Insiden Mukden
Insiden Mukden pada tanggal 18 September 1931, diketahui di Jepang sebagai Insiden Manchuria, adalah insiden yang terjadi di Manchuria selatan ketika jalur kereta api yang dimiliki Jepang, di dekat Mukden (kini Shenyang) dibom oleh opsir junior Jepang.[1] Militer Jepang menuduh Tiongkok melakukan hal ini. Insiden ini merupakan peristiwa awal Perang Tiongkok-Jepang Kedua, walaupun perang skala penuh tidak akan dimulai sampai tahun 1937. Pada bahasa Tionghoa, insiden ini disebut Insiden 18 September (Bahasa Mandarin: 九·一八事变/九·一八事變 → Jiǔyībā Shìbiàn) atau Insiden Liutiaogou (Hanzi tradisional:柳条沟事变/柳條溝事變 → Liǔtiáogōu Shìbiàn), atau di Jepang sebagai Insiden Manchuria (Kyūjitai: 滿洲事變, Shinjitai: 満州事変). Latar BelakangKehadiran ekonomi dan kepentingan politik Jepang di Manchuria telah berkembang sejak akhir Perang Rusia-Jepang (1904–1905). Perjanjian Portsmouth yang mengakhiri perang telah memberi Jepang hak sewa perusahaan kereta api South Manchuria Railway yang merupakan cabang dari China Far East Railway untuk rute Changchun ke Lushun. Akan tetapi, pemerintah Jepang mengklaim bahwa hak tersebut otomatis mencakup semua hak lainnya termasuk hak istimewa yang diberikan Tiongkok kepada Rusia pada tahun 1896 dalam Perjanjian Li - Lobanov, ditambah lagi dengan Perjanjian Sewa Kwantung tahun 1898 yang mencakup hak administrasi absolut dan eksklusif dalam Zona Kereta Api Manchuria Selatan. Para penjaga kereta api dari pihak Jepang ditugaskan untuk memberikan keamanan bagi kereta api yang melintas di jalur ini, namun para penjaga ini sebenarnya adalah para tentara Jepang, dan mereka sering melakukan manuver di luar tugas mengamankan jalur kereta api ini. Ada banyak laporan tentang penggerebekan di desa-desa Tiongkok oleh para tentara Jepang yang merasa bosan dengan tugas ini, tapi semua laporan dan keluhan dari pemerintah Tiongkok diabaikan.[butuh rujukan] Sementara itu, pemerintah Tiongkok yang baru dibentuk berusaha memulihkan hak-hak bangsa Tiongkok. Mereka mulai mengklaim bahwa perjanjian antara Tiongkok dan Jepang tidak berlaku lagi. Tiongkok juga mengumumkan akan mengambil tindakan baru yaitu mengusir orang Jepang termasuk orang-orang Korea dan Taiwan yang membuka usaha, menetap di perbatasan, atau membangun rumah sendiri, tanpa ganti rugi apa pun.[2][3] Panglima perang Zhang Zuolin mencoba untuk menghargai wilayah konsesi Jepang, tetapi dia tewas setelah gerbong kereta api yang ditumpanginya dibom oleh Tentara Kwantung ketika sedang melintasi rel kereta api yang ada di bawah sebuah jembatan, peristiwa ini dikenal sebagai Insiden Huanggutun. Zhang Xueliang, putra dan penerus Zhang Zuolin, bergabung dengan Pemerintahan Nasionalis di Nanjing yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek. Keberatan resmi yang disampaikan oleh pihak Jepang tentang penindasan warga Jepang di Tiongkok ditolak oleh otoritas Tiongkok.[2][4] Konflik Sino-Soviet Juli – November 1929 tentang Jalur Kereta Api Timur Jauh Tiongkok (JKATJT) semakin meningkatkan ketegangan di Timur Laut Tiongkok yang akan menyebabkan terjadinya Insiden Mukden di kemudian hari. Kemenangan Tentara Merah Soviet atas pasukan Zhang Xueiliang tidak hanya menegaskan kembali kendali Soviet atas JKATJT di Manchuria tetapi juga mengungkapkan kelemahan militer Tiongkok yang dengan cepat diperhatikan oleh perwira Angkatan Darat Kwantung Jepang.