Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito

Ny Raden Nganten Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito
Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito
Lahir(1907-12-28)28 Desember 1907
Yogyakarta
Meninggal31 Agustus 1991(1991-08-31) (umur 83)
Yogyakarta, Indonesia
Tempat pemakamanTaman Wijaya Brata, Yogyakarta, Indonesia
AlmamaterHollands Inlandsche School (HIS) di Yogyakarta 1916-1921,
Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) tahun 1922-1924,
Sekolah Taman Guru Tamansiswa
Dikenal atasAnggota BPUPKI, Anggota Kongres Perempuan Indonesia,
Suami/istriSoenarjo Mangoenpoespito
Anakdrg.R.Indiarto
Dra.Rr.Indiari
R.Indiarjo BSc
Rr.Indiarsi
R.Indiarsoro SH
Orang tuaRM. Penewu Abdul Wahid Mustopo

Ny. Raden Nganten Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito (bahasa Jawa: ꦱꦶꦠꦶꦱꦸꦏꦥ꧀ꦠꦶꦤꦃꦱꦸꦤꦂꦪꦺꦴꦩꦔꦸꦤ꧀ꦥꦸꦱ꧀ꦥꦶꦠꦺꦴ, 28 Desember 1907 – 31 Agustus 1991) adalah salah satu tokoh wanita anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1944,[1] dan pada saat itu juga menjadi kepala Bagian Wanita (Fujinkai) di Kantor Pusat Jawa Hokokai, Jakarta.[2] Sepak terjang Sukaptinah dalam gerakan perempuan terkenal sejak era kolonial. Selain aktif di berbagai organisasi, seperti mengikuti kongres perempuan sejak pertama diadakan, Sukaptinah ikut membidani beberapa organisasi perempuan seperti Istri Indonesia. Sukaptinah ikut membubarkan Fujinkai dan menggantinya dengan Perwani (Persatuan Wanita Indonesia) yang merupakan fusi dari beberapa organisasi perempuan.

Riwayat Hidup

Sukaptinah mempunyai nama lengkap yakni R. Ngt. Soenarja Mangoenpoespita alias Rr. Siti Soekaptinah. Siti Sukaptinah adalah putri sulung dari R. Sastrowetjana, yang sejak muda hingga usia lanjut bekerja sebagai abdi dalem Keraton Yogyakarta. Ayah Sukaptinah merupakan seorang abdi dalem bagian ibadah di Kraton Yogyakarta.[3][4][5] Kakek Sukaptinah bernama Kandjeng Panembahan Mangkoerat yang dikenal dengan nama Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi diklaim merupakan seorang pengikut Pangeran Diponegoro. Sukaptinah sejak muda telah aktif berperan dalam pergerakan kebangsaan dan pengembangan organisasi wanita di Indonesia.[3][6]

Semasa sekolah di HIS Keputran yang didirikan Sultan Hamengkubuwono VII, Sukaptinah aktif di Siswapraja Wanita Muhammadiyah, cikal-bakal Nasiyatul Aisyiyah. Kala itu usianya masih 13 tahun. Setelah tujuh tahun menempuh pendidikan itu, Sukaptinah lulus dan melanjutkan ke MULO Ngupasan (sekarang menjadi SMP Negeri 8 Yogyakarta) sembari aktif di Jong Java. Pada 1924, dia pindah ke Taman Guru Taman Siswa hingga lulus pada 1926. Sukaptinah diajar langsung oleh Nyi dan Ki Hajar Dewantara. Merekalah yang mengajari Sukaptinah nembang hingga dirinya bisa menggubah lagu sendiri.

Pekerjaan dan Organisasi

Siti Sukaptinah, 1954

Setelah lulus, Sukaptinah menjadi guru di Perguruan Taman Siswa. Di sini, dia berkenalan dengan tokoh-tokoh gerakan perempuan yang juga menjadi guru di Taman Siswa, seperti Sri Wulandari (kemudian dikenal Nyonya Mangunsarkoro) dan Sunaryati (kemudian dikenal Nyonya Sukemi). Pada tahun 1929, Sukaptinah menikah dengan Sunaryo Mangunpuspito, pria yang dikenalnya ketika sama-sama aktif di Jong Java. Sunaryo lelaki progresif sehingga pernikahan mereka tak menghambat Sukaptinah aktif dalam gerakan.

