Kapal Jung adalah sejenis kapallayar, yang banyak terdapat di perairan Asia Tenggara sampai ke pantai timur Afrika. Ada dua jenis jung yang terkenal, yaitu jung Jawa dan jung China. Ada dua jenis jung di China: Jung China utara yang dikembangkan dari perahu sungai Cina,[1]:20 dan jung China yang dikembangkan pada dinasti Song (960–1279 masehi) berdasarkan desain-desain kapal Nusantara yang mengunjungi pesisir Cina selatan sejak abad ke-3 Masehi. Mereka terus berkembang di dinasti kemudian, dan sebagian besar digunakan oleh pedagang Cina di seluruh Asia Tenggara. Jung serupa juga diadopsi oleh negara-negara Asia Timur lainnya, terutama Jepang di mana jung digunakan sebagai kapal dagang untuk berdagang barang dengan Cina dan Asia Tenggara. Mereka ditemukan di seluruh Asia Tenggara, India, dan di Cina.[2]
Istilah "jung" (Bahasa Portugis: junco; bahasa Belanda: jonk; dan bahasa Spanyol: joanga) juga digunakan pada masa kolonial untuk merujuk pada kapal berukuran besar hingga sedang dari budaya Austronesia di Asia Tenggara Maritim, dengan atau tanpa sistem layar jung.[3] Contohnya antara lain termasuk kapal jongIndonesia dan Malaysia, kapal lanongFilipina, dan kapal kora koraMaluku.[4]
Etimologi
Terdapat pandangan berbeda tentang apakah asal namanya itu dari dialek Tionghoa, atau dari kata bahasa Jawa. Kata jong, jung atau junk dapat berasal dari kata Cina chuán (船, berarti perahu atau kapal).[5][6][7] Namun, Paul Pelliot dan Waruno Mahdi menolak asal Tionghoa untuk nama itu.[8][9]:38 Yang lebih mendekati adalah "jong" (ditransliterasikan sebagai joṅ) dalam bahasa Jawa kuno yang artinya kapal.[10]:748 Catatan pertama jong dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari sebuah prasasti di Bali yang berasal dari abad ke-11 M.[11]:82 Kata ini masuk bahasa Melayu dan bahasa Tionghoa pada abad ke-15, ketika daftar catatan kata-kata China mengidentifikasikannya sebagai kata Melayu untuk kapal,[12]:60 dengan demikian secara praktis menolak asal kata Tionghoa untuk nama itu.[13]:266Undang-Undang Laut Melaka, peraturan maritim yang disusun oleh pemilik kapal Jawa di Melaka pada akhir abad ke-15,[14]:39 sering menggunakan kata jung untuk menyebut kapal pengangkut barang.[12]:60
Asal kata "junk" dalam bahasa Inggris, dapat ditelusuri ke kata Portugis "junco", yang diterjemahkan dari kata Arab j-n-k (جنك). Kata ini berasal dari fakta bahwa aksara Arab tidak dapat mewakili digraf "ng".[9]:37 Kata itu dulunya digunakan untuk menunjukkan baik kapal Jawa / Melayu (jong) dan kapal Tiongkok (chuán), meskipun keduanya merupakan kapal yang sangat berbeda. Setelah hilangnya jong pada abad ke-17, makna kata "junk" (dan kata-kata serupa lainnya dalam bahasa Eropa), yang sampai saat itu digunakan sebagai transkripsi kata "jong" dalam bahasa Jawa dan Melayu, berubah artinya menjadi hanya merujuk kapal Tiongkok saja.[9]:222[15]:204
Teknologi perkapalan China mempunyai sejarah yang lama sejak Dinasti Han (220 SM–200 M), tetapi pada saat ini masih berupa kapal-kapal pengarung sungai, bukan pengarung samudra.[1]:20 Untuk mengarungi samudra, orang China pada waktu itu justru lebih suka menumpang kapal-kapal negeri K'un-lun, yang merujuk pada Sumatra atau Jawa.[16]:27, 29 Orang-orang Nusantara biasanya menyebut kapal China yang besar sebagai "wangkang", sedangkan yang kecil sebagai "top".[17]:193 Ada juga sebutan dalam bahasa Melayu "cunea", "cunia", dan "cunya" yang berasal dari dialek Amoy China 船仔 (tsûn-á), yang merujuk pada kapal China sepanjang 10–20 m.[18][19]