[5] Kinerja yang diperlihatkan oleh Tentara Merah Soviet membuat para pejabat Jepang terpana. Manchuria adalah pusat kebijakan Jepang di wilayah Asia Timur. Baik Konferensi Wilayah Timur 1921 maupun 1927 menegaskan kembali komitmen Jepang untuk menjadi kekuatan paling dominan di Manchuria. Kemenangan kilat Tentara Merah pada tahun 1929 itu sangat mengguncang kebijakan Jepang dan membuka kembali masalah Manchuria. Pada 1930, Tentara Kwantung menyadari bahwa mereka akan menghadapi Tentara Merah yang semakin kuat nantinya. Waktu untuk bertindak semakin dekat dan rencana Jepang untuk menaklukkan Timur Laut Tiongkok dipercepat.[6] Di Nanjing pada bulan April 1931, diadakan sebuah konferensi kepemimpinan nasional Tiongkok antara Chiang Kai-shek dan Zhang Xueliang. Mereka setuju untuk menegaskan kedaulatan Tiongkok yang kuat di Manchuria. [7] Di sisi lain, beberapa perwira Tentara Kwantung Jepang mulai merencanakan untuk menyerbu Manchuria secara diam-diam, tetap juga perwira lain yang ingin mendukung rencana dari Kelompok yang ada di Tokyo. PeristiwaKarena yakin bahwa konflik di Manchuria adalah untuk kepentingan terbaik Jepang, dan bertindak dalam semangat konsep Jepang gekokujō[a], Kolonel Tentara Kwantung Seishirō Itagaki dan Letnan Kolonel Kanji Ishiwara secara mandiri menyusun rencana untuk mendorong Jepang segera melakukan invasi ke Manchuria dengan cara memprovokasi sebuah insiden dari pasukan Tiongkok yang ditempatkan di sana. Namun, setelah Jirō Minami dari Kementerian Perang Jepang mengirim Mayor Jenderal Yoshitsugu Tatekawa ke Manchuria dengan tujuan khusus yaitu mengatasi pembangkangan dan mengekang tingkah laku dari para Tentara Kwantung, Itagaki dan Ishiwara tahu bahwa mereka tidak bisa menunggu orang Tiongkok untuk membalas provokasi, tetapi harus segera melakukan aksi mereka sendiri.[8] Itagaki dan Ishiwara memilih untuk melakukan sabotase pada sedikit bagian dari rel kereta api yang berada di daerah dekat Danau Liutiao (柳條湖; liǔtiáohú)). Daerah itu tidak memiliki nama resmi dan tidak penting secara militer, tetapi hanya berjarak delapan ratus meter dari garnisun Tiongkok Beidaying (北大營; běidàyíng ), tempat para pasukan "Marsekal Muda" Zhang Xueliang ditempatkan. Rencana mereka adalah untuk menarik perhatian pasukan Tiongkok dengan membuat ledakan, setelah itu menyalahkan mereka karena telah menyebabkan gangguan, sehingga bisa dijadikan alasan bagi Jepang untuk melakukan invasi resmi. Selain itu, mereka bermaksud membuat sabotase tampak sedemikian meyakinkan dengan membuat seolah-olah serangan Tiongkok tersebut sangat diperhitungkan dan mengarah pada target yang penting. Sehingga diharapkan reaksi dari pihak Jepang adalah untuk melindungi jalur kereta api yang vital bagi industri dan ekonomi. Pers Jepang menyebut tempat kejadian perkara itu "Jembatan Liǔtiáo" (柳條橋; liǔtiáoqiáo), tapi sebenarnya tidak ada jembatan di sana, tempat itu hanyalah bagian kecil dari rel kereta api yang ada di atas lahan datar. Pilihan untuk menempatkan bahan peledak di tempat itu adalah untuk mencegah pembangunan kembali yang membutuhkan lahan lebih luas jika tempat tersebut nantinya benar-benar dibangun jembatan kereta api.[8] InsidenKolonel Seishirō Itagaki, Letnan Kolonel Kanji Ishiwara, Kolonel Kenji Doihara, dan Mayor Takayoshi Tanaka telah menyelesaikan rencana untuk melakukan insiden tersebut pada 31 Mei 1931.[9] Rencana itu dieksekusi oleh Letnan Satu Suemori Komoto [butuh klarifikasi] dari Unit Garnisun Independen (独立守備隊) Resimen Infanteri ke-29, ketika ia bertugas menjaga jalur Kereta Api Manchuria Selatan. Dia menempatkan bahan peledak di sekitar rel, tetapi cukup jauh sehingga tidak menyebabkan kerusakan parah. Sekitar pukul 22.20, 18 September, bahan peledak itu meledak. Namun, ledakan itu kecil dan hanya merusak satu sisi rel sepanjang 1,5 meter saja. Bahkan, sebuah kereta api dari Changchun melewati rel kereta api yang dirusak itu tanpa mengalami kesulitan dan tiba di Shenyang pada pukul (22:30).