Sukaptinah juga merupakan anggota dari organisasi pemuda Islam Jong Islamieten Bond yang berdiri pada tahun 1925 dan menjadi ketua kedua dari Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling (JIBDA), yaitu seksi wanita dari organisasi tersebut.[7] Pada organisasi ini, Sukaptinah menekankan pembahasan isu-isu peranan wanita menurut Islam dan di tengah masyarakat, pergaulan bebas, pembatasan poligami, serta perluasan kesempatan belajar bagi anak-anak perempuan.[6]

Sukaptinah juga merupakan salah satu wanita Indonesia yang menuntut agar "Indonesia Berparlemen", lalu ia diminta untuk memberikan masukan oleh Komisi Visman bentukan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1941.[8]

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Sukaptinah sebagai ketuanya membubarkan Fujinkai bentukan Pemerintah Pendudukan Jepang, dan menganjurkan dibentuknya organisasi wanita di seluruh kota dan kabupaten di Indonesia, sehingga terbentuklah Persatuan Wanita Indonesia (Perwari).[9]

Pergi Ke India ketika Perang Kemerdekaan

Ia pernah diundang oleh aktivis perempuan India ketika Perang Kemerdekaan masih berkecamuk. Undangan itu berisi permintaan agar Siti Sukaptinah hadir dalam All Indian Women’s Congress yang diselenggarakan di Madras pada November 1947. Siti Sukaptinah bingung karena di satu sisi dia ingin datang untuk mengabarkan kemerdekaan Indonesia yang baru berumur dua tahun supaya mendapatkan pengakuan dari negara lain sedangkan di sisi lain dia tidak memiliki modal. Jangankan paspor, uang pun tak ada. Berkunjung ke luar negeri di tengah situasi krisis menjadi hal yang agak mustahil dilakukan. Akan tetapi, tekad Sukaptinah menguat. Bermodal kenekatan, dia akhirnya mengepalai keberangkatan delegasi Indonesia ke India. Sukaptinah ditemani Utami Suryadarma dan Sulianti Soekonto. Dalam rombongan itu hadir pula Herawati Diah, wartawan Harian Merdeka yang ditugaskan untuk meliput kegiatan di sana. Mereka semuanya menumpang pesawat Kalingga Airlines milik Bijayananda (Biju) Patnaik, pengusaha dermawan India kepercayaan Jawaharlal Nehru. Patnaik kerap mengemban misi rahasia bolak-balik terbang ke Yogyakarta untuk membawakan obat-obatan juga bantuan lain untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kebetulan, kala itu Patnaik di Yogyakarta untuk menemui Soekarno. Sukaptinah, kala itu merupakan anggota Badan Pekerja Komisi Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), langsung melobi sekretariat negara untuk menjadi perantara agar rombongan Korps Wanita Indonesia (Kowani) bisa menumpang pesawat Patnaik. Lobi Sukaptinah berhasil.

Pesawat bertolak ke India pada akhir 1947. Saat transit di Singapura, rombongan disambut Mr. Oetojo Ramelan, kakak Utami, yang menjadi anggota perwakilan RI di Singapura. Utami menceritakan dalam memoarnya, Saya, Soeriadi, dan Tanah Air, selama di Singapura mereka mengurus siaran radio luar negeri dan mengadakan konferensi pers dengan para wartawan Singapura untuk memberitakan kemerdekaan Indonesia. Setelah menyelesaikan tugas, Sukaptinah dan rekan-rekannya cuci mata ke pusat perbelanjaan di Arab Street dan Change Alley. Mereka keasyikan jalan-jalan karena lama tak melihat barang mewah dan pernak-perik lucu. Akibatnya keempat perempuan itu terlambat sampai lapangan terbang. Muka masam Patnaik dan kru yang marah langsung menyambut mereka. Sesampainya di New Delhi, mereka langsung menggunakan kesempatan untuk menemui Mahatma Gandhi guna memperbincangkan kemerdekaan Indonesia. Baru setelah itu mereka terbang ke Madras, India Selatan. Di Madras, Sukaptinah dan rekan-rekan menginap di rumah Swaminatham yang juga peserta kongres.

Sebagai Ketua Kowani dan kepala delegasi Indonesia, Sukaptinah menceritakan perjuangan kemerdekaan Indonesia yang menarik simpati peserta kongres. Dalam kongres itu, delegasi Indonesia berkenalan dengan tokoh perempuan India, seperti aktivis buruh dan ketua kongres Shrimati Anusuyabai Kale, penulis kenamaan Avabai Bomanji Wadia, dan pengacara perempuan Mithan Jamshed Lam. Mereka saling tukar pikiran terutama mengenai politik perempuan. Sukaptinah yang sudah malang-melintang dalam gerakan perempuan sejak era kolonial menemukan kesamaan perjuangan dengan perempuan India.[10]

Setelah Perang Kemerdekaan

Di pemerintahan, Sukaptinah pernah duduk di Dewan Kota Semarang (Gemeente Raad Semarang) sebagai wakil perempuan dari Parindra. Setelah dari Parindra, Sukaptinah bergabung dengan Masyumi pada 1946, persis setelah pindah dari Jakarta ke Yogyakarta bersama rombongan presiden. Ia masuk anggota Pengurus Besar (PB) Muslimat Masyumi yang diketuai oleh Zainab Damiri yang kelak menjadi perempuan pertama di DPRD DIY.

