Hegemoni
Hegemoni (bahasa Yunani: ἡγεμονία hēgemonía) pada awalnya merujuk pada dominasi (kepemimpinan) suatu negara-kota Yunani terhadap negara-kota lain dan berkembang menjadi dominasi ekstrem negara terhadap negara lain. Ahli politik Antonio Gramsci mengembangkan makna awal tersebut untuk merujuk pada dominasi suatu kelas sosial terhadap kelas sosial lain dalam masyarakat melalui hegemoni budaya.[1] Hegemoni juga merupakan suatu bentuk kekaisaran yang mengendalikan negara-negara bawahannya dengan kekuasaan (persepsi bahwa ia dapat memaksakan tujuan politiknya), dan bukannya dengan kekuatan (tindakan fisik langsung untuk memaksakan tujuan politiknya).[2] Dalam hubungan internasional, hegemon (pemimpin) menentukan politik negara bawahannya melalui imperialisme budaya, misalnya bahasa (lingua franca penguasa) dan birokrasi (sosial, ekonomi, pendidikan, pemerintahan), untuk memformalkan dominasinya. Hal ini membuat kekuasaan tidak bergantung pada seseorang, tetapi pada aturan tindakan. Akibatnya, segala pemberontakan dapat ditindas dengan polisi dan militer lokal tanpa campur tangan langsung hegemon, misalnya pada imperium Spanyol dan Britania, serta penyatuan Jerman.[3] Sekitar abad ke-8 Sebelum Masehi sampai abad ke-6 Masehi di Yunani Kuno, hegemoni ditandakan dengan kehadiran dominasi antara politik-militer negara/kota yang hegemon dengan negara/kota lainnya. Pada abad ke-19, hegemoni ditandakan dengan dominasi/kekuasaan dalam aspek sosial atau budaya. Berarti dominasi dilakukan oleh salah satu kelompok di masyarakat maupun lingkungan atau salah satu kelompok (rezim) yang memberikan pengaruh tidak lazim terhadap suatu masyarakat.[4] BentukGlobalisasi pemikiran sekular-liberalGlobalisasi atas pemikiran sekular-liberal yang berkembang di dunia Barat merupakan bagian dari pelestarian hegemoni. Dalam logika politik modern, globalisasi tersebut merupakan hal yang wajar bagi demokrasi liberal. Dalam pandangan politik ini, sekularisme dan pluralisme merupakan dua hal yang wajib ada sebagai bagian dari politik. Dalam kedua paham tersebut, agama dan ras tidak menjadi pembeda bagi manusia. Tolok ukur yang digunakan untuk membedakan manusia hanya berdasarkan bangsa dan negara.[5] ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
Pranala luar
|