakukannya lagi setelah dilakukan sosialisasi secara terus-menerus oleh pemerintah daerah setempat. Hampir semua upacara adat pada masa lalu mengharuskan adanya korban kepala tetapi sekarang sudah diganti dengan hewan kuskus.
Agama
Agama yang dianut oleh suku Noaulu adalah agama yang diturunkan oleh nenek moyang mereka, mereka menyebutnya dengan nama agama Noaulu atau Naurus. Tuhan mereka disebut dengan Upuku Anahatana atau biasa disingkat dengan Anahatana selaku Tuhan pencipta alam semesta dan merupakan sesuatu yang gaib dan maha agung.
Karena agama ini tidak diakui oleh negara maka mereka terkadang berkamuflase dengan mencantumkan agama lain yang diakui oleh negara. Hal ini dilakukan untuk menerobos birokrasi negara seperti pengurusan KTP dan pendidikan.
Ketika anak-anak mereka bersekolah, mereka harus memilih salah satu agama yang diakui oleh negara sesuai dengan agama mayoritas di sekolah mereka. Hal ini dilakukan sekadar untuk memenuhi tuntutan sistem kurikulum pendidikan yang berlaku. Beberapa anak malah diajak berpindah keyakinan oleh teman mereka atau orang tua angkat mereka karena dianggap tidak memiliki agama.
Di sisi lain, pernikahan yang mereka lakukan antar sesama pemeluk agama Noaulu tidak diakui oleh negara. Hal ini mengakibatkan pernikahan mereka tidak tercatat di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. Permasalahan lain adalah ketika mereka akan mencari pekerjaan di luar lingkungan mereka. Beberapa orang Noaulu mencantumkan agama Hindu di kartu identitasnya, walaupun pada kenyataannya ajaran agama mereka sangat jauh berbeda.
Sistem Kepercayaan
Di dalam sistem kepercayaan orang Noaulu, hubungan mereka dengan Tuhan tidak dilakukan secara langsung tetapi melalui perantara. Mereka percaya jika di dalam setiap aspek kehidupan ada roh atau Upu yang mengontrol dan mengitari keseharian mereka. Alam semesta ini dijaga oleh para Upu sebagai perantara dari Upuku Anahatana yaitu Nue Nosite (penjaga laut), Wesia Upue (penjaga darat), Sionoi Aha (penjaga udara), dan Seite Upue (penjaga hutan atau kebun). Selain itu juga ada Rea Upu yaitu leluhur yang telah meninggal dunia tapi tetap dapat berkomunikasi dengan yang masih hidup jika diperlukan. Setiap rumah induk memiliki Rea Upu sendiri yang dipersonifikasi dalam berbagai simbol.
Orang Noaulu menyembah Upuku Anahatana sebagai Tuhan dan kekuatan gaib lainnya yang mereka anggap sebagai penjaga.Eksistensi Tuhan sendiri menjadi lebih kuat dan bermakna apabila prosesi penyembahan Upuku Anahatana dilakukan secara bersama-sama. Dalam keadaan yang seperti itu mereka seperti larut dalam suasana kejiwaan yang transendental.
Saat berinteraksi dengan masyarakat luar, orang Noaulu selalu mengedepankan perasaan damai. Prinsip mereka selama mereka berbuat baik maka tidak ada hal buruk yang akan mendatangi mereka.[2]
Ritual-Ritual
Walaupun modernisasi menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan adat mereka tapi suku Noaulu tidak serta-merta meninggalkan ritual-ritual yang sakral. Ritual yang masih sering dilakukan antara lain adalah pataheri, pinamou, mau sahae, dan autotu nimoe.
Pataheri
Pataheri adalah ritual untuk para lelaki Noaulu yang dianggap telah dewasa. Ritual ini juga disebut dengan upacara cidaku. Pada upacara ini, lelaki yang sudah dianggap dewasa akan diberikan sebuah kain berwarna merah (kaeng berang) untuk diikatkan di kepala. Selain itu mereka yang mengikuti ritual ini juga wajib menggunakan cidaku yaitu cawat khas Noaulu. Kain merah pengikat kepala dan cawat yang dikenakan ketika ritual dilakukan tidak hanya semata bersifat duniawi tetapi juga bersifat rohaniah.
Ritual ini dimulai dengan puasa selama satu hari yang dimulai pada pukul tiga dini hari sampai jam enam sore. Selama berpuasa, kaeng berang diikat di leher karena dipercaya akan menjauhkan dari gangguan setan. Setelah berpuasa, mereka berkumpul di rumah utama yang disebut dengan numa onate dan diberikan pakaian adat marga yang disebut dengan karanunu onate. Setelah itu mereka didampingi oleh Kapitan (Panglima Perang) berjalan bersama menuju rumah orang tua Kapitan untuk berdoa agar diberikan keberanian dan terhindar dari bahaya.
Selesai berdoa, mereka kembali ke Numa Onate dan mengambil perlengkapan seperti parang, tombak, panah, tas berisi sirih pinang. Perlengkapan ini diberikan dengan menghadap ke utara. Tetua yang memberikan perlengkapan kemudia menuju pintu belakang yang mengarah ke timur untuk memimpin menuju tempat ritual di dalam hutan.[3]
Pinamou
Jika Pataheri adalah ritual menuju dewasa untuk laki-laki maka Pinamou adalah ritual menuju dewasa untuk perempuan yang dilakukan ketika seorang perempuan mendapatkan menstruasi pertama mereka. Ritual ini berupa pengasingan dari keluarga dan masyarakat karena darah menstruasi dianggap tidak baik bagi lingkungan adat mereka sehingga harus diasingkan ke posune selama sebelas hari. Posune ini terletak di bagian belakang rumah atau di pinggiran kampung. Selama di situ, sang gadis hanya dilayani oleh ibu dan saudara perempuannya. Posune adalah sebuah rumah kecil yang terbuat dari daun rumbia berukuran 2 x 2 meter dengan tinggi 1,5 meter.
Selama di Posune sang gadis yang sedang Pinamou hanya dibekali dengan bambu untuk tempat tidur, kain sarung, piring yang dibuat dari daun sagu, dan batu tungku untuk memasak. Selama di Posune, tidak boleh makan makan makanan yang berkuah, makanan mereka harus kering. Selama melakukan Pinamou maka sang gadis tidak boleh keluar dari Posune walaupun ke rumah orang tuanya. Jika telah selesai masa Pinamou maka akan dilakukan upacara adat dan berkeliling negeri (kampung) untuk menunjukkan bahwa perempuan itu sudah dewasa dan siap untuk menikah.
Lihat pula
Pranala luar
Referensi