Xinjiang
Xinjiang (Hanzi: 新疆; Pinyin: xīnjiāng; Uighur: شىنجاڭ), atau nama lengkapnya Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, adalah sebuah daerah otonomi di Republik Rakyat Tiongkok. Xinjiang berbatasan dengan Daerah Otonomi Tibet di sebelah selatan dan Provinsi Qinghai serta Gansu di tenggara. Wilayah ini juga berbatasan dengan Mongolia di sebelah timur, Rusia di utara, serta Kazakhstan, Kirgizstan, Tajikistan, Afganistan dan Kashmir di barat. Xinjiang juga mencakup sebagian besar wilayah Aksai Chin — diklaim oleh India sebagai bagian dari Negara Bagian Jammu dan Kashmir. "Xinjiang" secara harfiah bermakna 'Perbatasan Baru' atau 'Daerah Baru',[8] nama yang diberikan semasa Dinasti Qing Manchu. PendudukPenduduk asli Xinjiang berasal dari ras-ras Turki yang beragama Islam, terutama suku Uighur (45,21%) dan suku Kazakh (6,74%).[9] Selain itu, di Xinjiang juga terdapat suku Han, yang merupakan transmigran dari seluruh provinsi di Tiongkok untuk mengimbangi etnis Uighur, hingga kini suku Han berjumlah sekitar 40,58% (sensus 2000).[9] Persentase suku Han di Xinjiang meningkat secara drastis dari 6% saat berdirinya Republik Rakyat Tiongkok (1949) hingga lebih dari 40% pada saat ini.[10] Gerakan kemerdekaan dan tuduhan terorismePerlawanan terhadap kekuasaan Tiongkok telah berlangsung sejak lama di Xinjiang. Saat ini, kebanyakan pemimpin perlawanan berada di pengasingan, antara lain di Turki, Jerman dan Amerika Serikat. Kebanyakan gerakan ini adalah gerakan kesukuan yang sekuler, walaupun terdapat beberapa gerakan yang berideologi Islam.[10] Sejak Peristiwa 11 September di Amerika Serikat, pemerintah Tiongkok juga mengklaim terdapat gerakan terorisme internasional di Xinjiang, yang dituduh berkaitan dengan Gerakan Taliban di Afganistan. Menurut laporan pemerintah Tiongkok pada tahun 2002, setidaknya 57 orang tewas akibat serangan teroris di Xinjiang.[11] Di sisi lain, media barat menuduh Pemerintah Tiongkok melakukan pelanggaran HAM, kejahatan ras, pelarangan kebebasan beragama dan kriminalisasi terhadap etnis Uyghur dengan beredarnya foto penyiksaan dan pemborgolan oleh aparat. Orang-orang yang tertangkap pada foto tersebut disinyalir sebagai mereka yang tertangkap basah untuk merencanakan pemberontakan terhadap pemerintah dan pelaku aksi jaringan terorisme. Tuduhan media barat dibantah oleh Juru Bicara Kemenlu RRT, Wang Wenbin saat pernyataan Amerika Serikat untuk tidak berpartisipasi pada Olimpiade Beijing 2022 dengan alasan krisis HAM Uyghur. Wang menyatakan perlakuan Tiongkok terhadap Uyghur yang dimaksud adalah tentang pemberantasan terorisme dan separatisme, bukan tentang pelanggaran HAM. Pelanggaran hak asasi manusiaPemerintah Tiongkok dilaporkan telah melakukan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Xinjiang, di antaranya pelanggaran kebebasan beragama, kebebasan berkumpul dan berpendapat, hambatan atas pendidikan, diskriminasi, serta hukuman mati terhadap tahanan politik.[8][10][12] Keberadaan sekolah Islam, masjid dan imam dikontrol secara ketat, dan para imam diharuskan "berdiri di sisi pemerintah dengan teguh dan menyampaikan pendapatnya dengan tidak samar-samar".[13] Sejak 1995 hingga 1999, pemerintah telah meruntuhkan 70 tempat ibadah serta mencabut surat izin 44 imam.[14][15] Pemerintah juga secara resmi menerapkan larangan ibadah perorangan di tempat-tempat milik negara. Pihak keamanan melakukan pencarian rutin terhadap "penerbitan ilegal" serta "bahan-bahan agama ilegal".[10] Selain itu, diskriminasi terjadi di sekolah-sekolah, di mana asrama-asrama diperiksa. Di bidang tenaga kerja bisnis dan pemerintahan, orang-orang Muslim sering dihambat dari jabatan yang tinggi.[10] Menurut Amnesty International, Xinjiang adalah satu-satunya provinsi di Tiongkok yang mengizinkan hukuman mati terhadap tahanan politik.[8] Jumlah tepat korban hukuman mati dirahasiakan oleh negara,[16] namun menurut Dogu Turkestan, jumlah korban tewas akibat hukuman mati atau penyiksaan oleh pemerintah mencapai 2.500 dari tahun 1999 — 2000. Catatan kaki
|