Garis ini memiliki makna filosofis yang sangat tinggi di kesultanan tersebut dan menjadi salah satu acuan tata kota dari wilayah yang dilewatinya. Selain itu, keberadaan garis imajiner ini menjadi keunikan tersendiri bagi Kota Yogyakarta dari kota-kota lainnya, termasuk kota-kota peninggalan Kesultanan Mataram yang lain.
Sejarah
Setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti maka Pangeran Mangkubumi mendapatkan wilayah kekuasaan setengah dari Mataram. Beliau kemudian dinobatkan menjadi Sri Sultan Hamengkubuwana I dan menguasai daerah Alas Mentaok yang sekarang menjadi Yogyakarta. Lantas untuk menjalankan pemerintahan, Pangeran Mangkubumi mulai membangun keraton di bekas sebuah pesanggrahan[a] yang bernama Garjitawati. Tidak hanya itu, beliau juga membuka lahan[b] di daerah hutan Krapyak.
Sri Sultan Hamengkubuwana I mulai membangun keraton pada tanggal 9 Oktober 1755. Proses pembangunan tersebut memakan waktu hingga satu tahun dan mulai digunakan pada 7 Oktober 1756. Hal itu ditandai dengan sengkalan memetDwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani yang menandai tahun 1682 Jawa. Pangeran Mangkubumi membangun ibu kota kesultanan dengan konsep dan perencanaan yang memiliki nilai historis maupun nilai filosofis. Ia membangun banyak bangunan bersejarah dan monumental di Kota Yogyakarta. Dalam desain pembangunan tersebut, Hamengkubuwana I mengatur tata kota yang jika ditarik garis lurus menjadi sebuah sumbu imajiner.[1] Selain itu, ia juga membangun kota dengan berkonsep Catur Gatra Tunggal yang menyatukan elemen pemerintahan, ekonomi, sosial, dan agama. Di antaranya dengan membangun Keraton Yogyakarta, Pasar Beringharjo, Alun-alun Utara, Alun-alun Selatan, dan Masjid Gedhe Kauman.[2][3][4]
Rute garis
Sebenarnya Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi tidak persis berada dalam satu garis lurus. Oleh karena itu, poros bentang alam ketiganya disebut sebagai sumbu imajiner. Sumbu filosofis sendiri adalah sumbu nyata yang membentang utara selatan dalam satu garis lurus adalah jalan yang menghubungkan Tugu Golong Gilig, Keraton, dan Panggung Krapyak[5].
Pantai Parangkusumo menjadi titik ujung selatan garis ini. Pantai ini menjadi tempat prosesi upacara labuhan Parangkusumo dilaksanakan. Sebagai salah satu pantai di laut selatan, bermakna mitologis dengan keberadaan penguasa pantai selatan yakni Nyi Roro Kidul.
Panggung Krapyak merupakan bangunan peninggalan Hamengkubuwana I yang dipercayai menjadi tempat berburu hewan khususnya rusa.[c] Oleh karena itu, bangunan ini dikenal juga sebagai kandang menjangan. Pada zaman dahulu, daerah tempat Panggung Krapyak masih berupa hutan yang dinamakan Hutan Krapyak. Oleh karena itu, tempat ini digunakan sebagai sebuah tempat perburuan karena terletak di dekat hutan. Selain itu, bangunan ini digunakan sebagai tempat pertahanan dari binatang buas maupun musuh yang datang dari Hutan Krapyak.[6] Selain sebagai penanda garis imajiner, Panggung Krapyak juga digunakan untuk sarana istirahat dan rekreasi keluarga sultan.[7]
Keraton merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keraton ini memiliki nilai filosofi dan mitologi yang sangat tinggi. Sebagai sebuah istana, maka bangunan ini digunakan sebagai tempat tinggal Sultan Yogyakarta. Bangunan istana umumnya dikenal terdiri atas tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu, keraton ini menjadi bagian tengah (pusat) dari garis imajiner ini.
Tugu Yogyakarta atau saat baru dibangun bernama Tugu Golong Gilig merupakan sebuah monumen yang terletak di utara kraton. Konon jika ditarik garis lurus dari keraton ke arah utara melalui monumen ini akan sampai di Gunung Merapi. Tugu ini terletak di perempatan Jalan Margo Utomo, Jalan A.M. Sangaji, Jalan Jenderal Sudirman, dan Jalan Pangeran Diponegoro. Tugu ini juga dikenal sebagai Tugu Pal Putih karena dahulu orang Belanda menyebutnya sebagai white paal. Penyebutan ini mengingat bangunan tugu yang panjang dan berwarna putih.[8][9][10][11] Tugu ini menjadi titik fokus raja pada masa lampau dalam mengambil sebuah keputusan masalah.[12]
Gunung Merapi merupakan titik ujung utara dari garis ini. Gunung Merapi terkenal dengan aktifnya aktivitas vulkanik yang meletus hampir dua hingga lima tahun sekali. Letusan terakhir yang terkenal memakan banyak korban adalah letusan 2010. Selain itu, Merapi menjadi tempat diadakannya labuhan Merapi setiap diadakannya labuhan di Keraton Yogyakarta.
