Dalam sebuah pembicaraan Ki Hadjar Dewantara dengan Ki Soedarminto (Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa) diutarakanlah bahwa dia menginginkan suatu tempat untuk istirahat.
Ki Soedarminto menarik kesimpulan bahwa tempat istirahat yang pernah diajukan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah sebuah makam keluarga Tamansiswa. Gagasan makam untuk keluarga Tamansiswa diketengahkan dalam Rapat Besar Umum (Kongres) Taman Siswa tahun 1952. Kongres pun menyetujui gagasan tersebut.
Untuk mewujudkan gagasan tersebut maka Majelis Luhur membuat panitia.
Ketua: Ki Soedarminto
Panitera: Ki R.P Soedarmo
Bendahara: Nyi Aring Hertog
Anggota: Ki Kanapi dan Ki Hadi Yoesman
Pada tahun 1953 panitia mendapatkan tanah milik bapak H. Hasyim di Celeban, Yogyakarta yang terdiri dua bagian masing-masing 1.073 m2 dan 1.338 m2, jumlah keseluruhan 2.411 m2 dengan harga Rp. 12.055,00 (dua belas ribu lima puluh lima rupiah). Selain itu Majelis Luhur juga mendapatkan tanah yang besebelahan dengan yang di beli oleh panitia. Tanah tersebut milik Bapak Kartosentono dengan luas 1.280 m2 dengan harga Rp. 12.000,00 (dua belas ribu rupiah).
Makam di beri nama Taman Wijaya Brata. Taman berarti kebun, wijaya berarti kemenangan, jaya dan brata kewajiaban sumpah, janji. Arti keseluruhan yaitu tempat untuk mencapai kemenangan.
Ki Soedarminta pencetus gagasan pengadaan makam wafat pada tahun 1956 dan dikebumikan di tanah makam yang baru tersebut. Berarti almarhum adalah orang pertama yang dimakamkan sedangkan Ki Hadjar Dewantara wafat pada hari Minggu, 26 April 1959.
Tahap Pembangunan
Pembangunan makam terbagi menjadi dua tahap.
Tahap pertama
Tanah berupa tegalan / pekarangan selanjutnya dibenahi dan disempurnakan sebagai sebuah makam yang layak. Pembangunan tahap pertama selesai pada tahun 1963 yang ditandai dengan candrasengakala RINARAS TRUS BASUKINING WIJI yang menunjukan tahun 1895 Jawa.
Arti dari candrasengakala tersebut rinaras berarti harmonis/serasi, trus berarti menuju, sampai, basukining berarti sehat sejahtera, wiji berarti buah. Arti keseluruhan candrasengkala tersebut yaitu suasana harmonis menciptakan generasi baru yang hidup dalam suasana sejahtera atau bahagia.
Tahap dua
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No.: 021 / A-I / 1979, tanggal 30 Juli, makam akan dipugar dan dilanjutkan pembangunannya dengan anggaran Repelita tahun 1979 - 1980 sebesar Rp. 21.000.000,-
Pemugaran meliputi:
1. Penyempurnaan gapura dengan tidak mengubah relief.
2. Pengratun ditingkatkan dengan mempertahankan bentuk. Genting diganti dengan kayu sirap.
3. Meningkatkan pagar yang mengelilingi pagar.
Pembangunan yang merupakan realisasi dari rencana:
Pemugaran dilaksanakan pada Hari Kamis legi, 6 Maret 1989 dan berakhir pada Jumat Pon, 2 Mei 1980. Selesainya tahap dua ditandai dengan suryasengkala Hening Mangesti Pambuka Wiji. Wiji berarti bakal buah menunjukan angka 0, pambuka berarti awal menunjukan angka 8, mangesti berarti cita-cita menunjukan angka 9 dan hening berarti bening, suci menunjukan angka 1. Arti keseluruhan suryasengkala yaitu bercita-cita tinggi / suci untuk membawa generasi baru dalam kehidupan yang tinggi dan luhur.
Taman Wijaya Brata telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) dengan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. Pm. /Pw. 007/ MKP / 2007, pada tanggal 26 Maret 2007.