Kata "djong" sendiri adalah penulisan Belanda untuk jong, karena huruf j ditulis sebagai "dj",[20]:71 sedangkan pada penulisan di Indonesia digunakan kata jong.[21][22]:286-287
Jung China
Sejarah
Abad ke-2 sampai ke-6 (dinasti Han sampai zaman era dinasti utara-selatan)
Perkapalan laut China tidak ada sampai akhir dinasti Song,[23]:7 pada masa sebelum itu kapal mereka adalah kapal sungai.[24]:20 Namun, kapal dagang besar Austronesia yang berlabuh di pelabuhan Tiongkok dengan empat layar dicatat oleh para sarjana sejak abad ke-3.[25]:275 Mereka disebut kunlun bo atau kunlun po (崑崙舶, arti: "kapal orang Kunlun"). Mereka dinaiki oleh peziarah Buddha Tiongkok untuk perjalanan ke India dan Sri Lanka.[26]:32–33[27]:34-36
Buku abad ke-3 berjudul "Hal-Hal Aneh dari Selatan" (南州異物志) oleh Wan Chen (萬震) menggambarkan salah satu kapal Nusantara ini mampu membawa 600–700 orang bersama dengan lebih dari 10.000 hu (斛) kargo (menurut berbagai interpretasi, berarti 250–1000 ton[25]:275—600 ton bobot mati menurut Manguin).[13]:262 Kapal yang besar lebih dari 50 meter panjangnya dan tingginya di atas air 5,2–7,8 meter. Bila dilihat dari atas kapal-kapal itu serupa galeri-galeri yang diatapi.[28]:347 Dia menjelaskan desain layar kapal sebagai berikut:
Orang-orang yang berada di luar penghalang, sesuai dengan ukuran kapalnya, terkadang memasang (sampai sebanyak) empat layar yang mereka bawa secara berurutan dari haluan ke buritan. (...) Keempat layar itu tidak menghadap ke depan secara langsung, tetapi diatur secara miring, dan diatur sedemikian rupa sehingga semuanya dapat diperbaiki ke arah yang sama, untuk menerima angin dan menumpahkannya. Layar-layar yang berada di belakang angin paling banyak menerima tekanan angin, melemparkannya dari satu ke yang lain, sehingga mereka semua mendapat keuntungan dari kekuatannya. Jika sedang badai, (para pelaut) mengurangi atau memperbesar permukaan layar sesuai dengan kondisi. Layar miring ini, yang memungkinkan layar untuk menerima angin dari satu dan lainnya, menghindarkan kecemasan yang terjadi ketika memiliki tiang tinggi. Dengan demikian kapal-kapal ini berlayar tanpa menghindari angin kencang dan ombak besar, dengan itu mereka dapat mencapai kecepatan tinggi.
Sebuah buku dari tahun 260 masehi yang dibuat K'ang T'ai (康泰), yang dikutip dalam Taiping Yulan (982 M) menjelaskan kapal berlayar tujuh yang disebut po atau ta po (kapal besar atau jung besar) yang dapat melakukan perjalanan sejauh Suriah (大秦—Ta-chin, Suriah Romawi). Kapal-kapal ini digunakan oleh pedagang India-Skithia (月支—Yuezhi) untuk mengangkut kuda. Dia juga membuat rujukan untuk perdagangan muson antara pulau-pulau (atau kepulauan), yang memakan waktu satu bulan dan beberapa hari dalam sebuah po besar.[28]:347[30]:602[31]:406
Abad ke-7–abad ke-10 (dinasti Sui hingga kebangkitan dinasti Song)
Pada tahun 683 M, istana Tang mengirim utusan ke Sriwijaya, yang tampaknya dilakukan menggunakan kapal asing.[32]:22 Wang Gungwu menyatakan bahwa tidak ada catatan dari zaman Dinasti Tang yang menyebutkan jung Cina digunakan untuk berdagang dengan negara-negara selatan (Nanhai).[33]:107 Wang juga mencatat bahwa kapal yang digunakan oleh peziarah dan pengembara Tiongkok adalah kapal K'un-lun atau kapal India.[33]:73, 103 Kapal Cina dan Korea berlayar ke Kyushu untuk perdagangan pribadi dengan Jepang pada abad ke-9.[32]:21
