K.H. Abdul Fatah Hasan atau Ki Fatah Hasan adalah ulama dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia dari Banten. Ki Fatah Hasan juga merupakan anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang mulai bersidang pada tanggal 10 Juli 1945, setelah adanya penambahan 6 anggota dari bangsa Indonesia pada sidang kedua.[1]
Biografi
K.H. Abdul Fatah Hasan adalah murid dari Brigjen K.H. Syam'un, perintis berdirinya Pondok Pesantren al-Khiriyah Citangkil, tempatnya menimba ilmu. Pada tahun 1933 Ki Fatah Hasan dikirim untuk belajar di Fakultas Syari'ah ke Universitas Al-Azhar oleh gurunya. Setelah menyelesaikan studinya di Kairo pada tahun 1939, Ki Fatah Hasan kembali ke Cilegon untuk mengamalkan ilmunya di Pesantren al-Khairiyah.[2]
Perjuangan
Pada masa Pendudukan Jepang di Indonesia, Ki Syam’un dan para muridnya berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu Ki Fatah Hasan sebagai murid utama Ki Syam’un yang dianggap memiliki intelektualiatas dan wawasan yang luas terhadap berbagai hal, diutus mewakili masyarakat Banten untuk menjadi Anggota BPUPKI.[2]
Peran sebagai Anggota BPUPKI
K.H. Abdul Fatah Hasan mulai bersidang sebagai anggota BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945, pada sidang resmi kedua. Ki Fatah Hasan termasuk dalam panitia yang bertugas membahas keuangan dan perekonomian dengan Ketua Mohammad Hatta, akan tetapi dalam buku "Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia" terungkap bahwa Ki Fatah Hasan termasuk orang yang ikut serta merumuskan dan membahas soal Pembentukan Negara dan Dasar Negara pada tahun 1945, khususnya pada Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 mengenai kebebasan beragama dalam Rapat Besar BPUPKI tanggal 15 Juli 1945. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, hingga saat ini menjadi tolok ukur kerukunan umat bergama yang berbunyi; "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."[3]
Peran setelah Kemerdekaan Indonesia
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Ki Fatah Hasan kembali menekuni Pesantren dan membantu K.H. Syam'un yang menjadi Bupati Serang dan Komandan Batalyon Siliwangi Wilayah Banten. Namun saat terjadi Agresi Militer Belanda II pasca Indonesia Merdeka, Ki Syam'un dan Ki Fatah Hasan (yang saat itu menjadi Wakil Bupati Serang dan Anggota KNIP) gencar melakukan gerilya dari satu gunung ke gunung lainnya demi mempertahankan Wilayah Banten dari Agresi Militer Belanda. Saat bergerilya itulah banyak pejuang-pejuang Banten yang gugur di tempat persembunyian. Ki Syam’un sendiri wafat di daerah perbukitan Kamasan-Anyer. Sedangkan Ki Fatah Hasan tidak diketahui di mana rimbanya. Sejak saat itu, Ki Fatah Hasan tidak kembali ke rumah, tidak tahu apakah ditangkap Belanda atau wafatnya di mana dan dikuburkan di mana.[2]
Penghargaan
Atas jasa-jasa K.H. Abdul Fatah Hasan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia inilah kemudian pada tahun 1992, ia dianugerahkan Bintang Mahaputra oleh Soeharto, Presiden Republik Indonesia saat itu.[4]
Referensi
Pranala luar
- (Indonesia) Website resmi Diarsipkan 2017-04-28 di Wayback Machine. Alkhairiyah Online
- (Indonesia) Website resmi Diarsipkan 2017-06-26 di Wayback Machine. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
- (Indonesia) Bahar, Saafroedin. 1994. Risalah sidang badan penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI): panitia persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945 - 19 Agustus 1945. Sekretariat Negara Republik Indonesia: Jakarta.
- (Indonesia) Facal, Gabriel. 2016. Keyakinan dan Kekuatan; Seni Bela Diri Silat Banten. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Sleman, Yogyakarta.