Pelaku utama yang diceritakan dalam mitos biasanya adalah para dewa, manusia, dan pahlawan supranatural.[5][6][7] Sebagai kisah suci, umumnya mitos didukung oleh penguasa atau imam/pendeta yang sangat erat dengan suatu agama (religius) atau ajaran kerohanian.[5] Dalam suatu masyarakat dimana mitos itu disebarkan, biasanya suatu mitos dianggap sebagai kisah yang benar-benar terjadi pada zaman purba.[8][6][9][10] Pada kenyataannya, banyak masyarakat yang memiliki dua kategori kisah tradisional: "kisah nyata" atau mitos, dan "kisah dongeng" atau fabel.[11][12] Umumnya mitos penciptaan berlatar pada masa awal dunia, saat dunia belum berbentuk seperti sekarang ini,[5] dan menjelaskan bagaimana dunia memperoleh bentuk seperti sekarang ini[13][14] serta bagaimana tradisi, lembaga dan tabu ditetapkan.[8][14]
Suatu mitos merupakan himpunan kepercayaan yang tidak harus didukung fakta ilmiah. Pengunaan istilah tersebut, yang sering kali bermakna peyoratif,[15] bermula dari sikap meremehkan mitos dan kepercayaan agama/budaya lain sebagai kekeliruan.[16] Maka kata mitos sering digunakan untuk menyebut kepercayaan yang tidak berdasarkan fakta ilmiah, atau kisah yang tidak benar.[17] Makna buruk tersebut berawal dari pemakaian kata mythos oleh umat Kristen awal untuk menyebut mitologi klasik sebagai hal yang berbau "dongeng, fiksi, bohongan".[18] Karena pemakaian istilah yang subjektif tersebut, seseorang dapat tersinggung apabila kisah yang mereka yakini kebenarannya disebut sebagai mitos. Namun, kata tersebut memiliki makna berbeda dalam kajian ilmiah. Itu bisa bermakna "kisah yang berfungsi untuk menjabarkan wawasan fundamental dari suatu budaya",[19] atau bisa bermakna kisah yang dianggap benar-benar terjadi oleh suatu kebudayaan (bertolak belakang dengan dongeng, yang disadari sebagai kisah fiktif belaka).[20]
Istilah "mitologi" dapat mengacu kepada kajian mengenai mitos atau suatu himpunan atau koleksi berbagai mitos.[21][22] Sebagai contoh, mitologi lanskap adalah kajian mengenai pembentukan suatu bentang alam menurut mitos suatu bangsa, sementara mitologi Het adalah himpunan mitos-mitos bangsa Het. Dalam folkloristika, suatu "mitos" adalah kisah suci yang biasanya menjelaskan bagaimana dunia maupun manusia dapat terbentuk seperti sekarang ini,[23] "suatu kisah yang menguraikan pandangan fundamental dari suatu kebudayaan dengan menjelaskan aspek-aspek dunia alamiah dan menggambarkan praktik psikologis dan sosial serta pandangan ideal suatu masyarakat".[24] Banyak sarjana dalam bidang ilmu lainnya yang menggunakan istilah "mitos" dengan cara yang berbeda;[25][26][27] dalam pengertian yang lebih luas, istilah tersebut dapat mengacu kepada cerita tradisional[2][3][4] atau—dalam percakapan sehari-hari—suatu hal salah kaprah dalam masyarakat atau suatu entitas khayalan.[28]
Mitos erat kaitannya dengan legenda dan cerita rakyat. Mitos, legenda, dan cerita rakyat adalah cerita tradisional dalam jenis yang berbeda.[29] Tidak seperti mitos, cerita rakyat dapat berlatar kapan pun dan dimana pun, dan tidak harus dianggap nyata atau suci oleh masyarakat yang melestarikannya.[5] Sama halnya seperti mitos, legenda adalah kisah yang secara tradisional dianggap benar-benar terjadi, tetapi berlatar pada masa-masa yang lebih terkini, saat dunia sudah terbentuk seperti sekarang ini.[5] Legenda biasanya menceritakan manusia biasa sebagai pelaku utamanya, sementara mitos biasanya fokus kepada tokoh manusia super.[5]
Perbedaan antara mitos, legenda, dan cerita rakyat merupakan cara yang mudah dalam mengelompokkan cerita tradisonal.[30] Dalam banyak budaya, sulit untuk menarik garis lurus antara mitos dan legenda.[31][32] Daripada membagi kisah tradisional menjadi mitos, legenda, dan cerita rakyat, beberapa budaya membagi mereka menjadi dua kategori, yang satu langsung mengacu kepada cerita rakyat, yang lainnya mengkombinasikan mitos dan legenda.[33] Bahkan mitos dan cerita rakyat tidak sepenuhnya berbeda. Suatu kisah dapat dianggap nyata (dan menjadi mitos) dalam suatu masyarakat, tetapi dianggap tak nyata (dan menjadi cerita rakyat) dalam masyarakat lainnya.[34][1] Pada kenyataannya, saat suatu mitos kehilangan statusnya sebagai bagian dari suatu sistem religius, mitos sering kali memiliki sifat cerita rakyat yang lebih khas, dengan karakter dewa-dewi terdahulu yang diceritakan kembali sebagai manusia pahlawan, raksasa, dan peri.[6]
Mitos, legenda, dan cerita rakyat hanyalah sebagian kategori dari cerita tradisional. Kategori lainnya meliputi anekdot dan semacam kisah jenaka.[30] Sebaliknya, cerita tradisional adalah suatu kategori dari folklor, meliputi beberapa hal seperti sikap tubuh, busana adat, dan musik.[35]