Kapal jung Cina didasarkan pada kapal Nusantara berpapan banyak dan berlunas (dikenal sebagai po oleh orang Cina, sebenarnya dari kata bahasa Jawa kuno "parahu",[10]:1280 kata bahasa Jawa "prau", atau kata Melayu "perahu"—dulunya berarti kapal besar).[34]:613[35]:193[36]:21 Kapal jung Cina menunjukkan ciri-ciri kapal Austronesia: Lambung berbentuk V dan berujung ganda (baik haluan dan buritan sama-sama lancip) dengan lunas, dan menggunakan kayu asal daerah tropis. Ini berbeda dengan kapal jung Cina bagian utara, yang dikembangkan dari perahu-perahu sungai berlambung datar.[1]:20-21 Kapal-kapal Cina utara memiliki dasar lambung yang rata, tidak memiliki lunas, tanpa rangka (hanya sekat kedap air), buritan dan haluan berbentuk kotak/persegi, dibuat dari kayu pinus atau cemara, dan papannya diikat dengan paku besi atau penjepit.[13]:613
Tidak diketahui kapan orang Tionghoa mulai mengadopsi teknik pembuatan kapal Asia Tenggara (Austronesia). Mereka mungkin telah dimulai sejak abad ke-8, tetapi perkembangannya bertahap dan kapal jung Cina pengarung laut tidak muncul secara tiba-tiba.[25]:276[37]:200[38]:83 Kata "po" bertahan dalam bahasa Cina lama setelah itu, merujuk pada kapal jung besar yang berlayar di lautan.[25]:274
Dinasti perdagangan Song mengembangkan jung pertama berdasarkan pada kapal-kapal Asia Tenggara. Pada era ini mereka juga telah mengadopsi layar jung Austronesia. Kapal-kapal dinasti Song, baik niaga maupun militer, menjadi tulang punggung angkatan laut dinasti Yuan berikutnya. Khususnya pada invasi Mongol ke Jepang (1274–84), serta invasi Mongol ke Jawa (keduanya gagal), pada dasarnya bergantung pada kemampuan angkatan laut Song yang baru saja didapatkan mereka. Worcester memperkirakan bahwa jung dinasti Yuan yang besar berukuran lebar 10,97 m (36 kaki) dan lebih dari 30,48 m (100 kaki) panjangnya. Secara umum mereka tidak memiliki lunas, linggi depan, atau linggi belakang. Mereka memang memiliki papan tengah, dan sekat kedap air untuk memperkuat lambung, yang menambah beratnya. Penggalian arkeologis lebih lanjut menunjukkan bahwa jenis kapal ini umum pada abad ke-13.[39]:22 Dengan menggunakan perbandingan antara jumlah tentara dan kapal, Nugroho menyimpulkan bahwa setiap kapal dapat membawa kapasitas maksimum 30 atau 31 orang,[22]:128 sementara menggunakan data yang disajikan oleh John Man akan menghasilkan kapasitas 29–44 orang per kapal.[40]:306 David Bade memperkirakan kapasitas 20 sampai 50 orang per kapal untuk kapal yang digunakan dalam ekspedisi ke Jawa.[41]:46
Abad ke-14 (dinasti Yuan)
Dimensi luar biasa dari kapal-kapal Cina pada abad pertengahan dijelaskan dalam sumber-sumber Cina, dan dikonfirmasikan oleh para pelancong Barat ke timur, seperti Marco Polo, Ibnu Battuta dan Niccolò da Conti. Menurut Ibnu Battuta, yang mengunjungi Cina pada tahun 1347:
…Kami berhenti di pelabuhan Calicut, di mana pada saat itu ada tiga belas kapal Tiongkok, dan turun. Di Laut Cina orang bepergian hanya dilakukan dengan kapal Tiongkok, jadi kami akan menjelaskan bentuknya. Kapal Tiongkok terdiri dari tiga jenis; kapal-kapal besar disebut chunk (jung), yang berukuran sedang disebut zaw (dhow) dan yang kecil kakam. Kapal-kapal besar memiliki dari dua belas sampai tiga layar, yang terbuat dari batang bambu dianyam menjadi tikar. Mereka tidak pernah diturunkan, tetapi diputar sesuai dengan arah angin; saat berlabuh mereka dibiarkan mengambang di angin.
