Kaisar Jepang
Kaisar Jepang (Kanji: 天皇; Romaji: Tennō) adalah pemimpin keluarga kekaisaran dan kepala seremonial negara dari sistem monarki konstitusional Jepang. Kaisar Jepang adalah "lambang Negara dan kesatuan bangsa." Menurut sejarah, kaisar juga merupakan pemegang kewenangan tertinggi agama Shinto karena dia dan keluarganya dipandang sebagai keturunan dari dewi matahari Amaterasu,[1] dan kepentingannya juga menangani urusan keagamaan, termasuk ritual Shinto dan ritual seluruh bangsa. Saat ini, pemimpin Jepang adalah satu-satunya penguasa monarki di dunia yang gelarnya diterjemahkan setingkat dengan "Kaisar". Istana Kekaisaran Jepang adalah kediaman tertua yang terus berlanjut sebagai monarki turun-temurun di dunia.[2] Di Kojiki atau Nihon Shoki, sebuah buku tentang sejarah Jepang selesai pada abad kedelapan, dikatakan bahwa Jepang didirikan pada tahun 660 SM oleh Kaisar Jimmu. Kaisar saat ini adalah Naruhito, yang telah berada di Takhta Krisantemum sejak dirinya dinobatkan sebagai kaisar setelah ayahnya, Akihito, turun takhta pada tanggal 30 April 2019. Dilihat dari sejarahnya, peran Kaisar Jepang berganti-ganti antara peran simbolis seremonial dan peran seorang penguasa kekaisaran sebenarnya. Sejak berdirinya keshogunan pada tahun 1192, Kaisar Jepang sudah jarang sekali mengambil peran sebagai panglima tertinggi dalam medan pertempuran, tidak seperti kekaisaran di Barat. Kaisar Jepang telah hampir selalu dikendalikan oleh kekuatan politik eksternal, hingga berbagai tingkatan. Faktanya, dari tahun 1192 sampai 1867, shogun, atau bupati shikken di Kamakura (1203–1333), merupakan penguasa de facto Jepang, meskipun status jabatan mereka ditunjuk oleh Kaisar. Setelah Restorasi Meiji pada tahun 1867, Kaisar adalah perwujudan dari semua kekuasaan yang berdaulat di dunia, sebagaimana tercantum dalam Konstitusi Meiji tahun 1889. Status Kaisar Jepang saat ini hanya sebatas simbol negara sejak Konstitusi tahun 1947, tanpa memiliki kewenangan politik. Sejak abad pertengahan kesembilan belas, Istana Kekaisaran disebut Kyūjō (宮城), yang kemudian dinamai sebagai Kōkyo (皇居), dan berlokasi di situs bekas Istana Edo di pusat Tokyo. Sebelumnya, Kaisar tinggal di Kyoto selama hampir sebelas abad. Hari Ulang Tahun Kaisar (saat ini dirayakan pada 23 Februari) dijadikan sebagai hari libur nasional. Gelar dan sapaanGelarGelar resmi Kaisar Jepang dalam bahasa aslinya adalah tennō (天皇), yang secara harfiah bermakna "penguasa surgawi." Gelar ini hanya dikhususkan untuk menyebut Kaisar Jepang. Walaupun menurut catatan resmi terdapat 126 orang yang menyandang gelar ini sejak tahun 660 SM hingga masa Kaisar Naruhito (berkuasa sejak tahun 2019), para sejarawan percaya bahwa gelar ini baru pertama kali digunakan pada masa Kaisar Tenmu (berkuasa pada 672–686 M) dan Maharani Jitō (berkuasa pada 686–697 M). Gelar tennō tidak memandang jenis kelamin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "kaisar" untuk laki-laki dan "maharani" untuk perempuan. Sepanjang sejarah, terdapat delapan wanita yang menyandang gelar ini, dua di antaranya berkuasa dua kali. Lihat Maharani Jepang. Istilah lain yang juga digunakan untuk merujuk Kaisar Jepang adalah kōtei (皇帝) untuk kaisar pria dan jotei atau nyotei (女帝) untuk kaisar wanita (maharani) dan keduanya dapat digunakan oleh orang-orang Jepang untuk merujuk pada kaisar non-Jepang. Istilah sumeramikoto juga digunakan dalam bahasa Jepang kuno. Istilah tennō digunakan sampai pada masa Abad Pertengahan, sampai pada masa tidak digunakannya gelar ini, dan kemudian digunakan kembali pada abad ke-19. Dalam bahasa Inggris, istilah mikado (御門 atau 帝 atau みかど), secara harfiah bermakna "gerbang kehormatan," juga digunakan untuk merujuk Kaisar Jepang, walau penggunaannya sekarang sudah dipandang ketinggalan zaman.[3] Penerjemahan gelarWalaupun sering diterjemahkan sebagai "kaisar", nyatanya sepanjang sejarah, kekuasaan tennō hanya melingkupi sekitaran Pulau Kyushu, Honshu, Hokkaido, dan Okinawa. Hal ini berbeda dengan kaisar pada umumnya yang wilayah kekuasaannya melingkupi suatu wilayah luas, menjadikannya kedudukannya dipandang di atas raja. Pada masa Restorasi Meiji (1868), Persekutuan Satsuma-Chōshū menjadikan gelar Inggris emperor (Kaisar atau Maharaja dalam bahasa Indonesia, Kaiser dalam bahasa Jerman, dan l'Empereur dalam bahasa Prancis) sebagai padanan kata tennō, alih-alih king (raja dalam bahasa Indonesia). Hal ini untuk menyatakan tingginya kedudukan pemimpin Jepang atas raja-raja pada umumnya dan menyatakan kesetaraannya dengan para penguasa besar dunia saat itu, seperti Kaisar Rusia, Kaisar Prancis (1857-1871), Kaisar Austria, Kaisar Jerman (dari 1871), dan Ratu-Maharani India (dari 1877) – dan juga Kaisar Tiongkok, Meksiko, dan Brazil. SapaanSesuai adat, adalah sebuah bentuk ketidakhormatan di Jepang bila menyapa orang asing dengan nama pribadinya saja, terlebih lagi bila diterapkan pada kalangan bangsawan. Walaupun kebiasaan ini sudah mulai melonggar pada masa belakangan, utamanya di lingkup pertemanan yang memandang saling menyapa dengan nama pribadi sebagai bentuk keakraban, tetapi penyebutan dengan menggunakan nama keluarga masih lazim digunakan. Bila merujuk pada keluarga kekaisaran, menyapa dengan nama pribadi lebih tidak pantas untuk dilakukan. Sejak masa Kaisar Meiji, setiap kaisar memberikan satu nama pada masa pemerintahannya. Kaisar yang telah mangkat akan disebut secara anumerta sesuai nama era yang telah ditetapkan semasa pemerintahannya. Akan tetapi, pihak luar Jepang lebih sering menyebut Kaisar Jepang hanya dengan nama pribadinya saja, baik semasa kaisar masih hidup atau setelah mangkatnya. Sebagai contoh, masa pemerintahan Kaisar Hirohito disebut sebagai periode Shōwa. Nama era ini kemudian digunakan sebagai nama anumerta Kaisar Hirohito setelah mangkatnya, sehingga orang-orang Jepang menyebutnya dengan sebutan "Kaisar Showa" (昭和天皇, Shōwa-tennō). Walaupun begitu, pihak luar Jepang lebih sering menyebut dengan nama pribadinya, yakni "Kaisar Hirohito," baik semasa hidup maupun setelah mangkatnya. Sapaan resmi dalam bahasa Jepang yang digunakan untuk penguasa monarki adalah heika (陛下) dan ini juga digunakan untuk Kaisar Jepang. Heika sendiri dapat disejajarkan dengan "Baginda" pada budaya Melayu. Kaisar Jepang yang sedang berkuasa biasanya disapa dengan sebutan Tennō Heika (天皇陛下) yang dapat dimaknai sebagai "Baginda Kaisar" dalam bahasa Indonesia, Kinjō Heika (今上陛下), atau cukup Tennō atau kaisar. SejarahWalaupun kaisar merupakan perlambang kesinambungan antara masa lalu, kewenangan kaisar berbeda-beda dalam sepanjang sejarahnya. Pada abad ketujuh masehi, kaisar mulai dipanggil dengan sebutan "Putra Langit" (天子 tenshi atau 天子様 tenshi-sama).