Gulden Hindia Belanda (bahasa Belanda: Nederlands-Indische gulden, bahasa Melayu ejaan Van Ophuijsen : Roepiah Hindia-Belanda[1]) adalah mata uang yang digunakan Indonesia pada era kolonial Belanda. Pada tahun 1858, Hindia Belanda memasuki revolusi dari berhentinya sistem tanam paksa dan beralih memasuki politik pintu terbuka. Pada sekitar tahun ini pula, pemerintah hindia belanda mulai mengeluarkan uang logam dengan desain baru yang dinamakan gulden. Uang ini juga mulai berlaku di negara Belanda dengan bahan timah hitam yang berukuran kecil dan tipis.[2] Dalam bahasa Melayu dan Jawa, Gulden sering diterjemahkan sebagai "Rupiah" di beberapa cetakan uangnya. Mata uang ini disimbolkan florin "ƒ".
Satuan
Berikut satuan mata uang Gulden Hindia Belanda yang pernah digunakan:
Setelah tahun 1912, Hindia juga pernah memiliki mata uang ƒ1 sebagai standar. Seperti di Belanda, itu juga gouden tientje (10 gulden emas). Uang kertas yang beredar adalah ƒ½, ƒ1, ƒ2½, ƒ5, ƒ10, ƒ25, ƒ50 dan ƒ100.
Penggunaan koin ƒ2½ (Rijksdaalder) sangat terbatas karena peredarannya diperuntukkan di negeri Belanda akan tetapi juga berlaku di negara jajahannya termasuk Hindia Belanda. Khusus koin ƒ2½ cetakan tahun 1943 diperuntukkan diedarkan di Hindia Belanda.[3]
Sejarah
Pada masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Nusantara sudah memiliki mata uang sendiri. Pada masa Republik Batavia dan Kerajaan Belanda, Nusantara menggunakan ƒ1 = 20 stuiver yang masing-masing senilai 4 duiten. Akibat inflasi, nominasi jatuh menjadi ƒ1 = 30 stuiver = 120 duiten. Pada tahun 1833, diputuskan bahwa satuan duiten tak lagi digunakan dan sebagai gantinya adalah ƒ1 = 120c. Lalu pada tahun 1854, nilai ƒ1 = 100c.
Sumatra dan Jawa memiliki mata uang sendiri: dolar Sumatra (hingga tahun 1824) dan rupiah Jawa (hingga tahun 1816). Namun, selama bertahun-tahun terjadi kekurangan uang karena tiadanya uang yang segera tersedia. Di Hindia Belanda juga banyak uang logam Belanda yang beredar. Jumlah ini meningkat setelah pada tahun 1854 diketahui bahwa mata uang Belanda juga banyak di Hindia. Dari tahun itu pulalah dimulai pengendalian terhadap gulden Hindia yang lebih banyak.
Gulden yang menggambarkan Ratu Wilhelmina dengan rambut tergerai ditarik dari peredaran karena tak pantas bagi seorang puteri digambarkan seperti itu. Semasa penjajahan Jepang, gulden masih dicetak dalam bahasa Belanda. Tertulis pada uang tersebut De Japansche regering (berarti: "pemerintah Jepang"). Pada tahun 1944, rupiah Hindia Belanda (dibagi-bagi dalam 100 sen) diperkenalkan, tetapi setelah perang diganti.
Setelah kemerdekaan Indonesia, mata uang pertama yang dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah RI adalah Oeang Repoeblik Indonesia, yang kemudian digantikan oleh rupiah. Hal itu menggantikan gulden selama-lamanya. Namun, Belanda menginginkan gulden sebagai mata uang digunakan kembali dan pada tahun 1946 dicetaklah uang kertas: ƒ5, ƒ10, ƒ25, ƒ50, ƒ100, ƒ500 dan ƒ1000 oleh Javasche Bank (yang juga disebut rupiah). Pada tahun 1948, uang kertas terakhir senilai ƒ½, ƒ1 dan ƒ2½ dicetak.
Hal serupa kelak terjadi pula di Papua Belanda. Setelah masuk wilayah Indonesia, mata uangnya juga diubah dari gulden menjadi rupiah.
Referensi
^"PERS-COMMUNIQUE TENTANG PEROEBAHAN VERORDENING RECHTSVERKEER IN OORLOGSTIJD". Keng Hwa Poo (dalam bahasa Indonesia). 48. Menado: S. H. LIEM (Handelsd kkerij Liem Oei Tiong & Co). 1941-5-31. hlm. 4.Lebih dari satu parameter |work= dan |newspaper= yang digunakan (bantuan); Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan); Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)