[10] Invasi ManchuriaPada pagi hari tanggal 19 September, dua buah artileri dipasang di depan sebuah klub malam Mukden dan menembaki garnisun Tiongkok yang ada di dekatnya, sebagai reaksi atas dugaan bahwa Tiongkok telah menyerang jalur kereta api. Pasukan angkatan udara kecil Zhang Xueliang dihancurkan, dan tentaranya melarikan diri dari barak Beidaying mereka yang hancur, ketika lima ratus tentara Jepang menyerang garnisun Tiongkok yang dijaga sekitar tujuh ribu personel. Pasukan Tiongkok bukan tandingan pasukan Jepang yang berpengalaman. Menjelang malam, pertempuran berakhir, dan Jepang berhasil menduduki Mukden setelah menelan korban: lima ratus nyawa di pihak Tiongkok dan hanya dua nyawa di pihak Jepang.[11] Di kota Dalian yang masuk dalam Wilayah Sewaan Kwantung, Panglima Tertinggi Jenderal Tentara Kwantung Shigeru Honjō pada awalnya terkejut bahwa rencana invasi dijalankan tanpa seizinnya,[12] tetapi Ishiwara berhasil meyakinkannya dan akhirnya ia memberikan persetujuannya setelah kejadian tersebut. Honjō memindahkan markas Tentara Kwantung ke Mukden dan memerintahkan Jenderal Senjuro Hayashi dari Tentara Jepang-Korea[b] yang ada di Korea untuk mengirimkan bala bantuan. Pada pukul 04:00 tanggal 19 September, Mukden dinyatakan aman. Zhang Xueliang secara pribadi memerintahkan orang-orangnya untuk tidak melakukan perlawanan dan menyimpan senjata mereka ketika Jepang menyerbu. Karena itu, tentara Jepang dengan leluasa bisa menduduki garnisun di kota-kota besar seperti Changchun dan Antung atau di daerah sekitarnya tanpa menemui kesulitan yang berarti. Namun, pada bulan November, Jenderal Ma Zhanshan seorang penjabat gubernur provinsi Heilongjiang memulai perlawanan dengan tentara provinsinya, diikuti oleh Jenderal Ting Chao pada bulan Januari dan Li Du dengan tentara lokal dari provinsi Jilin. Terlepas dari adanya perlawanan ini, dalam waktu lima bulan sejak Insiden Mukden, Tentara Kekaisaran Jepang telah menyerbu semua kota besar yang ada di provinsi Liaoning, Jilin, dan Heilongjiang.[8] SetelahnyaPublik Tiongkok sangat mengkritik Zhang Xueliang karena tidak berusaha melawan invasi Jepang. Sementara Jepang sudah memperlihatkan ancaman yang nyata, Partai Kuomintang malah hanya fokus untuk membasmi Partai Komunis Tiongkok. Banyak yang mengatakan bahwa Tentara Timur Laut pimpinan Zhang yang beranggotakan hampir seperempat juta tentara harusnya mampu melawan Tentara Kwantung yang hanya terdiri dari 11.000 personel. Selain itu, persenjataannya di Manchuria dianggap yang paling modern di Tiongkok saat itu, di mana ia memiliki banyak tank, sekitar 60 pesawat tempur, 4.000 senapan mesin, dan empat batalyon artileri. Kekuatan pasukan Zhang Xueliang yang tampaknya superior itu ternyata banyak kelemahannya. Pertama adalah bahwa Tentara Kwantung memiliki pasukan cadangan yang kuat dan dapat diangkut dengan kereta api dari Korea yang pada saat itu merupakan koloni Jepang yang berbatasan langsung dengan Manchuria. Kedua, lebih dari setengah pasukan Zhang ditempatkan di daerah selatan Tembok Besar yaitu di Provinsi Hebei, sementara pasukan di utara Tembok Besar tersebar di seluruh Manchuria. Karena itu, mengerahkan pasukan Zhang di utara Tembok Besar yang terpecah-pecah tidak akan efektif untuk melawan Tentara Jepang. Sebagian besar pasukan Zhang tidak terlatih, dipimpin dengan buruk, kualitas makanan yang tidak bergizi, moral mereka juga buruk dan loyalitas serta mentalitas mereka kalah jauh dibandingkan dengan Tentara Jepang. Agen rahasia Jepang telah hafal luar kepala segala teknik dan strategi berperang Zhang dan ayahnya, Zhang Zuolin, mereka berdua selalu bergantung kepada para penasihat militer Jepang sedari dulu. Jepang sangat mengenal Angkatan Darat Timur Laut, oleh karena itu mereka dapat menjalankan aksinya dengan mudah.