Kekacauan Xinhai Lhasa (Tibet: ཆུ་བྱི་དམག་འཁྲུག་; Wylie: chu byi dmag 'khrug; Hanzi: 辛亥拉萨动乱) mengacu pada pergolakan dalam tubuh militer Tiongkok di Lhasa dan wilayah Ü-Tsang di Tibet serta Pemberontakan Wuchang dan berbagai pemberontakan lainnya setelah runtuhnya Dinasti Qing. Hal ini mengakibatkan berakhirnya kekuasaan Qing di Tibet dan ditegaskannya kembali status kemerdekaan Tibet.
Latar Belakang
Pemberontakan Wuchang terjadi pada 10 Oktober 1911, sekaligus menandai dimulainya Revolusi Xinhai. Kekacauan di daerah perbatasan Tiongkok mulai menyebar.[1]:58–59 Kaum revolusioner yang dipimpin oleh Sun Yat-sen bersikeras untuk "menyingkirkan Tartar" dan menolak Manchu guna menciptakan pemerintahan baru yang sepenuhnya didasarkan pada dominasi orang Han di Tiongkok Dalam.
Tibet menegaskan kembali status independen
Pengaruh Pemberontakan Wuchang dengan cepat menyebar ke wilayah perbatasan. Tentara Qing di Tibet pada akhirnya saling bertempur satu sama lain, akibatnya pasukan Tiongkok jatuh dalam keadaan anarkis. Pada musim dingin tahun 1911, Raja Muda SichuanZhao Erfeng, dieksekusi oleh anak buahnya sendiri setelah pemberontakan dan situasinya menjadi semakin memburuk karena wilayah Xikang juga dilanda kekacauan.
Akibatnya, Dalai Lama ke-13 dapat mengusir amban dan militer Tiongkok dari Tibet, sementara Majelis Nasional Tibet menuntut warga Tiongkok lainnya "harus pergi dalam waktu tiga tahun".[2] Tentara Qing di Tibet tidak mampu melawan pasukan yang setia kepada Dalai Lama, sehingga mereka melarikan diri dan kembali ke pedalaman Tiongkok melalui India.[1]
Proklamasi Tibet pada 13 Februari 1913 dibacakan oleh Dalai Lama di Majelis Nasional, isinya antara lain memutuskan semua hubungan dengan Tiongkok, mengumumkan bahwa hubungan "pendeta dan pelindungnya" yang bersejarah antara Tibet dan Tiongkok secara resmi telah berakhir serta menegaskan kembali status Tibet sebagai negara merdeka.[2]