Sebuah kapal membawa pelengkap seribu orang, enam ratus di antaranya adalah pelaut dan empat ratus prajurit, termasuk pemanah, pria berperisai dan busur silang, yang melempar nafta. Tiga kapal yang lebih kecil, "setengah", "sepertiga" dan "seperempat", menemani setiap kapal besar. Kapal-kapal ini dibangun di kota-kota Zaytun (atau Zaitun; sekarang Quanzhou; 刺桐) dan Sin-Kalan. Kapal itu memiliki empat geladak dan berisi kamar, kabin, dan salon untuk pedagang; sebuah kabin memiliki kamar dan kamar kecil, dan dapat dikunci oleh penghuninya.
Ini adalah cara mereka dibuat; dua dinding sejajar dari kayu sangat tebal (papan) dinaikkan dan melintasi ruang di antara mereka ditempatkan papan yang sangat tebal (sekat) diamankan secara longitudinal dan transversal dengan menggunakan paku besar, masing-masing tiga elo panjangnya. Ketika dinding-dinding selesai dibangun, dek bawah dipasang dan kapal diluncurkan sebelum pekerjaan atas selesai.
Namun, jung perdagangan Tiongkok yang biasa mungkin memiliki panjang sekitar 20–30 meter (65,6–98,4 kaki) sebelum tahun 1500, dengan panjang 30 meter (98,4 kaki) baru menjadi umum setelah tahun 1500 M. Ukuran besar bisa menjadi kerugian bagi pelabuhan dangkal di laut selatan, dan keberadaan banyak terumbu karang memperburuk hal ini.[42]:128-129
Jung terbesar yang pernah dibangun kemungkinan adalah milik Laksamana Cheng Ho/Zheng He, untuk ekspedisinya di Samudra Hindia (1405 hingga 1433). Meskipun ini diperdebatkan karena tidak ada catatan sezamannya tentang ukuran kapal Zheng He yang diketahui. Sebaliknya dimensi didasarkan pada novel Sanbao Taijian Xia Xiyang Ji Tongsu Yanyi (Cerita Roman Populer Catatan Kasim Sanbao ke Barat, terbit tahun 1597), versi romantis dari perjalanan yang ditulis oleh Luo Maodeng [zh] hampir dua abad setelahnya.[43] Novel Maodeng menggambarkan kapal-kapal Cheng Ho sebagai berikut:[44]:6[45]
Kapal harta karun (宝船, Bǎo Chuán) dengan 9 tiang, 44.4 kali 18 zhang, sekitar 127 meter (417 kaki) panjangnya dan 52 meter (171 kaki) lebarnya.
Kapal kuda (馬船, Mǎ Chuán), dengan 8 tiang, membawa kuda, barang upeti dan bahan perbaikan untuk armada, 37 kali 15 zhang, sekitar 103 meter (338 kaki) panjangnya dan 42 meter (138 kaki) lebarnya.
Kapal pasokan (粮船, Liáng Chuán), dengan 7 tiang, berisi makanan pokok bagi para kru, 28 kali 12 zhang, sekitar 78 meter (256 kaki) panjangnya dan 35 meter (115 kaki) lebarnya.
Kapal pengangkut (坐船, Zuò Chuán), dengan 6 tiang, 24 kali 9.4 zhang, sekitar 67 meter (220 kaki) panjangnya dan 25 meter (82 kaki) lebarnya.
Kapal perang (战船, Zhàn Chuán), dengan 5 tiang, 18 kali 6.8 zhang, sekitar 50 meter (160 kaki) panjangnya.
