Restorasi Meiji

Restorasi Meiji (明治維新, Meiji-ishin), dikenal juga dengan sebutan Revolusi Meiji atau Pembaruan Meiji, adalah serangkaian kejadian yang berpuncak pada pengembalian kekuasaan di Jepang kepada Kaisar pada tahun 1868. Restorasi ini menyebabkan perubahan besar-besaran pada struktur politik dan sosial Jepang, dan berlanjut hingga zaman Edo (sering juga disebut Akhir Keshogunan Tokugawa) dan awal zaman modern.

Restorasi Meiji terjadi pada1866 sampai 1869, tiga tahun yang mencakup akhir zaman Edo dan awal zaman Meiji. Restorasi ini diakibatkan oleh Perjanjian Shimoda dan Perjanjian Towsen Harris yang dilakukan oleh Komodor Matthew Perry dari Amerika Serikat.

Aliansi Sat-cho melawan keshogunan

Pembentukan aliansi antara pemimpin Domain Satsuma dan Kido Takayoshi pemimpin Domain Choshu merupakan titik awal restorasi Meiji. Keduanya mendukung Kaisar Kōmei (ayah Kaisar Meiji). Aliansi ini dicetuskan oleh Sakamoto Ryoma, dengan tujuan melawan Keshogunan Tokugawa dan mengembalikan kekuasaan kepada Kaisar. Pada 3 Februari 1867, Kaisar Meiji naik tahta setelah wafatnya Kaisar Kōmei pada 30 Januari 1867. Semasa Restorasi Meiji, feodalisme Jepang secara perlahan-lahan digantikan oleh ekonomi pasar dan menjadikan Jepang sebagai negara yang dipengaruhi negara-negara Barat hingga kini.

Berakhirnya keshogunan

Keshogunan Tokugawa secara resmi berakhir pada 9 November 1867 ketika Shogun Tokugawa ke-15, Tokugawa Yoshinobu "menyerahkan kekuasaan prerogatifnya kepada Kaisar". Sepuluh hari kemudian Yoshinobu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala negara. Peristiwa ini merupakan titik awal "restorasi" kekuasaan kaisar (Taisei Hōkan), meskipun Yoshinobu masih tetap memiliki kekuasaan yang signifikan.

Tidak lama kemudian pada Januari 1868, pecah Perang Boshin (Perang Tahun Naga) yang diawali dengan Pertempuran Toba-Fushimi. Dalam pertempuran itu, tentara Domain Choshu dan tentara Domain Satsuma mengalahkan tentara mantan keshogunan. Kekalahan tersebut memungkinkan Kaisar Meiji mencopot semua kekuasaan yang dimiliki Yoshinobu, dan restorasi secara resmi dapat dimulai. Pada 3 Januari 1869, Kaisar mengeluarkan deklarasi formal tentang pengembalian kekuasaan ke tangannya:

Kaisar Jepang mengumumkan kepada semua kepala negara dari negara-negara asing beserta tundukan mereka bahwa izin telah diberikan kepada Shogun Tokugawa Yoshinobu untuk mengembalikan kekuasaan pemerintah sesuai dengan permintaannya sendiri. Mulai saat ini kami akan melaksanakan kekuasaan tertinggi untuk urusan-urusan dalam dan luar negeri dari negara ini. Maka dari itu, semua penyebutan Taikun dalam perjanjian-perjanjian yang telah dibuat harus diganti dengan perkataan Kaisar. Para pejabat sedang ditunjuk oleh kami untuk melaksanakan urusan-urusan luar negeri. Perwakilan-perwakilan dari negara-negara penandatangan traktat hendaknya memaklumi pengumuman ini.

— 3 Januari 1869
Mutsuhito, [1]

Sejumlah petinggi keshogunan mengajak tentaranya melarikan diri ke Hokkaido, dan mencoba mendirikan negara merdeka bernama Republik Ezo. Namun tentara yang setia kepada kekaisaran mengakhiri upaya mereka dalam Pertempuran Hakodate di Hokkaido, Mei 1869. Kekalahan tentara mantan keshogunan yang dipimpin oleh Enomoto Takeaki dan Hijikata Toshizō menandai tamatnya Keshogunan Tokugawa dan pemulihan sepenuhnya kekuasaan di tangan Kaisar.

