Pemberontakan Boxer sendiri adalah pemberontakan di Tiongkok terhadap kekuasaan asing di sektor perdagangan, politik, agama, dan teknologi.[2] Pemberontakan dengan slogan "扶清灭洋" ("Dukung Qing, hancurkan Barat") ini memulai aksinya pada bulan November 1901.[2] Kegiatan ini diprakarsai oleh para petani di Tiongkok Utara yang pada mulanya adalah gerakan anti-negara asing dan anti-imperialis.[2] Pada Juni 1990, gerakan pemberontak ini melakukan aksi besar dengan menyerang kota Beijing dan membunuh 230 orang non-Tionghoa.[2] Lebih jauh lagi, kelompok ini juga menyerang banyak orang Kristen Protestan dan Katolik di provinsi Shandong dan Shanxi atas tuduhan mendominasinya pihak asing di Tiongkok .[2]
Adanya protokol ini sangat mempengaruhi kondisi politik, ekonomi, dan sosial pemerintah dan penduduk Tiongkok.[1] Di bidang politik, proses desentralisasi dari pemerintah pusat ke provinsi semakin berkembang pesat.[1] Di bidang ekonomi, denda yang dibebankan sangatlah besar sehingga memaksa pemerintah Tiongkok untuk menaikkan pajak secara besar-besaran mengingat pendapatan Dinasti Qing saat itu hanyalah 250 juta tael.[1] Di bidang sosial, adanya protokol ini membuktikan buruknya sistem pemerintahan pada masa tersebut sehingga kepercayaan masyarakat menjadi hilang.[1] Hal tersebut kemudian memicu terjadinya revolusi untuk mengembalikan kondisi damai dan memperbaiki perekonomian negara Tiongkok .[1]
Negosiasi selama Pemberontakan Boxer
Dinasti Qing sama sekali tidak dalam keadaan kalah ketika Sekutu menguasai Beijing. Sekutu bahkan harus memperlunak tuntutan yang mereka kirimkan dalam pesan ke Xi'an agar Janda Permaisuri Cixi setuju dengan mereka; misalnya, Tiongkok tidak harus menyerahkan tanah apa pun. Banyak penasihat Janda Permaisuri Cixi di Lembaga Pejabat Kekaisaran bersikeras bahwa perang harus terus dilanjutkan melawan orang asing, dengan alasan bahwa Tiongkok dapat mengalahkan mereka, hanya karena adanya orang-orang yang tidak setia dan para pengkhianat di Tiongkok yang memungkinkan Beijing dan Tianjin dikuasai oleh Sekutu, dan daerah pedalaman Tiongkok tidak bisa ditembus. Janda Permaisuri Cixi bersikap praktis dan memutuskan bahwa syarat-syaratnya cukup lunak baginya untuk disetujui tanpa bantahan dan menghentikan perang apalagi ketika dia diyakinkan tentang pemerintahannya yang tetap akan berkelanjutan.[3]
Para Penandatangan
Protokol Boxer ditandatangani pada 7 September 1901, di Kedutaan Besar Spanyol di Beijing. Para Penandatangan termasuk:[4]
Kekuatan asing
Kerajaan Spanyol, diwakili oleh Menteri Berkuasa Penuh Bernardo J. de Cólogan y Cólogan, Doyen dari Korps Diplomatik dan diplomat senior dari Perkumpulan Orang Asing di Beijing.[4]
Yang Mulia Li Hongzhang, Adipati Pangkat Pertama Su-i, Pengajar Ahli Waris, Sekretaris Besar Wen Hua Tien, Menteri Perdagangan, Pengawas Pelabuhan Utara, dan Gubernur Jenderal provinsi Chihli.
Yang Mulia Pangeran Yikuang atau yang biasa disapa Pangeran Qing, yang menjabat sebagai Perdana Menteri Pertama dalam Kabinet Kekaisaran.
Klausa
450 juta tael perak (sekitar 18.000 ton, senilai kira-kira US$333 million atau £67 juta untuk kurs saat ini) harus dibayar pemerintah Qing Tiongkok kepada aliansi delapan negara asing yang bertandatangan sebagai biaya ganti rugi yang dicicil selama 39 tahun ke depan.[5]
Tiongkok membayar ganti rugi itu dalam bentuk cicilan emas dengan suku bunga 4% hingga hutang itu diamortisasi tanggal 31 Desember 1940. Setelah 39 tahun, jumlahnya hampir mencapai (tepatnya 982.238.150) [5] atau 1.180.000.000 troy ons (37.000 ton) pada 1.2 ozt/tael.
Persentase pembagiannya adalah sebagai berikut: Rusia 28,97%, Jerman 20,02%, Perancis 15,75%, Inggris 11,25%, Jepang 7,73%, Amerika Serikat 7,32%, Italia 7,32%, Belgia 1,89%, Austria-Hungaria 0,89%, Belanda 0,17%, Spanyol 0,03%, Portugal 0,021%, Swedia dan Norwegia 0,014%.[6]
Klausa lainnya yang termasuk
Melarang impor senjata dan amunisi, serta bahan-bahan untuk memproduksi senjata atau amunisi untuk jangka waktu 2 tahun, dapat diperpanjang 2 tahun lagi apabila dianggap perlu oleh Aliansi Delapan Negara.