Suatu teori menyatakan bahwa mitos adalah catatan peristiwa bersejarah yang dilebih-lebihkan.[36][37] Menurut teori ini, penutur cerita melebih-lebihkan peristiwa sejarah secara terus-menerus sampai akhirnya figur dalam sejarah tersebut memperoleh status setara dewa.[36][37] Misalnya, mungkin seseorang boleh berpendapat bahwa mitos dewa angin Aeolos berasal dari sejarah mengenai raja yang mengajarkan cara menggunakan layar dan menafsirkan arah angin kepada rakyatnya.[36]Herodotos (abad ke-5 SM) dan Prodikos mengklaim hal semacam ini.[37] Teori ini disebut "euhemerisme" menurut nama ahli mitologi terkenal, Euhemeros (sekitar 320 SM), yang berpendapat bahwa dewa-dewi Yunani berkembang dari legenda tentang manusia.[37][38]
Alegori
Beberapa teori menyatakan bahwa mitos dimulai sebagai suatu alegori. Menurut suatu teori, mitos-mitos bermunculan sebagai alegori tentang fenomena alam: Apollo melambangkan Matahari, Poseidon melambangkan lautan, dan sebagainya.[37] Menurut teori lainnya, mitos bermula sebagai alegori untuk konsep filosofis maupun spiritual: Athena melambangkan keadilan dan kebijaksanaan, Afrodit melambangkan hasrat, dan sebagainya.[37]Sanskritis abad ke-19, Max Müller mendukung teori alegoris mitos. Ia menyakini bahwa mitos bermula sebagai deskripsi alegoris mengenai keadaan alam, tetapi perlahan-lahan diinterpretasikan secara harfiah misalnya: secara puitis, laut digambarkan sebagai sesuatu yang penuh gejolak, sehingga laut diyakini sebagai dewa yang pengamuk.[39]
Dalam mitologi Yunani, malam dan siang hari dipersonifikasikan sebagai seorang dewi.
Beberapa pemikir percaya bahwa mitos merupakan hasil personifikasi kekuatan dan benda mati. Menurut pemikiran ini, orang purba memuja fenomena alam seperti api dan udara, dan perlahan-lahan menggambarkannya sebagai dewa.[40] Contohnya, menurut teori pemikiran mitopeia, orang purba cenderung memandang "sesuatu" sebagai "seseorang", bukan benda belaka;[41] maka dari itu, mereka menggambarkan kejadian alam sebagai akibat tindakan dewa tertentu, sehingga menghasilkan suatu mitos.[42]
Teori mitos-ritual
Menurut teori mitos-ritual, keberadaan mitos sangat erat dengan ritual.[43] Teori ini mengklaim bahwa mitos muncul untuk menjelaskan ritual.[44] Klaim ini pertama kali dicetuskan oleh sarjana biblikal William Robertson Smith.[45] Menurut Smith, orang-orang mulai melaksanakan suatu ritual untuk alasan tertentu yang tidak ada hubungannya dengan mitos; kemudian, setelah mereka melupakan alasan sebenarnya mengenai pelaksanaan ritual tersebut, mereka mencoba melestarikan ritual tersebut dengan menciptakan suatu mitos dan mengklaim bahwa ritual tersebut dilaksanakan untuk mengenang kejadian yang diceritakan dalam mitos.[46] Antropolog James Frazer memiliki teori yang sama. Frazer percaya bahwa manusia primitif mulai percaya pada hukum-hukum gaib; kemudian, ketika manusia mulai kehilangan keyakinannya mengenai sihir, mitos tentang dewa diciptakan dan mengklaim bahwa ritual magis kuno adalah ritual keagamaan yang dilakukan untuk menyenangkan hati para dewa.[47]
Fungsi
Mircea Eliade berpendapat bahwa salah satu fungsi penting mitos adalah untuk membangun suatu model perilaku[48][49] dan bahwa mitos dapat memberikan pengalaman religius. Dengan menceritakan atau memeragakan mitos, anggota suatu masyarakat tradisional dapat merasa lepas dari masa kini dan kembali lagi ke zaman mitis, sehingga membawa mereka dekat dengan ilahi.[9][49][50]
Lauri Honko menegaskan bahwa dalam beberapa kasus, suatu masyarakat akan menghidupkan kembali suatu mitos untuk menciptakan kembali suasana zaman mitis. Sebagai contoh, akan diperagakan kembali penyembuhan yang dilakukan dewa pada zaman purba dalam upaya penyembuhan seseorang pada masa kini.[51] Tak jauh berbeda, Roland Barthes berpendapat bahwa budaya modern mengeksplorasi pengalaman religius. Karena tugas sains bukanlah menegakkan moral manusia, suatu pengalaman religius adalah upaya untuk terhubung dengan perasaan moral pada masa lalu, yang kontras dengan dunia teknologi pada zaman sekarang.[52]
Joseph Campbell menyatakan mitos memiliki empat fungsi utama: Fungsi Mistis—menafsirkan kekaguman atas alam semesta; Fungsi Kosmologis—menjelaskan bentuk alam semesta; Fungsi Sosiologis—mendukung dan mengesahkan tata tertib sosial tertentu; dan Fungsi Pendagogis—bagaimana menjalani hidup sebagai manusia dalam keadaan apa pun.[53]
Lihat pula
Lihat entri mitos atau myth di kamus bebas Wiktionary.
