Lanskap ini merupakan entitas yang unik yang terlaksana dari filsafatBali, Tri Hita Karana. Pada dasarnya, filosofi ini menegaskan bahwa kebahagiaan, kemakmuran, dan kedamaian hanya dapat tercapai jika Tuhan, manusia, dan alam hidup dalam harmoni. Beberapa pura yang menjadi ciri khas pemandangan dan upacara yang dilakukan di sana merupakan wujud keinginan masyarakat Bali untuk mencari hubungan yang harmonis dengan Tuhan. Organisasi sosial-keagamaan yang bertanggung jawab menjaga lanskap—termasuk organisasi irigasi subak—adalah wahana untuk menjaga hubungan yang baik di antara umat manusia. Sementara itu, bagaimana membangun Bali, seperti memilih lokasi kuil dan desainnya, membangun fasilitas irigasi, dan membuat undak-undak sawah, menunjukkan komitmen untuk menjaga hubungan harmonis dengan lingkungan.
Di kalangan suku Bali, sistem irigasi yang unik telah dibuat untuk memanfaatkan air semaksimal mungkin yang ramah lingkungan.[3] Sistem irigasi ini juga memungkinkan koordinasi yang dikenal sebagai "subak". Organisasi tersebut adalah sebuah organisasi demokratis-religius; para petani yang memanfaatkan sumber air yang sama, bertemu secara teratur untuk mengkoordinasikan penanaman, mengontrol distribusi air irigasi, serta merencanakan pembangunan dan pemeliharaan kanal dan bendungan. Dalam wujud rasa syukur terhadap air—yang memungkinkan kegiatan pertanian—masyarakat Bali membuat ritual serta mengatur upacara persembahan dan perayaan di saluran irigasi tersebut.
Perbandingan
Sebuah penelitian telah dilakukan untuk mencari kemungkinan pembanding lanskap kultur Provinsi Bali. Di kepulauan Indonesia, hampir tidak ditemukan sebuah lanskap kultur yang sebanding. Beberapa petaksawah sejenis ada di Sumatra dan Sulawesi, namun tidak ada yang rumit dibandingkan dengan organisasi irigasi Subak di Bali. Sawah teras Sumatra dan Sulawesi tidak memiliki kuil khusus atau ritual yang mencirikan kebudayaannya sebagaimana pandangan kebudayaan Provinsi Bali. Selanjutnya, pembentukan teras sawah Sumatra dan Sulawesi terjadi karena pertimbangan yang lebih teknis, sementara lanskap di Bali diciptakan sebagai manifestasi dari filsafat Tri Hita Karana.
Di luar Indonesia, Teras Sawah Cordilleras di Filipina, dapat dibandingkan dengan sawah bertingkat di Bali dan telah dinyatakan sebagai Situs Warisan Dunia pada tahun 1995. Selain itu, Teras Sawah Banaue di Filipina juga dapat disamakan dengan yang ada di Bali. Sistem irigasi Banaue didukung oleh organisasi, teknik pertanian, ritual, dan sistem kepercayaan tradisional. Namun, ritual dan sistem kepercayaan serta organisasi di balik sistem tersebut adalah sangat berbeda. Ritual Ifugao dan sistem kepercayaan Hindu Bali tidak memiliki persamaan sama sekali, sementara ritual di Bali dan sistem kepercayaannya telah sangat dipengaruhi oleh Hinduisme. Hal ini dapat dilihat dalam terjadinya candi kecil di teras sawah Jatiluwih yang didedikasikan untuk Sri, dewipadi. Selanjutnya, struktur sistem irigasi Jatiluwih (subak) memiliki akar dari Tri Hita Karana, esensi dari kosmologi Bali. Oleh karena itu, sawah Jatiluwih merupakan fenomena unik yang sangat berbeda dengan yang lain dibandingkan Ifugao atau sistem teras padi di dunia.