SakokuSakoku (鎖国 , harfiah: negara terkunci / negara terrantai) adalah kebijakan luar negeri Jepang, yang mengatur bahwa orang asing yang tidak diizinkan memasuki Jepang maupun warga Jepang tidak diizinkan meninggalkan Jepang, dengan ancaman hukuman mati. Kebijakan tersebut ditetapkan ketika Keshogunan Tokugawa berada di bawah pimpinan Tokugawa Iemitsu, melalui sejumlah dekret dan kebijakan yang dikeluarkan pada periode 1633-1639. Kebijakan tersebut tetap berlaku sampai dengan kedatangan Komodor Matthew Perry tahun 1853 dan pembukaan Jepang. Namun, warga Jepang masih dilarang meninggalkan Jepang sehingga berlakunya Restorasi Meiji (1868). Istilah Sakoku berasal dari karya sastra Sakoku-ron (鎖国論 ), yang ditulis oleh Shitsuki Tadao pada tahun 1801. Shitsuki meciptakan kata tersebut ketika sedang menerjemahkan karya-karya Engelbert Kaempfer, pengelana Jerman abad ke-17, yang bercerita mengenai Jepang. Istilah yang paling sering digunakan saat ini untuk merujuk kebijakan ini adalah kaikin (海禁 , pembatasan laut). Di bawah kebijakan sakoku, Jepang sesungguhnya jauh dari keadaan benar-benar terisolasi. Sebaliknya, kebijakan ini adalah suatu sistem di mana peraturan-peraturan ketat diterapkan untuk perdagangan dan hubungan luar negeri oleh keshogunan, dan oleh domain-domain feodal tertentu (han) lainnya. Kebijakan ini menetapkan bahwa satu-satunya pengaruh Eropa yang diizinkan masuk adalah pabrik (kantor dagang) Belanda di Dejima, Nagasaki. Demikian pula perdagangan dengan Tiongkok juga ditangani di Nagasaki, dan perdagangan ini sangat penting bagi Jepang. Selain itu, perdagangan dengan Korea dilakukan melalui domain Tsushima (sekarang bagian dari Prefektur Nagasaki), dengan Ainu melalui domain Matsumae di Hokkaido, dan dengan Kerajaan Ryūkyū melalui domain Satsuma (pada masa kini Prefektur Kagoshima). Selain melakukan hubungan komersial langsung dengan provinsi-provinsi di perbatasan, semua bangsa-bangsa yang diizinkan berdagang tersebut mengirimkan utusan pembawa upeti secara teratur untuk pusat keshogunan di Edo. Di saat para utusan sedang menempuh perjalanan melintasi Jepang, warga Jepang pun sekilas dapat melihat kebudayaan bangsa-bangsa asing tersebut. Perdagangan di bawah kebijakan sakokuPada masa ini, Jepang melakukan perdagangan dengan lima entitas, melalui empat "gerbang". Melalui domain klan Matsumae di Hokkaidō, perdagangan dengan orang Ainu. Melalui klan Sō domain Tsushima, menjalin relasi dengan Dinasti Joseon Korea. VOC diizinkan untuk melakukan perdagangan di Nagasaki, bersama-sama dengan para pedagang Tiongkok swasta, yang juga berdagang dengan Kerajaan Ryūkyū. Ryūkyū, sebuah kerajaan semi-independen yang hampir sepanjang periode Edo dikendalikan oleh klan Shimazu domain Satsuma. Dengan demikian, perdagangan Jepang pada saat itu terbagi menjadi dua kelompok: Kelompok A perdagangan dengan Tiongkok dan Belanda, "yang hubungan relasinya di bawah yurisdiksi langsing Bakufu di Nagasaki" dan kelompok B, diwakili oleh Korea dan Kerajaan Ryūkyū, "yang berhubungan dengan Tsushima (klan Sō) dan Satsuma (klan Shimazu)".[1] Dua kelompok perdagangan yang berbeda ini pada dasarnya mencerminkan pola perdagangan masuk dan keluar. Perdagangan keluar dari Jepang ke Korea dan Kerajaan Ryūkyū, yang pada akhirnya dari kedua tempat itu dibawa ke Tiongkok. Di Kepulauan Ryūkyū dan Korea, klan-klan yang terkait membangun kota-kota perdagangan di luar wilayah teritorial Jepang—tempat perdagangan yang sebenarnya terjadi.[2] Perdagangan dengan pedagang-pedagang Tiongkok dan Belanda dilakukan di sebuah pulau bernama Dejima, yang terpisah dari Nagasaki oleh sebuah selat kecil; orang asing tidak dapat memasuki Jepang dari Dejima, dan sebaliknya orang Jepang tidak dapat memasuki Dejima, tanpa izin khusus dari pihak yang berwenang. Referensi
Bacaan lanjutan
Pranala luar |