[4] Asal muasalKaisar paling awal yang tercatat pada Kojiki dan Nihon Shoki adalah Kaisar Jimmu, yang dikatakan merupakan keturunan dari Ninigi, cucu dari Dewi Amaterasu. Berdasarkan Nihon Shiki, kaisar memiliki silsilah dari jalur laki-laki yang tak terpatahkan hingga 2.600 tahun. Gelar tennō diambil dari Tiongkok, diturunkan dari huruf Tiongkok.[5] Kendali faksiTerdapat enam keluarga besar yang mengendalikan para kaisar, yakni: Soga (sekitar 530-645), Fujiwara (sekitar 850-1070), Taira (1159-sekitar 1180), Minamoto (dan Kamakura bakufu) (1192–1333), Ashikaga (1336–1565), dan Tokugawa (1603–1867). Walaupun begitu, tiap shogun dari keluarga Minamoto, Ashikafa, dan Tokugawa diakui secara resmi oleh kaisar yang masih merupakan sumber kewenangan. PerselisihanTumbuhnya kelas samurai pada abad kesepuluh masehi secara bertahap mengurangi kekuatan keluarga kekaisaran, menimbulkan masa kekacauan. Para kaisar juga diketahui berselisih dengan beberapa shogun penguasa dari masa ke masa. ShogunDari tahun 1192 sampai 1867, shogun bertindak sebagai de facto penguasa Jepang, walaupun mereka dinobatkan oleh kaisar dalam upacara formalitas.[6] Shogun sendiri adalah jenderal kemiliteran yang kedudukannya diwariskan turun temurun. Wilayah kewenangan shogun disebut keshogunan yang dalam bahasa Jepangnya disebut bakufu (幕府) yang awalnya digunakan untuk merujuk rumah jenderal.[7] Restorasi MeijiPada tahun 1868, kekuasaan kembali ke tangan kaisar dan keshogunan dibubarkan. Salah satu penyebab restorasi ini adalah kenyataan bahwa Jepang sudah tertinggal jauh dengan negara-negara Barat, terlihat saat kedatangan Komodor Amerika Serikat, Matthew C. Perry, yang memaksa Jepang membuka perdagangan dengan dunia Barat. Pada masa ini pula, wanita dilarang secara resmi naik takhta sebagai maharani. Perang Dunia IIPeran kaisar sebagai negara Shinto digunakan pada masa Perang Dunia II, menciptakan pengkultusan kaisar, yang mendorong tindakan kamikaze pada pasukan Jepang. Pasca kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, pasukan sekutu menekan pemisahan agama dan negara di Jepang. Selanjutnya, dibentuk undang-undang baru yang menjabarkan peran baru kaisar dan pemerintahan. Masa kiniUndang-undang baru menyatakan pemerintahan yang baru dengan sistem parlementer. Kaisar Jepang dimaknai sebagai "lambang Negara dan pemersatu masyarakat" tanpa kewenangan politik yang nyata. KeluargaIstri kaisar
Putra mahkota
Dalam hukum pewarisan jepang setelah Restorasi Meiji, perempuan tidak diperkenankan naik takhta, sehingga tidak ada gelar untuk putri mahkota. PangeranPangeran adalah laki-laki yang silsilahnya tersambung dengan kaisar dari garis ayah.
PutriPutri adalah perempuan yang silsilahnya tersambung dengan kaisar dari garis ayah.
Seorang putri akan kehilangan gelarnya jika menikah menurut Undang-undang Rumah Tangga Istana tahun 1947, kecuali bila dia menikah dengan pangeran. Catatan kaki
Daftar pustaka
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Emperors of Japan.
Lihat pula |