Beberapa penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa panjang sebenarnya dari kapal-kapal harta karun terbesar mungkin antara 390–408 kaki (119–124 m) panjang dan lebar 160–166 kaki (49–51 m).[46] Guan Jincheng (1947) mengusulkan ukuran yang jauh lebih sederhana yakni panjang 20 zhang dengan lebar 2,4 zhang (204 kaki dengan lebar 25,5 kaki atau 62,2 m dengan lebar 7,8 m)[47] sementara Xin Yuan'ou (2002) menempatkan mereka sepanjang 61–76 m (200–250 kaki).[48] Zhao Zhigang mengklaim bahwa dia telah memecahkan perdebatan tentang perbedaan ukurannya, dan menyatakan bahwa kapal terbesar Zheng He adalah 70 m panjangnya.[49]
Jika dibandingkan dengan catatan Ming lainnya, Cina tampaknya telah membesar-besarkan dimensi mereka. Kapal East Indiaman dan galleon Eropa dikatakan berukuran 30, 40, 50, dan 60 zhang (90, 120, 150, dan 180 m). Ini tidak masuk akal, baru pada pertengahan hingga akhir abad ke-19 panjang kapal kayu Barat terbesar mulai melebihi 100 meter, itupun dilakukan dengan menggunakan alat-alat industri modern dan bagian-bagian besi.[50]:56-57[51]
Dari pertengahan 15 hingga awal abad ke-16, semua perdagangan maritim Tiongkok dilarang di bawah Dinasti Ming. Pengetahuan perkapalan dan pembangunan kapal yang diperoleh selama dinasti Song dan Yuan secara bertahap menurun selama periode ini.[52]
Penangkapan Taiwan
Pada tahun 1661, armada laut yang terdiri dari 400 jung dan 25.000 pria yang dipimpin oleh loyalis Ming, Zheng Chenggong (Cheng Ch'eng-kung di Wade-Giles, yang dikenal di barat sebagai Koxinga), tiba di Taiwan untuk mengusir Belanda dari Zeelandia. Setelah pengepungan sembilan bulan, Cheng merebut benteng Belanda Fort Zeelandia. Perjanjian damai antara Koxinga dan Pemerintah Belanda ditandatangani di Castle Zeelandia pada 1 Februari 1662, dan Taiwan menjadi markas Koxinga untuk Kerajaan Tungning.
Deskripsi fisik jong Jawa berbeda dengan jung China. Mereka terbuat dari kayu yang sangat tebal, dan ketika kapal menjadi tua, mereka diperbaiki dengan papan baru, dengan empat papan penutup, ditumpuk berlapis. Tali dan layar dibuat dengan anyaman rotan.[53][54]:191-192 Kapal jung Jawa dibuat menggunakan kayu jati pada saat laporan ini (1515), pada waktu itu jung China masih menggunakan kayu lunak sebagai bahan utamanya.[55]:145 Lambung kapal Jawa dibentuk dengan menggabungkan papan ke lunas dan kemudian ke satu sama lain dengan pasak dan paku kayu, tanpa menggunakan baut atau paku besi. Rangka akan dibangun belakangan (konstruksi "kulit terlebih dahulu"). Papannya dilubangi oleh bor tangan dan dimasukkan dengan pasak, yang tetap di dalam papan-papan itu, tidak terlihat dari luar.[25]:268[34]:612[56]:138 Kapal itu juga sama-sama lancip pada kedua ujungnya, dan membawa dua kemudi yang mirip dayung dan menggunakan layar tanja, tetapi ia juga menggunakan layar jung,[57]:37 jenis layar yang berasal dari Indonesia.[58]:191-192 Ini sangat berbeda dari kapal Cina, yang lambungnya diikat oleh tali dan paku besi ke rangka dan ke sekat yang membagi ruang kargo. Kapal Cina memiliki kemudi tunggal di buritan, dan (kecuali di Fujian dan Guangdong) mereka memiliki bagian bawah yang rata tanpa lunas.[12]:58 Kerajaan Majapahit menggunakan versi yang sangat besar dari kapal-kapal ini, dibangun di utara Jawa, untuk mengangkut pasukan melintasi laut.[42]:115
Pertemuan dengan jong raksasa dicatat oleh penjelajah Barat. Giovanni da Empoli (pedagang Florentine) mengatakan bahwa di tanah Jawa, jung tidak berbeda kekuatannya dibanding benteng, karena ia memiliki tiga dan empat lapis papan, satu di atas yang lain, yang tidak dapat dirusak dengan artileri. Mereka berlayar bersama dengan wanita, anak-anak, dan keluarga mereka, dan semua orang menjaga kamarnya sendiri.[59]:58 Portugis mencatat setidaknya dua pertemuan dengan jong besar, satu ditemui di lepas pantai Pacem (Kesultanan Samudera Pasai) dan yang lainnya dimiliki oleh Pati Unus, yang menyerang Malaka Portugis pada 1513.[60]:62–64[61]:216–219 Karakteristik kedua kapal itu serupa, keduanya lebih besar dari kapal Portugis, dibangun dengan banyak papan, tahan terhadap tembakan meriam, dan memiliki dua kemudi mirip dayung di samping kapal.[62]:70–71 Setidaknya, jong Pati Unus dilengkapi dengan tiga lapis selubung (sheating) yang menurut orang Portugis lebih dari satu cruzado (koin)[Catatan 1] masing-masing.[55]:151-152 Orang China melarang kapal-kapal asing memasuki Guangzhou, karena khawatir kapal-kapal jung Jawa atau Melayu akan menyerang dan merebut kota itu, karena dikatakan bahwa salah satu dari jung ini akan mengalahkan dua puluh kapal jung Cina.[55]:122-123