Penyebab

Kaisar Meiji Agung yang masih muda bertemu dengan perwakilan negara-negara asing pada akhir Perang Boshin, 1868-1870

Penyebab Restorasi Meiji begitu banyak. Jepang baru menyadari betapa terbelakangnya mereka dibandingkan negara-negara lainnya di dunia setelah datangnya Komodor Amerika Serikat Matthew C. Perry yang memaksa Jepang membuka pelabuhan-pelabuhan untuk kapal-kapal asing yang ingin berdagang. Komodor Perry datang ke Jepang menaiki kapal super besar yang dilengkapi persenjataan dan teknologi yang jauh lebih superior dibandingkan milik Jepang saat itu. Para pemimpin Restorasi Meiji bertindak atas nama pemulihan kekuasaan kaisar untuk memperkuat Jepang terhadap ancaman kekuatan-kekuatan kolonial waktu itu. Kata Meiji berarti kekuasaan pencerahan dan pemerintah waktu itu bertujuan menggabungkan "kemajuan Barat" dengan nilai-nilai "Timur" tradisional.[2] Para pemimpin utama, pembantu kaisar pada waktu itu di antaranya: Itō Hirobumi, Matsukata Masayoshi, Kido Takayoshi, Itagaki Taisuke, Yamagata Aritomo, Mōri Arinori, Ōkubo Toshimichi, and Yamaguchi Naoyoshi. Meskipun secara resmi kekuasaan negara berada di tangan kaisar, kekuatan politik hanya bergeser dari Keshogunan Tokugawa ke sebuah oligarki. Sebagian besar kekuasaan berada di tangan pemimpin elite dari Provinsi Satsuma (Ōkubo Toshimichi, Saigō Takamori) dan Provinsi Chōshū (Itō Hirobumi, Yamagata Aritomo, dan Kido Takayoshi). Mereka mempertahankan praktik-praktik kekuasaan kaisar yang lebih tradisional, dan menempatkan Kaisar Jepang sebagai satu-satunya otoritas spiritual negeri dan para menteri yang memerintah atas nama kaisar.

Dampak

Alegori perkelahian antara paham baru melawan paham lama. Lukisan awal zaman Meiji, sekitar tahun 1870.

Restorasi Meiji mengakselerasi industrialisasi di Jepang yang dijadikan modal untuk kebangkitan Jepang sebagai kekuatan militer pada tahun 1905 di bawah slogan "Negara Makmur, Militer Kuat" (富国強兵, fukoku kyōhei)

Pemerintah Oligarki Meiji yang bertindak atas nama kekuasaan kaisar memperkenalkan upaya-upaya mengonsolidasi kekuasaan untuk menghadapi sisa-sisa pemerintahan zaman Edo, keshogunan, daimyo, dan kelas samurai.

Pada tahun 1868, semua tanah feodal milik Keshogunan Tokugawa disita dan dialihkan di bawah "kendali kekaisaran". Tindakan ini sekaligus menempatkan mereka di bawah kekuasaan pemerintahan baru Meiji. Pada tahun 1869, daimyo Domain Tosa, Domain Hizen, Domain Satsuma, dan Domain Chōshū yang telah berjasa melawan kekuasaan keshogunan, dibujuk untuk mau "mengembalikan domain mereka kepada kaisar." Daimyo lainnya juga selanjutnya diperintahkan untuk melakukan hal yang sama. Dengan adanya penghapusan wilayah domain, maka untuk pertama kalinya tercipta pemerintahan Jepang yang terpusat dan berkuasa di semua wilayah negeri.

