Dalam bahasa Inggris, pertempuran ini biasanya dikenal sebagai "Insiden Jembatan Marco Polo".[1] Jarang disebut sebagai "Pertempuran Jembatan Marco Polo".[2]Jembatan Marco Polo adalah jembatan granit dengan struktur bawahnya membentuk sebelas-lengkungan yang khas, pertama kali didirikan di bawah Dinasti Jin yang kemudian dipulihkan oleh Kaisar Kangxi pada tahun 1698. Nama Baratnya diperoleh karena disebutkan dalam buku Perjalanan Marco Polo, di mana Marco Polo menceritakan tentang jembatan ini.
Jembatan ini juga dikenal sebagai "Lukouchiao",[3] atau "Lugouqiao",[4] Di mana Lukou atau Lugou adalah nama tempat dan "chiao" atau "qiao" berarti "jembatan". Insiden Jembatan Lugou diambil dari nama lokal jembatan tersebut yang berasal dari nama lama Sungai Yongding[5] Di Jepang umumnya dikenal dengan nama (盧溝橋 事件, Rokōkyō Jiken), sedangkan di Tiongkok kadang disebut (盧溝橋 事變,Lúgōuqiáo Shìbiàn) dan di Korea dikenal dengan nama (노구교사건, Nogugyo Sageon). Nama yang sama digunakan atau diterjemahkan menjadi "Battle of Lugou Bridge",[6] "Lugouqiao",[7] atau "Lukouchiao".[8]
Di Korea dan Tiongkok sendiri pertempuran ini sering disebut sebagai Insiden 7 Juli[9]
Latar Belakang
Ketegangan antara Kekaisaran Jepang dan Republik Tiongkok telah meningkat sejak invasi Jepang ke Manchuria pada tahun 1931 dan terciptanya negara boneka mereka selanjutnya yaitu Manchukuo, dengan Puyi, Kaisar terakhir dinasti Qing yang terguling, sebagai kepala negaranya. Setelah invasi, pasukan Jepang memperluas kendali mereka lebih jauh lagi ke daerah Tiongkok utara, berusaha untuk mendapatkan bahan baku dan kapasitas industri. Komisi penyelidikan dari Liga Bangsa-Bangsa membuat laporan kritis atas tindakan mereka, yang kemudian menyebabkan Jepang menarik diri, keluar dari Liga Bangsa-Bangsa.[10]
Pemerintah Kuomintang (KMT) Tiongkok menolak untuk mengakui Manchukuo, tetapi setuju untuk melakukan gencatan senjata dengan Jepang pada tahun 1933. Selanjutnya, ada berbagai insiden dan bentrokan bersenjata yang mengiringi terciptanya perdamaian yang tidak mudah ini. Pentingnya Insiden Jembatan Marco Polo justru karena berbagai peristiwa yang terjadi setelahnya di mana ketegangan bukannya surut malah sebaliknya terjadi peningkatan, dengan kekuatan yang lebih besar yang dilakukan oleh kedua belah pihak dan pertempuran menyebar ke bagian lain Tiongkok. Setelah melihat kembali seluruh kejadiannya, insiden kecil ini dapat dianggap sebagai titik awal konflik yang lebih besar.[11]
Di bawah ketentuan Protokol Boxer pada 7 September 1901, Tiongkok telah memberikan hak kepada negara-negara yang memiliki kedutaan di Beijing untuk menempatkan pasukan pengawal di dua belas titik tertentu di sepanjang jalur kereta api yang menghubungkan Beijing dengan Tianjin. Hal ini untuk memastikan komunikasi terbuka antara ibu kota dan pelabuhan. Dengan perjanjian tambahan pada 15 Juli 1902, maka pasukan pengawal tersebut diizinkan untuk melakukan manuver tanpa perlu memberitahu kepada pihak otoritas negara asing lainnya yang ada di Tiongkok.[12]
Pada Juli 1937, Jepang telah menambah pasukannya di Tiongkok dari sekitar 7.000 menjadi 15.000 tentara, sebagian besar ditempatkan di sepanjang jalur kereta api. Jumlah pasukan Jepang ini termasuk semua peralatan militer yang dibawanya ukurannya mencapai beberapa kali lipat detasemen yang digunakan oleh kekuatan Eropa, dan jauh melebihi batas yang ditetapkan oleh Protokol Boxer.[12]
