Gempa Besar Kantō 1923
Gempa Besar Kantō (関東大地震 , Kantō dai-jishin) atau Gempa Besar Tokyo menerjang Dataran Kanto di pulau utama Jepang Honshu di Prefektur Kanagawa pada pukul 11.58.44 JST (02.58.44 UTC) pada hari Sabtu, 1 September 1923. Berbagai laporan menunjukkan durasi gempa itu antara empat hingga sepuluh menit.[9] Gempa bumi ini berkekuatan 7,9 skala besaran momen (Mw),[10] dengan fokusnya jauh di bawah Pulau Izu Ōshima di Teluk Sagami. Penyebabnya adalah pecahnya bagian dari batas konvergen di mana Lempeng Laut Filipina melakukan subduksi di bawah Lempeng Okhotsk di sepanjang garis Palung Sagami.[11] Gempa ini menimbulkan kerusakan massal pada wilayah Kanto: Tokyo, kota pelabuhan Yokohama, dan prefektur di sekitarnya: Prefektur Chiba, Prefektur Kanagawa, dan Prefektur Shizuoka. Total korban tewas mencapai 142,000 orang, kebanyakan korban tewas akibat kebakaran hebat di Yokohama dan Shizuoka, menjadikan salah satu bencana paling mematikan dalam sejarah Jepang, setelah Serangan bom atom Hiroshima dan Nagasaki, dan bencana gempa bumi paling mematikan pada abad ke-20. Sejak tahun 1960, setiap tanggal 1 September ditetapkan oleh pemerintah Jepang sebagai Hari Pencegahan Bencana Nasional (防災の日, Bōsai no hi), atau hari untuk memperingati dan mempersiapkan bencana alam besar termasuk tsunami dan angin topan. Latihan, serta acara promosi pengetahuan, dipusatkan pada tanggal tersebut serta upacara penghargaan bagi orang-orang yang berjasa. Kekuatan gempaGempa Bumi terdiri dari 3 kali goncangan yang berlangsung selama 5 menit:
TsunamiDaerah sepanjang pantai Samudera Pasifik mulai semenanjung Bōsō, Teluk Sagami, pantai timur Semenanjung Izu, Kepulauan Izu sampai Kepulauan Ito dilanda tsunami beberapa menit sesudah gempa:
Sekitar seratus orang hilang dibawa tsunami di Pantai Yui-ga-hama, Kamakura (Prefektur Kanagawa), sedangkan korban di daerah Enoshima sebanyak 50 orang. Gempa susulan
KerugianTotal korban tewas mencapai 142,000 orang dan banyak bangunan yang hancur menurut almanak Data Sains (Rika Nenpyou) terbitan tahun 2006 menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan data total korban dari Laporan Dewan Peneliti Penanggulangan Gempa Bumi (Shinsaiyobo Chosakai Hokoku) yang sering dikutip sampai tahun 2005. Penelitian mengungkap kemungkinan salah hitung pada laporan yang diterbitkan 2 tahun sesudah terjadinya gempa sehingga jumlah korban menjadi berlipat ganda. Gempa Bumi terjadi pada saat makan siang sehingga banyak terjadi kebakaran hebat akibat api dari dapur. Berdasarkan peta cuaca pada hari itu, kebakaran meluas dengan cepat akibat angin kencang yang bertiup ke berbagai daerah yang ada di wilayah Kanto disebabkan angin topan yang melanda Semenanjung Noto yang terletak di sisi Laut Jepang. Penduduk kota Yokohama yang selamat dari gempa Bumi mengungsi ke daerah pantai Teluk Yokohama tewas terbakar akibat tangki penyimpanan minyak yang meledak. Korban jiwa terbanyak di suatu tempat terjadi ketika sekitar 30.000 penduduk kota Tokyo yang mengungsi di lapangan terbuka bekas gedung penyimpanan pakaian angkatan darat bersama-sama tewas dihanguskan badai api. Kebakaran baru berhasil dipadamkan 2 hari sesudahnya pada tanggal 3 September 1923 sekitar pukul 10 pagi karena pipa distribusi air pecah dan hidran tidak dapat digunakan. Gedung Ryōunkaku di Asakusa, Tokyo yang pada saat itu merupakan bangunan pencakar langit berlantai 12 mengalami kerusakan berat sehingga nantinya harus diruntuhkan. Sebagian besar gedung-gedung pemerintah berikut markas besar polisi terbakar habis. Kandajinbo-cho yang merupakan daerah tempat berkumpulnya penerbit, toko buku, percetakan, akademi dan universitas, termasuk Perpustakaan Universitas Tokyo beserta bangunan lain yang menyimpan dokumen bernilai sejarah tinggi juga ikut terbakar. Menurut Kantor Meteorologi