Keaktifan Sukaptinah di Masyumi, tulis Sri Sjamsiar Issom dalam tesisnya “Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito Sosok Wanita Pergerakan Indonesia (1928-1956)” terus berlanjut hingga ia naik menjadi ketua PB Muslimat Masyumi. Pada 1950 ia menjadi anggota DPRS dan menjadi wakil ketua panitia Rancangan Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran. Pada pemilu 1955, Sukaptinah mencalonkan diri sebagai wakil perempuan dari Masyumi untuk pemilihan anggota DPR. Ia terpilih sebagai satu-satunya perempuan yang duduk di DPR plus menjadi anggota Dewan Konstituante.[10]

Perubahan Sikap Terkait Poligami

Ketika UU Perkawinan yang adil dibahas di parlemen, sikap Sukaptinah berubah. Jika di masa kolonial dia bergabung dan menjadi ketua Istri Indonesia yang menentang poligami, di parlemen dia tampak mendukung. Dukungan itu terlihat kala Komisi Nikah Talak dan Rujuk tak kunjung menggolkan RUU perkawinan yang adil. Nyonya Sumari, anggota DPR dari fraksi PNI, maju membawa usulan tentang hukum pernikahan yang menolak keras poligami. Usulan itu ditentang Sukaptinah.

Perubahan sikap Sukaptinah, seperti ditulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, lantaran ia datang dari golongan Islam. Menurut Saskia, perempuan yang tergabung dalam organisasi Islam sayap perempuan cenderung berada di posisi pro poligami. Hal ini lantaran induk organisasi mereka yang dikuasai kaum laki-laki mengambil posisi pro sehingga sayap perempuannya mau-tak-mau harus mengekor. Secara pribadi, beberapa anggota organisasi Islam sayap perempuan menolak poligami secara diam-diam atau memilih tak bersuara.

Keaktifan Sukaptinah dalam tiga lembaga di kota yang berbeda membuatnya harus bolak-balik Yogyakarta-Jakarta-Bandung. Anak dan suaminya tinggal di Yogyakarta, kerja-kerja DPR dilakukan di Jakarta, sementara Konstituante di Bandung. Perjalanan Sukaptinah dari kota ke kota itu berakhir di masa Demokrasi Terpimpin ketika Sukarno membubarkan Masyumi dan PSI serta menekan simpatisannya. Karena partainya dibubarkan, otomatis Sukaptinah keluar dari DPR. Sukaptinah juga disingkirkan dari kepengurusan Kowani, seperti halnya Maria Ulfah. Sukaptinah kemudian kembali ke Yogyakarta dan tetap aktif dalam gerakan perempuan antara lain dengan mendirikan Wanita Islam –organisasi perempuan independen yang bukan sayap organsasi– pada 1962. Sukaptinah juga membidani kelahiran Badan Musyawarah Wanita Islam Yogyakarta (BMWIY), semacam forum kerjasama antar organisasi perempuan Islam di Yogyakarta. Atas jasanya dibidang politik dan gerakan perempuan, pemerintah menganugerahinya Bintang Mahaputra pada tahun 1993, dua tahun setelah Sukaptinah meninggal. Penerimaan anugerah itu diawakili Indiarto, anak Sukaptinah.[10]

Kehidupan Pribadi

Tahun 1928, Siti Sukaptinah menikah dengan Sunaryo Mangunpuspito[11] dan dari pernikahan tersebut mereka memperoleh lima orang anak, yaitu Indiarto, Indiari, Indardjo, Indarsi, dan Indarsoro.[12]

Sukaptinah memiliki dua adik laki-laki, yakni Haryonomulyo dan Hertog. Haryonomulyo yang dikenal dengan nama R. Prawiroharyono lahir pada tahun 1909 sedangkan Hertog lahir pada tahun 1914. Hertog dikenal sebagai tokoh pramuka, pemain sepak bola PSIM serta PSSI, dan pernah menjadi anggota DPRD Kotamadya Yogyakarta mewakili Golkar pada tahun 1966-1976 sekaligus Ketua DPRD Yogyakarta. Istri Hertog adalah putri dari Darmosugito. Darmosugito merupakan seorang wartawan senior pada zaman Hindia Belanda. Ny. Hertog juga seorang pamong di Taman Siswa Yogyakarta. Haryonomulyo dan Hertog wafat pada tahun 1986, mendahului Sukaptinah.[3]

Lihat pula

Referensi