Pada malam 7 Juli, unit-unit tentara Jepang yang ditempatkan di Fengtai melintasi perbatasan untuk melakukan latihan militer rutin.[13] Pasukan Jepang dan Tiongkok berada di luar Benteng Wanping — kota bertembok yang berlokasi sekitar 16 km di barat daya Beijing — tembak-menembak terjadi sekitar pukul 23:00. Penyebab pasti dari insiden ini masih belum diketahui. Ketika seorang tentara Jepang, Prajurit Shimura Kikujiro belum kembali ke posnya, komandan resimen Tiongkok Ji Xingwen (Resimen ke-219, Divisi ke-37, Tentara Rute ke-29) menerima pesan dari Jepang yang meminta izin untuk memasuki Wanping mencari prajuritnya yang hilang. Pihak
Tiongkok menolak permintaan tersebut. Meskipun Prajurit Shimura telah kembali ke unitnya, pada titik ini kedua belah pihak mulai bergerak, pasukan Jepang menerjunkan pasukan bantuan untuk mengepung Wanping dan sekitarnya.[13]
Kemudian di malam hari, sebuah unit infanteri Jepang berusaha untuk menembus pertahanan Wanping yang bertembok tetapi dipukul mundur. Dua jam kemudian Jepang mengeluarkan ultimatum. Sebagai tindakan pencegahan, Qin Dechun yang menjabat sebagai komandan Tentara Rute ke-29 Tiongkok, menghubungi komandan Divisi ke-37 Tiongkok, Jenderal Feng Zhian yang kemudian memerintahkannya untuk menempatkan pasukannya dalam posisi siaga tingkat tinggi.[butuh rujukan]
Insiden
Pada pukul 02:00 pagi tanggal 8 Juli, Qin Dechun, pejabat eksekutif dan penjabat komandan Pasukan Rute ke-29 Tiongkok, mengirim Wang Lengzhai, wali kota Wanping, pergi sendirian ke kamp militer Jepang untuk melakukan negosiasi. Namun tidak membuahkan hasil, dan Jepang bersikeras agar mereka diizinkan masuk ke dalam kota bertembok Wanping untuk menyelidiki penyebab insiden tersebut.[13]
Sekitar pukul 04:00, bala bantuan dari kedua belah pihak mulai berdatangan. Tentara Tiongkok juga mengirim pasukan tambahan ke daerah itu. Sekitar satu jam kemudian Tentara Tiongkok menembaki Tentara Jepang dan menyerang mereka di Jembatan Marco Polo yang berjarak sekitar 210 meter sebelah barat-barat daya Benteng Wanping, serta di jembatan jalur kereta api modern yang berjarak sekitar 334 meter sebelah utara Jembatan Marco Polo.[13]
Pukul 04:45 Wang Lengzhai telah kembali ke Wanping, dan dalam perjalanan kembalinya tadi dia menyaksikan pasukan Jepang berkumpul di sekitar kota. Baru lima menit setelah kembalinya Wang, Tentara Tiongkok melepaskan tembakan, yang menandai dimulainya Pertempuran Beiping-Tianjin, dan dengan tambahan perluasan wilayah cakupan maka dimulai lah skala penuh dari Perang Tiongkok-Jepang Kedua pada jam 04:50 tanggal 8 Juli 1937.[13]
Kolonel Ji Xingwen memimpin pasukan pertahanan Tiongkok berjumlah sekitar 100 tentara, dengan perintah untuk mempertahankan jembatan Marco Polo dengan segala cara. Pasukan Tiongkok dapat mempertahankan jembatan ini dengan datangnya pasukan bala bantuan, tetapi mereka menderita kerugian yang luar biasa besarnya.[14] Pada titik ini, militer Jepang dan anggota-anggota Dinas Luar Negeri Jepang memulai negosiasi di Beijing dengan pemerintah Nasionalis Tiongkok.