Kawasan Kedutaan Besar Beijing yang ditempati oleh Aliansi Delapan Negara akan dianggap sebagai daerah khusus yang diperuntukkan penggunaannya di bawah kendali eksklusif, di mana orang Tiongkok tidak berhak untuk tinggal di sana, dan merupakan daerah yang harus dipertahankan jika diserang. Tiongkok mengakui hak masing-masing negara yang tergabung dalam Aliansi Delapan Negara tersebut untuk membuat penjagaan permanen di daerah khusus tersebut guna menjaga dan mempertahankan Kedutaannya masing-masing.
Para pemberontak Boxer dan pejabat pemerintah harus dihukum karena kejahatan atau percobaan kejahatan terhadap pemerintah asing atau warga negara mereka. Banyak yang dijatuhi hukuman eksekusi, deportasi ke Xinjiang, dipenjara seumur hidup, bunuh diri, atau meninggal ketika anaknya baru lahir.
Kantor Zongli Yamen(yang bertugas mengurus kebijakan luar negeri di Tiongkok pada masa Dinasti Qing) diganti menjadi Kantor Asing, yang mempunyai peringkat di atas enam lembaga lainnya dalam pemerintahan.
Pemerintahan Qing harus melarang selamanya (di bawah penderitaan kematian) keanggotaan dalam perhimpunan anti-asing, ujian penerimaan pegawai negeri harus ditangguhkan selama 5 tahun di semua daerah jika ada orang asing yang dibantai atau menjadi korban perlakuan yang kejam, pejabat provinsi dan penduduk lokal secara pribadi harus bertanggung jawab jika terjadi insiden anti-asing lagi.
Kaisar Tiongkok akan menunjuk Na't'ung untuk menjadi Utusan Luar Biasa dan mengarahkannya untuk menyampaikan rasa penyesalan dan sikap Pemerintahnya kepada Kaisar Jepang atas pembunuhan Tuan Sugiyama.
Pemerintah Tiongkok harus mendirikan di tempat terjadinya pembunuhan Baron von Ketteler sebuah tugu peringatan dengan tulisan dalam bahasa Latin, Jerman, dan Mandarin.
Memberikan hak kepada Aliansi Delapan Negara untuk menempatkan pasukan di tempat-tempat berikut:[8]
Tradisional
Sederhana
Pinyin
Nama yang diterjemahkan dari teks awal menggunakan sistem sebelum ada metode Pinyin
Vikarisapostolik Katolik Prancis, Mgr. Alfons Bermyn, ingin pasukan asing ditempatkan di daerah pemukiman kristen di Mongolia Dalam, tetapi Gubernur menolak permintaannya. Bermyn terpaksa berbohong dan mengajukan petisi palsu kepada Enming seorang pejabat Manchu untuk mengirim pasukan ke Hetao tempat pasukan Mongol Pangeran Duan dan pasukan Muslim Jenderal Dong Fuxiang diduga mengancam umat Katolik yang ada di sana. Ternyata Bermyn menyebarkan hoax itu hanya sebagai tipuan saja.[9][10] Salah satu laporan palsu mengklaim bahwa Dong Fuxiang telah membunuh seorang misionaris Belgia di Mongolia dan akan membantai umat Katolik di Taiyuan.[11][12]
Permintaan yang ditolak oleh Tiongkok
Pemerintahan Qing tidak menyerah pada semua tuntutan asing. Gubernur Manchu, Yuxian dieksekusi, tetapi lembaga pejabat Kekaisaran menolak untuk mengeksekusi Jenderal Tiongkok Dong Fuxiang, meskipun keduanya anti-asing dan telah dituduh mendorong pembunuhan orang asing selama pemberontakan.[13] Jenderal Dong Fuxiang malahan menjalani kehidupan mewah dan berkuasa selama masa "pengasingan" di provinsi asalnya, Gansu.[14][15]
Selain menyelamatkan Dong Fuxiang, Pemerintahan Qing juga menolak untuk mengasingkan Zaiyi yang bergelar Pangeran Duan seorang pemimpin Pemberontakan Boxer ke Xinjiang, seperti yang diminta oleh orang asing. Sebaliknya, ia pindah ke Alashan, sebelah barat Ningxia, dan tinggal di kediaman pangeran Mongol setempat. Dia kemudian pindah ke Ningxia selama Revolusi Xinhai ketika kaum Muslim menguasai Ningxia, dan akhirnya pindah ke Xinjiang bersama Sheng Yun.[16] Pangeran Duan "berada di pengasingan yang tidak terlalu jauh dari Manchuria, dan ada kabar tentang keberadaannya pada tahun 1908."[17]
Pengeluaran & pengiriman uang
Pada tanggal 28 Desember 1908, Amerika Serikat mengirimkan uang $ 11.961.121,76 hasil dari ganti rugi Pemerintah Qing untuk mendukung program Beasiswa Ganti Rugi Boxer (program pendidikan mahasiswa Tiongkok di Amerika Serikat) dan pembangunan Universitas Tsinghua di Beijing,[18] berkat upaya duta besar Tiongkok Liang Cheng.[19]