^O'Flaherty 1975, hlm. 78: "I think it can be well argued as a matter of principle that, just as 'biography is about chaps', so mythology is about gods."
^Grassie, William (March 1998). "Science as Epic? Can the modern evolutionary cosmology be a mythic story for our time?". Science & Spirit. 9 (1). The word 'myth' is popularly understood to mean idle fancy, fiction, or falsehood; but there is another meaning of the word in academic discourse. A myth, in this latter sense of the word, is a story that serves to define the fundamental worldview of a culture
^Eliade, Myth and Reality, p. 1, 8-10; The Sacred and the Profane, p. 95
Bascom, William (1984), "The Forms of Folklore: Prose Narratives", dalam Alan Dundes, Sacred Narrative: Readings in the Theory of Myth, Berkeley: University of California Press, hlm. 5–29
Doty, William (2004), Myth: A Handbook, Westport: Greenwood
Dundes, Alan (1997), "Binary Opposition in Myth: The Propp/Levi-Strauss Debate in Retrospect", Western Folklore, 56, hlm. 39–50Pemeliharaan CS1: Tanggal dan tahun (link)
Dundes, Alan (1984), "Introduction", Sacred Narrative: Readings in the Theory of Myth, Berkeley: University of California Press
Dundes, Alan (1996), "Madness in Method Plus a Plea for Projective Inversion in Myth", Myth and Method, Charlottesville: University of Virginia Press
Eliade, Mircea (1963), Myth and Reality, diterjemahkan oleh Willard R. Trask, New York: Harper & Row
Frankfort, Henri (1977), The Intellectual Adventure of Ancient Man: An Essay on Speculative Thought in the Ancient Near East, Chicago: University of Chicago PressParameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
Grassie, William (1998), "Science as Epic? Can the modern evolutionary cosmology be a mythic story for our time?", Science & Spirit, 9 (1), The word 'myth' is popularly understood to mean idle fancy, fiction, or falsehood; but there is another meaning of the word in academic discourse .... Using the original Greek term mythos is perhaps a better way to distinguish this more positive and all-encompassing definition of the word.Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Honko, Lauri (1984), "The Problem of Defining Myth", dalam Alan Dundes, Sacred Narrative: Readings in the Theory of Myth, Berkeley: University of California Press, hlm. 41–52
Kirk, G.S. (1973), Myth: Its Meaning and Functions in Ancient and Other Cultures, Berkeley: Cambridge University Press
Kirk, G.S. (1984), "On Defining Myths", dalam Alan Dundes, Sacred Narrative: Readings in the Theory of Myth, Berkeley: University of California Press, hlm. 53–61
Meletinsky, Elea (2000), The Poetics of Myth, diterjemahkan oleh Guy Lanoue and Alexandre Sadetsky, New York: Routledge
O'Flaherty, Wendy (1975), Hindu Myths: A Sourcebook, London: Penguin
Pettazzoni, Raffaele (1984), "The Truth of Myth", dalam Alan Dundes, Sacred Narrative: Readings in the Theory of Myth, Berkeley, hlm. 98–109Parameter |pubisher= yang tidak diketahui mengabaikan (|penerbit= yang disarankan) (bantuan)
Segal, Robert (2004), Myth: A Very Short Introduction, Oxford: Oxford UP
Simpson, Michael (1976), "Introduction. Apollodorus", Gods and Heroes of the Greeks, diterjemahkan oleh Michael Simpson, Amherst: University of Massachusetts Press