Lokasi produksi utama jong terutama di 2 tempat di sekitar Jawa. Tempat itu adalah di pantai utara Jawa, di sekitar Cirebon dan Rembang–Demak (di selat Muria yang memisahkan gunung Muria dengan pulau Jawa), dan juga di pesisir Kalimantan, terutama di Banjarmasin dan pulau-pulau sekitarnya; dibuat oleh orang Jawa. Tempat ini sama-sama memiliki hutan jati, tetapi galangan kapal di Kalimantan tetap mendatangkan kayu jati dari Jawa, sedangkan Kalimantan sendiri menjadi pemasok kayu ulin.[20]:132[25]:272[63]:377 Orang-orang Mon di Pegu (sekarang Bago) juga memproduksi jong dengan menggunakan kayu jati Burma.[14]:42, 282
Meskipun pada abad ke-16 orang Melayu di Malaka memiliki jong, jong-jong itu tidak dibangun oleh orang Melayu atau oleh Kesultanan Malaka. Malaka hanya memproduksi kapal kecil, bukan kapal besar. Industri pembuatan kapal besar tidak ada di Malaka — industri mereka tidak mampu memproduksi kapal laut dalam; hanya perahu kecil, ringan, dan dapat berlayar cepat. Orang-orang Malaka membeli kapal besar (jong) dari daerah lain di Asia Tenggara, yakni dari Jawa dan Pegu, mereka tidak memproduksinya.[64]:250[65]:39[66]:124[67]
Catatan
^Sejenis uang Portugis berdiameter 3,8 cm. Lihat Liebner, Horst H. (2016). Beberapa Catatan Akan Sejarah Pembuatan Perahu dan Pelayaran Nusantara. Prosiding Konferensi Nasional Sejarah X Jilid II Subtema II. Jakarta, 7-10 November 2016. 1-83. Halaman 45.
^Crossley, Pamela Kyle, Daniel R. Headrick, Steven W. Hirsch, Lyman L. Johnson, and David Northrup. "Song Dynasty." The Earth and Its Peoples. By Richard W. Bulliet. 4th ed. Boston: Houghton Mifflin, 2008. 279–80. Print.
^Julia JonesThe Salt-stained book, Golden Duck, 2011, p127
^Pelliot, P. (1933). Les grands voyages maritimes chinois au début du XVe siècle. T'oung Pao,30(3/5), second series, 237-452. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/4527050
^ abcMahdi, Waruno (2007). Malay Words and Malay Things: Lexical Souvenirs from an Exotic Archipelago in German Publications Before 1700. Otto Harrassowitz Verlag. ISBN9783447054928.
^ abcReid, Anthony (2000). Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia. Silkworm Books. ISBN9747551063.
^ abcdManguin, Pierre-Yves (1993). Trading Ships of the South China Sea. Journal of the Economic and Social History of the Orient. 253-280.
^ abReid, Anthony (1993). Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680. Volume Two: Expansion and Crisis. New Haven dan London: Yale University Press.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^'The Vanishing Jong: Insular Southeast Asian Fleets in Trade and War (Fifteenth to Seventeenth Centuries)', in Anthony Reid (ed.), Southeast Asia in the Early Modern Era (Ithaca: Cornell University Press), 197-213.
^Dick-Read, Robert (Juli 2006). "Indonesia and Africa: questioning the origins of some of Africa's most famous icons". The Journal for Transdisciplinary Research in Southern Africa. 2: 23–45.
^Pramono, Djoko (2005). Budaya bahari. Gramedia Pustaka Utama. hlm. 112. ISBN9789792213515.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Jones, Russel (2007). Loan-Words in Indonesian and Malay. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 51.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^L. Pham, Charlotte Minh-Hà (2012). Asian Shipbuilding Technology. Bangkok: UNESCO Bangkok Asia and Pacific Regional Bureau for Education. ISBN978-92-9223-413-3.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abcdefManguin, Pierre-Yves (September 1980). "The Southeast Asian Ship: An Historical Approach". Journal of Southeast Asian Studies. 11 (2): 266–276. doi:10.1017/S002246340000446X. JSTOR20070359.
^Dick-Read, Robert (2005). The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times. Thurlton.
