Standar emasStandar emas merupakan istilah yang merujuk pada sistem kebijakan moneter yang tidak menggunakan mata uang melainkan menggunakan emas murni sebagai alat pembayaran yang sah. Dalam standar emas, satuan dasar nilai mata uang ditetapkan berdasarkan jumlah dan berat emas. Standar emas dijadikan sebagai dasar perbandingan nilai tukar berbagai mata uang. Standar emas pernah diberlakukan di negara Inggris pada tahun 1821. Selain itu, standar emas pernah pula dipakai oleh Amerika Serikat pada tahun 1870-an hingga tahun 1971.[1] Sebagai sebuah sistem, standar emas memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. SejarahPada tahun 1880, standar emas telh digunakan oleh empat negara yaitu Inggris, Jerman, Jepang dan Amerika Serikat. Pemberlakuan standar emas membuat setiap nilai dari setiap jenis mata uang dalam satuan mata uang lainnya dapat ditentukan secara mudah. Standar emas mempermudah kegiatan perdagangan internasional. Pada mulanya US$ 1 dihargai dengan 23,22 grain emas murni. Perbandingan antara grain emas dan emas murni ialah 480 grain emas sama dengan 1 ons emas murni. Tiap US$ 20,67 setara dengan nilai dari 1 ons emas. Bersamaan dengan standar emas muncul pula istilah nilai pari emas. Nilai ini diartiakn sebagai nilai mata uang yang diperlukan untuk membeli satu ons emas. Saat Perang Dunia I berlangsung, standar emas tidak lagi diberlakukan. Perbandingan mata uang ditetapkan secara berbeda atas dasar emas atau mata uang lainnya. Setelah Perang Dunia I usai, beberapa usaha kembali dilakukan agar sistem keuangan dunia kembali ke standar emas. Namun sistem ini tidak berhasil dan perdagangan emas hanya dilakukan oleh bank sentral di masing-masing negara dan tidak menjadi properti pribadi.[2] Emas tidak digunakan kembali sebagai standar nilai tukar mata uang dunia sejak tahun 1934 dan setelah Perang Dunia II usai. Hal ini dikarenakan adanya Depresi Besar yang dialami oleh dunia selama perioda 1930 hingga 1931. Banyak negara yang tidak dapat mempertahankan posisi devisa melalui mekanisme perubahan harga. Selain itu, negara-negara juga mulai melakukan kendali nilai tukar terhadap mata uangnya. Hal lain yang menyebabkan standar emas tidak lagi digunakan adalam kerumitan dalam pengaturan neraca pembayaran. Negara yang memberi utang ke negara lain kesulitan untuk menagih piutang.[3] ModelStandar emas dan perakStandar emas pernah diterapkan di dua masa disertai dengan penggunaan perak. Masa pertama ialah pada masa pemerintahan Muhammad di Jazirah Arab, sedangkan masa kedua oleh Amerika Serikat pada tahun 1972. Pada masa pemerintahan Muhammad digunakan mata uang emas yang disebut dinar dan mata uang perak yang disebut dirham. Hingga masa khalifah keempat yaitu Ali bin Abi Thalib, rasio antara dinar dan dirham hanya senilai 1:10. Setelahnya, rasio dinar dan dirham meningkat hingga mencapai rasio 1:50 di berbagai kekhalifahan. Kecenderungan yang timbul ialah perilaku menyimpan dinar dan menggunakan dirham dalam perdagangan dan jual beli. Kondisi ini membuat peredaran uang dinar berkurang. Kondisi ini dikenal sebagai hukum Gresham pada abad ke-16 Masehi. Pada masa kedua yaitu di Amerika Serikat, rasio emas dan perak pada awalnya hanya 1:15. Namun harga keduanya berubah-ubah terus menerus sehingga Amerika Serikat memilih melakukan pemberhentian monetisasi perak pada tahun 1873.[4] Kelebihan dan KekuranganKelebihanStandar emas dapat dengan mudah diterima dan digunakan masyarakat internasional sebagai alat pembayaran yang sah. Selain itu, nilai standar emas cenderung lebih stabil dibandingkan logam jenis lainnya, sehingga diharapkan dapat menjaga stabilitas nilai tukar uang. Standar emas mampu membantu pembangunan ekonomi sebab akan tercipta sistem moneter yang seragam. Basis emas sebagai mata uang logam dapat dilebur kembali menjadi logam yang dapat dijual atau sebaliknya, logam emas dapat ditukar dengan uang emas.[5] KekuranganSistem moneter dapat mengalami kerusakan jika pelaku ekonomi yang menyatakan emas sebagai standar mulai berbuat curang dengan memalsukan atau mengurangi kadar emas. Cadangan emas dunia juga terbatas, sehingga tidak dapat mengantisipasi pertumbuhan ekonomi yang semakin rumit. Selain itu, biaya standar emas sangat tinggi, serta tidak dapat melayani transaksi yang nilainya kecil.[5] Referensi
|