Kesepakatan verbal dengan Jenderal Tiongkok Qin tercapai, di mana:[butuh rujukan]
Hukuman akan diberikan kepada mereka yang bertanggung jawab.
Kendali Wanping akan diserahkan ke kepolisian sipil Tiongkok Hopei dan bukan ke Resimen ke-219 Tiongkok.
Pasukan Tiongkok akan berusaha untuk lebih mengendalikan "komunis" di daerah tersebut.
Ini disepakati, meskipun Komandan Brigade Infanteri Garnisun Jepang Jenderal Masakazu Kawabe awalnya menolak gencatan senjata dan membangkang perintah atasannya, ia terus membombardir Wanping selama tiga jam berikutnya, sampai akhirnya berhenti dan memindahkan pasukannya ke timur laut.[butuh rujukan]
Di atas sungai ini ada sebuah jembatan batu yang sangat bagus, sangat bagus sekali, sehingga hanya ada sedikit sekali jembatan lain di dunia ini yang bisa menyamainya.
Meskipun gencatan senjata telah diumumkan, upaya lebih lanjut untuk mengurangi konflik tetap saja gagal, sebagian besar disebabkan oleh tindakan Komunis Tiongkok dan komandan Tentara Garnisun Tiongkok Jepang.[butuh rujukan] Karena serangan Tiongkok yang terus-menerus, komandan Brigade Infanteri Garnisun Jepang Jenderal Masakazu Kawabe memerintahkan Wanping akan dibombardir pada 9 Juli. Hari berikutnya, unit lapis baja Jepang bergabung dengan serangan itu. Resimen ke-219 Tiongkok melakukan perlawanan yang efektif,[13] dan pertempuran skala penuh dimulai di distrik Langfang, Hubei pada 25 Juli.[14] Setelah melancarkan serangan yang pahit dan berdarah di jalur Jepang pada tanggal 27 Juli, Jenderal Sung dikalahkan dan dipaksa mundur ke belakang Sungai Yongding pada hari berikutnya.
Pada tanggal 11 Juli, sesuai dengan konferensi Goso, Staf Umum Angkatan Darat Kekaisaran Jepang mengizinkan penyebaran divisi infanteri dari Tentara Korea Jepang yang terpilih, dua brigade gabungan dari Tentara Kwantung dan resimen udara yang terdiri dari 18 skuadron sebagai bala bantuan ke Tiongkok Utara. Pada 20 Juli, total kekuatan militer Jepang di daerah Beiping-Tianjin melebihi 180.000 personel.[13] Jepang memberi Sung dan pasukannya "jalan bebas" sebelum bergerak masuk untuk menenangkan perlawanan di daerah sekitar Beijing dan Tianjin. Setelah 24 hari pertempuran, Korps Ke-29 Tiongkok dipaksa mundur. Jepang menguasai Beiping dan Benteng Taku di Tianjin pada tanggal 29 dan 30 Juli, sehingga mengakhiri kampanye Beiping-Tianjin.[13] Namun, Tentara Jepang telah diberi perintah untuk tidak maju lebih jauh lagi dari Sungai Yongding. Tiba-tiba situasi berubah, menteri luar negeri pemerintah Konoe membuka negosiasi dengan pemerintah Chiang Kai-shek di Nanking dan menyatakan: "Jepang menginginkan kerja sama dengan Tiongkok, bukan tanah Tiongkok." Namun demikian, negosiasi gagal berkembang lebih jauh. Pada 9 Agustus 1937 terjadi Insiden Oyama (di mana Letnan Satu Isao Oyama (大山勇夫) dari kesatuan marinir Jepang, berusaha masuk secara ilegal ke Bandara Hongqiao (虹橋機場), tetapi ditembak mati oleh Korps Penjaga Perdamaian Tiongkok yang bermarkas di dekat lapangan terbang militer tersebut. Hingga kini tidak diketahui apakah Oyama berinisiatif sendiri atau atas perintah dari atas. Namun, Insiden Oyama meningkatkan ketegangan di Shanghai) yang meningkatkan pertempuran-pertempuran kecil menjadi perang skala penuh.[16]