Tokyo, akibat panas yang ditimbulkan oleh kebakaran yang terjadi di mana-mana, sehari sesudah gempa (2 September 1923) suhu udara tercatat mencapai 47,3℃. Di bagian barat Prefektur Kanagawa rumah-rumah yang dibangun di daerah pegunungan dan daerah pantai yang berbukit-bukit terbawa tanah longsor sehingga merenggut korban jiwa 800 orang. Di kampung Nebukawa yang terletak di sebelah barat Odawara, kereta api berpenumpang lebih dari 100 orang berikut bangunan stasiun Nebukawa dan perkampungan penduduk sekaligus diseret masuk ke laut oleh tanah longsor yang berasal dari gunung. Sebanyak 3 orang kerabat dekat kaisar yang sedang berlibur di rumah peristirahatan mencari kesejukan di musim panas ikut tewas. Puteri Hiroko dari keluarga Kaninnomiya tewas di Odawara, Pangeran Moromasao (6 tahun) dari keluarga Higashikuninomiya dan Puteri Sakiko dari keluarga Yamashinanomiya tewas di Yokosuka. Akibat gempa BumiGempa Bumi terjadi sewaktu Jepang dalam keadaan tidak stabil karena Perdana Menteri Kato Tomosaburo tutup usia 8 hari sebelumnya dan jabatan perdana menteri sedang kosong. Hubungan komunikasi dan transportasi terputus akibat gempa Bumi sehingga surat kabar hanya bisa mengandalkan kabar burung. Halaman utama surat kabar dihiasi judul-judul berita yang ditulis berdasarkan kabar bohong yang beredar, mulai dari Tokyo musnah dan tenggelam, anggota kabinet Jepang semuanya tewas, Kepulauan Izu binasa karena gunung meletus, sampai tsunami yang katanya mencapai Gunung Akagi yang terletak ujung wilayah Kanto. Menteri Dalam Negeri menyatakan negara dalam keadaan darurat dan memerintahkan polisi agar mengambil segala tindakan untuk memelihara keamanan dan memulihkan ketertiban. Salah satu pesannya mengatakan kalangan minoritas yang tinggal di Jepang dikhawatirkan mengambil keuntungan dari situasi kacau. Pesan ini diangkat oleh beberapa surat kabar yang dibesar-besarkan menjadi kabar bohong penyebab kerusuhan yang memakan banyak korban jiwa di kalangan minoritas seperti orang Korea dan orang Jepang keturunan Okinawa. Kerusuhan akibat terputusnya hubungan komunikasi diharapkan tidak akan pernah terjadi lagi di Jepang, sehingga di dalam segala terbitan tentang persiapan menghadapi gempa Bumi selalu dicantumkan pentingnya membawa radio portabel setelah terjadi gempa Bumi untuk mendengarkan informasi dari sumber resmi dan tidak percaya kabar bohong. Pasca gempaPolitisi kenamaan bernama Goto Shinpei memimpin pembangunan kembali kota Tokyo jaringan jalan, jalur kereta api dan fasilitas umum yang modern. Taman-taman umum dibangun di berbagai tempat di Tokyo sebagai tempat evakuasi sewaktu terjadi bencana dan gedung fasilitas dibangun dengan standar yang lebih ketat dari bangunan swasta agar bisa dipakai sebagai tempat pengungsian. Pembangunan kembali Tokyo pasca Gempa Bumi besar Kanto belum lagi selesai ketika pecah Perang Dunia ke-2 dan Tokyo kembali dihancurkan oleh serangan udara. Pada tahun 1960 pemerintah Jepang menetapkan tanggal 1 September sebagai Hari Pencegahan Bencana untuk memperingati Gempa Bumi besar Kanto, sekaligus mengingatkan penduduk Jepang akan pentingnya persiapan menghadapi bencana apalagi bulan September dan Oktober juga merupakan musim angin topan. Pada tanggal 1 September di berbagai tempat di Jepang diadakan latihan menghadapi bencana gempa Bumi. Di Taman Yokoamicho yang terletak di distrik Sumida, Tokyo didirikan monumen berupa kuil agama Buddha yang bernama Tokyo-to Ireido untuk memperingati 30.000 orang yang tewas akibat badai api Gempa Bumi besar Kanto. Di taman yang sama juga terdapat genta besar pemberian penganut agama Buddha di Taiwan, monumen untuk memperingati penduduk Tokyo yang menjadi korban serangan udara Perang Dunia ke-2, serta monumen untuk orang Korea yang menjadi korban kerusuhan pasca Gempa Bumi besar Kanto. Lihat pula
Pranala luar
|