^ abChristie, Anthony (1957). "An Obscure Passage from the "Periplus: ΚΟΛΑΝΔΙΟϕΩΝΤΑ ΤΑ ΜΕΓΙΣΤΑ"". Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London. 19: 345–353 – via JSTOR.
^Temple, Robert (2007). The Genius of China: 3000 Years of Science, Discovery Invention. London: Andre Deutsch.
^Beaujard, Philippe, ed. (2019). The Worlds of the Indian Ocean: A Global History. Volume 1, From the Fourth Millennium BCE to the Sixth Century CE. Cambridge University Press. ISBN978-1-108-42456-1.
^ abFlecker, Michael (August 2015). "Early Voyaging in the South China Sea: Implications on Territorial Claims". Nalanda-Sriwijaya Center Working Paper Series. 19: 1–53.
^ abGungwu, Wang (1958). "The Nanhai Trade: the early History of the Chinese Trade in the South China Sea". Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society XXXI/2. 182 (3): 3–135.
^ abManguin, Pierre-Yves. 2012. “Asian ship-building traditions in the Indian Ocean at the dawn of European expansion”, in: Om Prakash and D. P. Chattopadhyaya (eds), History of science, philosophy, and culture in Indian Civilization, Volume III, part 7: The trading world of the Indian Ocean, 1500-1800, pp. 597-629. Delhi, Chennai, Chandigarh: Pearson.
^Rafiek, M. (Desember 2011). "Kapal dan Perahu dalam Hikayat Raja Banjar: Kajian Semantik". Borneo Research Journal. 5: 187–200.
^Sunyoto, Agus (2017). Atlas Walisongo. South Tangerang: Pustaka IIMaN.
^Manguin, Pierre-Yves (1984), "Relationship and Cross-Influence between South-East Asian and Chinese Shipbuilding Traditions", Final Report, SPAFA Workshop on Shipping and Trade Networks in Southeast Asia, Bangkok: SPAFA, hlm. 197–212
^Worcester, G. R. G. (1947). The Junks and Sampans of the Yangtze, A Study in Chinese Nautical Research, Volume I: Introduction; and Craft of the Estuary and Shanghai Area. Shanghai: Order of the Inspector General of Customs.
^Man, John (2012). Kublai Khan: The Mongol King Who Remade China. Reading: Random House. ISBN9781446486153.
^Bade, David W. (2013). Of Palm Wine, Women and War: The Mongolian Naval Expedition to Java in the 13th Century. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
^ abBowring, Philip (2019). Empire of the Winds: The Global Role of Asia's Great Archipelago. London, New York: I.B. Tauris & Co. Ltd. ISBN9781788314466.
^"Zheng He xia Xiyang de chuan” 鄭和下西洋的船, Dongfang zazhi 東方雜誌 43 (1947) 1, pp. 47-51, reprinted in Zheng He yanjiu ziliao huibian 鄭和研究資料匯編 (1985), pp. 268-272.
^Xin Yuan'ou (2002). Guanyu Zheng He baochuan chidu de jishu fenxi [A Technical Analysis of the Size of Zheng He's Ships]. Shanghai. hlm. 8.
^Albuquerque, Afonso de (1875). The Commentaries of the Great Afonso Dalboquerque, Second Viceroy of India, translated from the Portuguese edition of 1774. London: The Hakluyt society.
^Felner, Rodrigo José de Lima (1860). Lendas da India por Gaspar Correa Tomo II (dalam bahasa Portuguese). Lisboa: Academia Real das Sciencias.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^Winstedt, Richard Olaf (1935). "A History of Malaya". Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. 13 (1): iii–270.
^Tarling, Nicholas (1992). The Cambridge History of Southeast Asia: Volume One, From Early Times to c.1800. Cambridge University Press. ISBN0521355052.
^Arifin, Azmi; Ismail, Abdul Rahman Haji; Ahmad, Abu Talib, ed. (2021). Kesultanan Melayu Melaka: Warisan, Tradisi dan Persejarahan. Penerbit USM. ISBN9789674616069.
^Halimi, Ahmad Jelani (2023, June 20). Mendam Berahi: Antara Realiti dan Mitos [Seminar presentation]. Kapal Mendam Berahi: Realiti atau Mitos?, Melaka International Trade Centre (MITC), Malacca, Malaysia. https://www.youtube.com/watch?v=Uq3OsSc56Kk