[8] Pemerintah Tiongkok disibukkan dengan banyak masalah internal, termasuk masalah pemerintahan Guangzhou yang baru memerdekakan diri yang dipimpin oleh Hu Hanmin, pemberontakan Partai Komunis Tiongkok, dan bencana banjir mengerikan dari Sungai Yangtze yang mengakibatkan jutaan orang meninggal dan ratusan ribu orang mengungsi. Selain itu, Zhang sendiri tidak berada di Manchuria pada saat itu, tetapi berada di rumah sakit di Beijing untuk mengumpulkan dana bagi para korban banjir. Di surat kabar Tiongkok, Zhang diejek sebagai "Jenderal Non-resistensi".(Hanzi: 不抵抗將軍; Pinyin: Bù Dǐkàng Jiāngjūn) Karena keadaan ini, pemerintah pusat beralih ke komunitas internasional untuk mencari resolusi damai. Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengeluarkan protes keras kepada pemerintah Jepang dan menyerukan penghentian segera operasi militer Jepang di Manchuria, serta mengajukan banding ke Liga Bangsa-Bangsa, pada 19 September. Pada tanggal 24 Oktober, Liga Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi yang mengamanatkan penarikan pasukan Jepang, yang akan selesai pada 16 November. Namun, Jepang menolak resolusi Liga Bangsa-Bangsa dan bersikeras akan melakukan negosiasi langsung dengan pemerintah Tiongkok. Negosiasi berjalan tersendat-sendat tanpa banyak menuai hasil apapun.[8] Pada 20 November, sebuah konferensi diadakan oleh pemerintah Tiongkok, faksi Kuomintang cabang Guangzhou bersikeras bahwa Chiang Kai-shek harus mundur sebagai bentuk tanggung jawab atas bencana yang terjadi Manchuria. Pada 15 Desember, Chiang mengundurkan diri sebagai Ketua Pemerintah Nasionalis dan digantikan oleh Sun Fo, putra Sun Yat-sen sebagai Perdana Meteri. Jinzhou adalah sebuah kota di provinsi Liaoning yang berhasil direbut oleh Jepang pada awal Januari 1932. Akibatnya, Wang Jingwei menggantikan Sun Fo sebagai Perdana Menteri.[13] Pada tanggal 7 Januari 1932, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Henry L. Stimson mengeluarkan Doktrin Stimson, bahwa Amerika Serikat tidak akan mengakui perubahan wilayah yang ditegakkan dengan kekuatan militer, seperti yang dilakukan Jepang di Manchuria. Pada tanggal 14 Januari, sebuah komisi Liga Bangsa-Bangsa, yang dipimpin oleh Victor Bulwer-Lytton tiba di Shanghai untuk memeriksa situasi. Pada bulan Maret, negara boneka Manchukuo didirikan, dengan mantan kaisar Tiongkok, Puyi dipasang sebagai kepala negara.[14] Pada tanggal 2 Oktober, Laporan Lytton dipublikasikan dan menolak klaim Jepang bahwa invasi dan pendudukan Manchuria adalah tindakan pembelaan diri, meskipun tidak disebutkan bahwa Jepang sendiri yang telah melakukan pemboman di jalur kereta api. Laporan itu memastikan bahwa Manchukuo adalah produk agresi militer Jepang di Tiongkok, namun laporan itu juga mengakui bahwa Jepang memiliki kekhawatiran yang sah di Manchuria karena ikatan ekonominya ada di sana. Liga Bangsa-Bangsa menolak mengakui Manchukuo sebagai negara merdeka. Jepang mengundurkan diri dari Liga Bangsa-Bangsa pada bulan Maret 1933.