Perlawanan Angkatan Darat ke-29 (dan peralatannya yang buruk) menginspirasi terciptanya Mars Pedang tahun 1937, — dengan sedikit lirik yang digubah — menjadi irama standar mars drumbenTentara Revolusioner Nasional dengan guizi atau ethnophaulisme (daftar cercaan etnis) yang populer untuk menggambarkan penjajah Jepang.[17]
Konsekuensi
Ketegangan yang meningkat dari Insiden Jembatan Marco Polo langsung mengarah ke perang skala penuh antara Kekaisaran Jepang dan Republik Tiongkok dengan terjadinya Pertempuran Beiping-Tianjin pada akhir Juli dan Pertempuran Shanghai bulan Agustus.
Pada tahun 1937, selama Pertempuran Beiping-Tianjin pemerintah Tiongkok diberitahu melalui pesan telegram oleh Jenderal Muslim Ma Bufang dari Kelompok Ma bahwa ia siap untuk melawan pasukan Jepang.[18] Segera setelah terjadi Insiden Jembatan Marco Polo, Ma Bufang mengatur divisi kavaleri di bawah pimpinan Jenderal Muslim Ma Biao untuk berangkat ke timur Tiongkok memerangi Jepang.[19] Etnis Turki Muslim Salar merupakan anggota mayoritas dari divisi kavaleri pertama yang dikirim oleh Ma Bufang.[20]
Ada perdebatan mengenai apakah insiden ini sudah direncanakan seperti insiden sebelumnya misalnya Insiden Mukden, yang berfungsi sebagai dalih agar terjadi Invasi Jepang ke Manchuria.[22] Menurut Jim Huffman gagasan ini telah "ditolak secara luas" oleh para sejarawan, karena Jepang kemungkinan akan lebih peduli terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh Soviet. Sejarawan konservatif Jepang yang kontroversial Ikuhiko Hata telah menyarankan bahwa insiden tersebut mungkin disebabkan oleh Partai Komunis Tiongkok, yang berharap akan terjadi perang gesekan antara tentara Jepang dan Kuomintang.[butuh rujukan] Namun, ia sendiri masih menganggap hal tersebut lebih kecil kemungkinannya daripada hipotesis "tembakan yang tidak disengaja", bahwa tembakan pertama dilakukan oleh seorang prajurit Tiongkok berpangkat rendah pada "saat ketakutan yang tidak direncanakan."
Dibandingkan dengan rekan-rekan tentara Jepang, Tentara Rute ke-29 sama seperti semua Tentara Revolusioner Nasional (TRN) pada umumnya, mereka tidak memiliki perlengkapan yang memadai dan kurang terlatih. Sebagian besar tentara TRN hanya dipersenjatai dengan senapan dan pedang dao yang mirip dengan parang. Selain itu, pasukan Tiongkok di daerah Lugouqiao benar-benar kalah jumlah selain juga kalah senjata, mereka hanya terdiri dari sekitar 100 orang prajurit pada saat itu.
Garnisun Angkatan Darat Tiongkok adalah pasukan gabungan yang terdiri dari infanteritank, kekuatan mekanik, artileri dan kavaleri, yang telah ditempatkan di Tiongkok sejak zaman Pemberontakan Boxer. Markas besarnya dan sebagian besar pasukannya berada di Tianjin, dengan detasemen utama terdapat di Peking untuk melindungi kedutaan Jepang.