Ketika Tiongkok mendeklarasikan perang terhadap Jerman dan Austria pada 1917, Tiongkok menangguhkan pembayaran cicilan ganti rugi gabungan Jerman dan Austria yang berjumlah 20,91 persen. Pada Konferensi Perdamaian Paris 1919, Beijing berhasil sepenuhnya mencabut saham Jerman dan Austria dari ganti rugi Pemberontakan Boxer.[20]
Sejarah mencatat bagian Rusia dari ganti rugi Pemberontakan Boxer adalah yang paling rumit dari semua negara yang terlibat. Pada 2 Desember 1918, kaum Bolshevik mengeluarkan dekret resmi yang menghapus bagian ganti rugi Uni Soviet. Namun, setelah Lev Karakhan tiba di Beijing pada musim gugur 1923, menjadi jelas bahwa Uni Soviet tetap berharap mempertahankan dan mengendalikan bagian ganti rugi Soviet tersebut serta mempertimbangkan cara penggunaannya. Meskipun Karakhan awalnya ragu-ragu untuk mengikuti contoh dari Amerika Serikat yang mengarahkan dana tersebut ke bidang pendidikan, ia segera bersikeras secara pribadi bahwa bagian Soviet harus digunakan untuk tujuan Pendidikan dan selama Februari 1924, ia mengajukan proposal yang menyatakan bahwa bagian Soviet dari ganti rugi Pemberontakan Boxer akan dialokasikan ke lembaga pendidikan Tiongkok.[21]
Pada 14 Maret 1924, Karakhan menyelesaikan rancangan perjanjian Sino-Soviet yang menyatakan "Pemerintah Uni Soviet setuju untuk melepaskan bagian dari ganti rugi Pemberontakan Boxer." Salinan pernyataan ini diterbitkan dalam media massa Tiongkok, dan reaksi publik yang sangat positif mendorong negara-negara lain untuk menyamakan dengan kebijakan Soviet. Pada tanggal 21 Mei 1924, Kongres AS setuju untuk mengirimkan $ 6,137,552.90 yang merupakan bagian terakhir Amerika ke Tiongkok. Sepuluh hari kemudian, ternyata Uni Soviet tidak berniat untuk memenuhi janji sebelumnya tentang pelepasan penuh. Ketika perjanjian Sino-Soviet sudah final diumumkan, perjanjian itu menetapkan bahwa bagian Soviet akan digunakan untuk mempromosikan pendidikan di Tiongkok dan bahwa pemerintah Soviet tetap memegang kendali atas bagaimana uang itu akan digunakan, paralel persis dengan pengiriman uang AS tahun 1908.[22]
Pada 3 Maret 1925, Inggris menyelesaikan pengaturan menggunakan bagiannya dari ganti rugi Pemberontakan Boxer untuk mendukung pembangunan kereta api di Tiongkok. Pada 12 April, Prancis meminta agar ganti ruginya digunakan untuk membuka kembali Bank Sino-Prancis yang sudah tidak ada. Italia menandatangani perjanjian pada 1 Oktober untuk membelanjakan bagiannya dalam pembangunan jembatan baja. Bagian Belanda digunakan untuk membayar reklamasi pelabuhan dan tanah. Belanda juga menggunakan ganti rugi Pemberontakan Boxer untuk pendirian Institut Sinologi di Universitas Leiden.[23] Dana Belgia dialokasikan untuk dibelanjakan bahan pembangunan rel kereta api di Belgia. Yang terakhir, ganti rugi Jepang ditransfer untuk mengembangkan penerbangan di Tiongkok di bawah pengawasan Jepang.[24]
Setelah sekitar 40 persen dari ganti rugi Pemberontakan Boxer dari negara-negara ini yang setelah ditambah dengan bagian dari Jerman dan Austria gabungan 20,91 persen, Amerika Serikat 7,32 persen, dan Uni Soviet 28,97 persen, pemerintah Beijing telah membayar lebih dari 98 persen dari seluruh kewajiban ganti rugi Pemberontakan Boxer. Oleh karena itu, pada tahun 1927, Beijing hampir sepenuhnya mencabut pembayaran ganti rugi Pemberontakan Boxer di luar negeri dan mengarahkan pembayaran tersebut untuk digunakan bagi keperluan dalam negeri Tiongkok.[25]
^ abCologan y Gonzalez-Massieu, Jorge (2008). "El papel de Espana en la Revolucion de los Boxers de 1900: Un capitulo olvidado en la historia de las relaciones diplomaticas". Boletín de la Real Academia de la Historia (dalam bahasa Spanish). La Academia. 205 (3): 493. OCLC423747062.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^Elleman, Bruce A. (1998). Diplomacy and deception : the secret history of Sino-Soviet diplomatic relations, 1917-1927. Armonk (N.Y.): M.E. Sharpe. hlm. 144. ISBN0765601435.