[14][8] Kolonel Kenji Doihara menggunakan Insiden Mukden sebagai kampanye disinformasi, dengan mengatakan kepada Puyi, kepala negara boneka Machukuo bahwa Tiongkok di Mukden telah dengan sengaja melakukan perlawanan yang sangat lemah merupakan bukti bahwa Tiongkok tetap setia kepadanya. Intelijen Jepang juga menggunakan insiden itu untuk melanjutkan kampanye mendiskreditkan Zhang Zuolin yang terbunuh dan putranya Zhang Xueliang sebagai bukti "pemerintahan Manchuria yang salah kelola". Faktanya, perdagangan opium dan korupsi sebagian besar berhasil ditekan semasa kepemimpinan Zhang Zuolin.[15] KontroversiSilang pendapat tentang siapa sebenarnya yang menyebabkan ledakan di jalur kereta api Jepang di Mukden masih terus berlanjut. Bukti kuat menunjukkan bahwa para perwira muda Tentara Kwantung Jepang telah bersekongkol untuk menyebabkan ledakan, dengan atau tanpa perintah langsung dari Tokyo. Investigasi pasca perang mengkonfirmasi bahwa bom asli yang ditanam oleh Jepang gagal meledak, sehingga bom pengganti harus segera ditanam. Ledakan yang terjadi memungkinkan Tentara Kwantung Jepang untuk mencapai tujuan mereka yaitu memicu konflik dengan pasukan Tiongkok yang ditempatkan di Manchuria dan selanjutnya membentuk negara boneka Manchukuo. Museum Insiden 9.18 di Shenyang yang dibuka oleh pemerintah Republik Rakyat Tiongkok pada tanggal 18 September 1991, menceritakan bahwa bahan peledak ditanam oleh Jepang. Museum militer Yūshūkan, yang terletak di dalam Kuil Yasukuni di Tokyo, juga menyalahkan anggota Tentara Kwantung Jepang. Buku karya David Bergamini berjudul Konspirasi Kekaisaran Jepang (1971) memiliki kronologi terperinci tentang peristiwa di Manchuria dan Tokyo seputar kejadian Insiden Mukden. Bergamini menyimpulkan bahwa Insiden Mukden dan invasi Jepang direncanakan dan dilakukan oleh para perwira junior yang tempramental tanpa persetujuan resmi dari otoritas pemerintah Jepang adalah suatu kebohongan besar. Namun, sejarawan James Weland telah menyimpulkan bahwa komandan senior diam-diam telah mengizinkan operasi lapangan atas inisiatif mereka sendiri, kemudian mendukung hasilnya setelah kejadian.[16] Pada bulan Agustus 2006, Yomiuri Shimbun , surat kabar terlaris di Jepang, menerbitkan hasil proyek penelitian selama setahun tentang siapa yang bertanggung jawab atas "perang Shōwa ". Sehubungan dengan Insiden Mukden, surat kabar itu menyalahkan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang yang terlalu ambisius, serta politisi yang tidak berdaya untuk mengendalikan mereka atau mencegah pembangkangan mereka. [17][18] Debat juga terfokus pada bagaimana insiden itu ditangani oleh Liga Bangsa-Bangsa. A.J.P. Taylor menulis bahwa "Dalam menghadapi tantangan serius pertamanya, Liga Bangsa-Bangsa hanya bisa bersikap menyerah dan pasrah." Konferensi Angkatan Laut Washington (1921) menjamin tingkat hegemoni Jepang di Timur Jauh hanya akan sampai pada batas tertentu. Intervensi apa pun akan dianggap sebagai pelanggaran oleh pihak Amerika Serikat. Selanjutnya, Inggris berada dalam krisis karena baru saja dipaksa keluar dari standar emas. Meskipun memiliki kekuatan di Timur Jauh, Inggris tidak mampu melakukan tindakan tegas. Satu-satunya reaksi dari kekuatan-kekuatan (negara-negara Eropa) ini adalah hanya sebatas mengeluarkan "kecaman moral" saja.[19] PeringatanSetiap tahun pada pukul 10:00 pada tanggal 18 September, sirene serangan udara berbunyi selama beberapa menit di berbagai kota besar di seluruh Tiongkok dan di beberapa provinsi seperti Heilongjiang, Jilin, Liaoning, Hainan, dan lainnya.[20][21] Budaya Populer
Referensi
Catatan
Pranala luar
|