Binjai atau Wani adalah pohonbuah sejenis mangga dengan bau yang harum menusuk dan rasa yang masam manis. Buah ini juga dikenal dengan beberapa nama lain seperti bin-yaa, lam-yaa (Th.), belenu (Mly., beluno (Sabah), baluno, bauno, bayuno (beberapa bahasa di Filipina), wenu (mhy.), binglu (Sd.), dan wani (Bl.). Nama ilmiahnya adalah Mangifera caesia. Bahasa inggrisnya adalah White mango.
Kerabat dekatnya, kemang, sering kali dianggap serupa dan dimasukkan ke dalam spesies ini. Akan tetapi beberapa pakar menyarankan untuk memisahkannya dalam jenis tersendiri, Mangifera kemanga.[2]
Pemerian botanis
Pohon besar dan rimbun dengan tajuk yang indah, berbatang lurus dengan tinggi mencapai 30-45 m dan gemang 50-80 (-120) cm. Pepagan (kulit kayu) berwarna cokelat kelabu dan beralur-alur. Semua bagian pohon, apabila dilukai, mengeluarkan getah keputihan yang tajam dan menggatalkan. Getah ini akan membeku dan menghitam setelah kena udara beberapa lama. Kulit batang berwarna abu-abu dan berkulit pecah-pecah.[3]
Daun tunggal, tersebar, sering mengumpul dekat ujung ranting. Helai daun bentuk jorong sampai lanset, agak bundar telur terbalik, 7-12(-30) x 3-5,5(-10) cm, kaku, menjangat, hijau mengilap di sebelah atas dan lebih pucat di bawah, dengan ibu tulang daun yang menonjol, pangkal yang melanjut dan ujung yang menumpul atau meluncip tumpul. Tangkai daun kaku, memipih, 1-2,5 cm.
Karangan bunga dalam malai di ujung ranting, 15–40 cm, bercabang banyak dan berbunga lebat. Bunga berwarna merah jambu pucat, berbilangan 5, harum; helai mahkota bentuk garis, lk 10 mm; tangkai sari berwarna keunguan, lk. 5 mm. Buah buni, lonjong sampai bulat telur terbalik, lebih kelihatan mirip avokad ketimbang mangga yang tidak simetris bentuknya,[3] dengan ‘leher’ pada pangkalnya, berukuran 12-20 x 6–12 cm, kulitnya tipis berwarna hijau. Daging buahnya putih susu, berserat atau hampir tak berserat, mengandung banyak sari buah, berbau khas dan agak busuk, masam manis sampai manis. Biji bulat lonjong sampai lanset, lk. 7 x 4 cm, kulit bijinya tipis dan tidak mengayu, monoembrioni.[2]
Binjai terutama ditanam untuk buahnya, yang biasa dimakan segar setelah buah itu masak atau dijadikan campuran es. Binjai juga digunakan sebagai campuran sambal, terutama untuk masakan ikansungai. Buah binjai yang masih muda tak dapat dimakan karena duhnya sangat tajam dan menggatalkan. Bijinya kadang-kadang dikeringkan dan diolah sebagai lauk makan nasi.[2][4]
Kayu binjai dapat digunakan sebagai papan lantai dan bahan konstruksi ringan. Buahnya yang sudah matang bisa dimakan dalam keadaan segar dengan dikupas terlebih dahulu. Setelah itu, pucuk daun yang masih muda dimakan sebagai lalap. Karena saat berbunga, dia mempunya tajuk yang indah sekali; mungkin binjai dapat dipergunakan sebagai tanaman penghias jalanan.[3]
Asal usul dan penyebaran
Binjai berasal dari India. Binjai menyebar secara alami di Sumatra, Jawa,[3]Kalimantan dan Semenanjung Malaya; sebagian pakar meyakini Kalimantan adalah lokasi asal-usulnya. Dari wilayah-wilayah ini, binjai dibawa dan dibudidayakan orang di Bali, Filipina dan Thailand, serta agak jarang di Jawa bagian barat.
Binjai terutama menyebar di dataran rendah di bawah 400 m, jarang hingga 800 m dpl. Jenis ini tahan terhadap penggenangan, dan sering kali didapati dekat tepi sungai. Binjai dapat bertumbuh pada tanah yang subur dan mempunyai drainase yang baik.[3]
Referensi
^Ganesan, S.K. (2021). "Mangifera caesia". The IUCN Red List of Threatened Species 2021.
^ abcVerheij, E.W.M. dan R.E. Coronel (eds.). 1997. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2: Buah-buahan yang dapat dimakan. PROSEA – Gramedia. Jakarta. ISBN 979-511-672-2. Hal. 261.