Pada tahun 1871, semua daimyo dan mantan daimyo dipanggil untuk menghadap kaisar untuk menerima perintah pengembalian semua domain kepada kaisar. Sekitar 300 domain (han) diubah bentuknya menjadi prefektur yang dipimpin oleh gubernur yang ditunjuk oleh negara. Pada tahun 1888, beberapa prefektur telah berhasil dilebur menjadi satu sehingga jumlah prefektur menciut menjadi 75 prefektur. Kepada mantan daimyo, pemerintah berjanji untuk menggaji mereka sebesar 1/10 dari pendapatan bekas wilayah mereka sebagai penghasilan pribadi. Selanjutnya, utang-utang mereka berikut pembayaran gaji serta tunjangan untuk samurai diambil alih oleh negara.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Dikutip dan diterjemahkan oleh Sir Ernest Satow dalam buku "A Diplomat In Japan", p.353, ISBN 978-1-933330-16-7
  2. ^ Hunt, Lynn, Thomas R. Martin, Barbara H. Rosenwein, R. Po-chia Hsia et al.. The Making of the West, Peoples and Cultures. Vol. C. 3rd ed. Boston: Bedford/ St. Martin's, 2009. 712-13.

Bacaan selanjutnya

  • Akamatsu, Paul (1972). Meiji 1868: Revolution and Counter-Revolution in Japan. New York: Harper & Row. hlm. 1247. 
  • Beasley, William G., . (1972). The Meiji Restoration. Stanford: Stanford University Press. 
  • Beasley, William G. (1995). The Rise of Modern Japan: Political, Economic and Social Change Since 1850. New York: St. Martin's Press. 
  • Craig, Albert M. (1961). Chōshū in the Meiji Restoration. Cambridge: Harvard University Press. 
  • Jansen, Marius B. (1986). Japan in Transition: From Tokugawa to Meiji. Princeton: Princeton University Press. 
  • Jansen, Marius B. (2000). The Making of Modern Japan. Cambridge: Harvard University Press. 
  • Murphey, Rhoads (1997). East Asia: A New History. New York: Addison Wesley Longman. 
  • Satow, Ernest Mason. A Diplomat in Japan. ISBN 4-925080-28-8. 
  • Wall, Rachel F. (1971). Japan's Century: An Interpretation of Japanese History since the Eighteen-fifties. London: The Historical Association. 
  • Breen, John, 'The Imperial Oath of April 1868: ritual, power and politics in Restoration Japan', Monumenta Nipponica,51,4 (1996)
  • Francisco Barberan & Rafael Domingo Osle, Codigo civil japones. Estudio preliminar, traduccion y notas (2 ed. Thomsons Aranzadi, 2006).
  • Harry D. Harootunian, Toward Restoration (Berkeley: University of California Press, 1970), "Introduction", pp 1 – 46; on Yoshida: chapter IV "The Culture of Action – Yoshida Shōin", pp 184 – 219).
  • Najita Tetsuo, The Intellectual Foundations of Modern Japanese Politics (Chicago & London: University of Chicago Press), chapter 3: "Restorationism in Late Tokugawa", pp 43 – 68.
  • H. Van Straelen, Yoshida Shōin, Forerunner of the Meiji Restoration: A Biographical Study (Leiden: E. J. Brill, 1952).
  • David M. Earl, Emperor and Nation in Japan (Seattle: University of Washington Press, 1972), on Yoshida: "Attitude toward the Emperor/Nation", pp 161 – 192. Also pp. 82 – 105.
  • Marius B Jansen, Sakamoto Ryōma and the Meiji Restoration (New York: Columbia University Press, 1994) especially chapter VIII: "Restoration", pp 312 – 346.
  • W. G. Beasley, The Meiji Restoration (Stanford, California: Stanford University Press, 1972), especially chapter VI: "Dissenting Samurai", pp 140 – 171.
  • Conrad Totman, "From Reformism to Transformism, bakufu Policy 1853–1868", in: T. Najita & V. J. Koshmann, Conflict in Modern Japanese History (New Jersay: Princeton University Press, 1988), pp. 62 – 80.
  • Jansen, Marius B.: The Meiji Restoration, in: Jansen, Marius B. (ed.): The Cambridge history of Japan, Volume 5: The nineteenth century (New York: Cambridge UP, 1989), pp. 308–366.

Pranala luar