Makna filosofis
Secara filosofis, tata ruang Kota Yogyakarta memiliki makna filosofis yang sangat tinggi. Bentuk tata kota yang vertikal dari selatan ke utara melambangkan hubungan manusia kepada Sang Pencipta. Laut Selatan yang merupakan titik terendah dan Gunung Merapi yang lebih tinggi melambangkan sikap manusia yang semakin dekat dengan Sang Pencipta seiring berjalannya waktu.
Bagian garis dari Panggung Krapyak ke Tugu Pal Putih dari selatan ke utara merupakan perjalanan Sangkaning Dumadi yakni proses perjalanan manusia menuju eksistensi. Diawali dengan pertemuan antara wiji (benih) yang merupakan proses terjadinya manusia (dumadi) dilambangkan oleh Panggung Krapyak yang berupa bentuk yoni[d] dan bentuk Tugu Pal Putih yang berupa bentuk lingga.[e] Dari hal itu, maka lahirlah manusia yang tumbuh dan berkembang hingga menjadi dewasa.
Sementara itu, garis dari utara ke selatan bermakna perjalanan manusia kembali ke Sang Penguasa yakni Paraning Dumadi. Keraton yang berada di tengah melambangkan manusia yang telah mapan dan dewasa. Pada akhirnya manusia akan mati dan kekal di akhirat yang dilambangkan Lampu Kyai Wiji di Gedhong Prabayeksa Keraton yang tak pernah padam sejak zaman Sultan Hamengkubuwana I.
Selain itu, juga ada makna dari sisi kepercayaan masyarakat. Laut selatan yang melambangkan perempuan dan Gunung Merapi melambangkan laki-laki. Hal ini tampak sama dengan hubungan Panggung Krapyak dan Tugu Pal Putih. Keraton yang berada di tengah-tengahnya menjadi penghubung dan penyeimbang di antara keduanya.
Secara simbolis, garis ini melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta (Ḥablun min Allāh), hubungan manusia dengan sesamanya (Ḥablun min an-Nās), serta manusia dengan alam termasuk lima unsur pembentuknya yakni api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari Bumi Ngayogyakarta, air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta), dan langit (ether).[9][13][14]
Hubungan dengan Masjid Pathok Negara
Masjid Pathok Negara merupakan masjid yang didirikan di empat mata angin. Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini juga sebagai pembatas antara Kuthanegara[f] dengan Negara Agung.[g] Masjid ini antara lain Masjid Plosokuning di utara, Masjid Mlangi di barat, Masjid Dongkelan di selatan, dan Masjid Babadan di timur.[15] Konon, jika ditarik garis lurus dari Masjid Plosokuning ke Masjid Dongkelan akan menyambung dari Laut Selatan ke Gunung Merapi. Namun, ini tidak sepenuhnya benar karena garisnya akan meleset sedikit, tidak ke arah Gunung Merapi. Dibanding dengan keadaan tersebut, garis imajiner ini jika ditarik ke utara dari Tugu Pal Putih maka akan lebih tepat menuju Gunung Merapi.
Permasalahan
Gempa 1867
Gempa Yogyakarta 1867 merupakan gempa tektonik berskala besar di Yogyakarta. Gempa ini menghancurkan banyak bangunan di antaranya Tugu Golong Gilig. Peristiwa ini dikenang dalam candra sengkala yang berbunyi "Obah Trus Pitung Bumi" (tujuh bumi terus berguncang) yang menunjuk pada angka 1796 tahun Jawa.[h] Pilar tugu patah hingga kurang lebih sepertiga bagian. Selama beberapa tahun, Tugu Golong Gilig sempat terbengkalai. Baru pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VII tepatnya diresmikan pada tanggal 3 Oktober 1889. Pembangunan kembali tugu mengubah bentuk dari yang lonjong (golong) dengan puncak bundar (gilig) menjadi bentuk persegi berujung lancip seperti sekarang ini.[10][11]
Pembangunan yang merusak tatanan garis
Pembangunan yang merusak keberadaan garis harus menjadi perhatian utama. Banyaknya bangunan yang berdiri merusak tatanan garis imajiner ini sehingga harus dibenahi. Contohnya dalam Jalur kereta api Kutoarjo–Purwosari yang melintang memotong garis ini. Pemerintah Kolonial telah merusak keberadaan garis yang dinilai agar keraton kehilangan kekuatannya termasuk dalam hal filosofis seperti ini.[16]
Dalam perkembangannya, desain Jalan Tol Yogya–Solo di sekitar Monumen Yogya Kembali (Monjali) juga diubah agar tidak merusak tatanan garis imajiner ini. Desain yang awalnya melayang (elevated) menjadi di permukaan tanah (ad grade). Perubahan trase ini diusulkan langsung oleh Gubernur YogyakartaSri Sultan Hamengkubuwana X dan disambut positif oleh pemerintah guna menjaga kelestarian budaya daerah Yogyakarta.[17] Selain itu, hal ini juga mendukung pengajuan keberadaan garis ini menjadi Warisan Dunia UNESCO.
Kondisi Saat Ini
Diorama garis imajiner
Pada tahun 2015 diresmikan Diorama Tugu Golong-Gilig dan Miniatur Garis Imajiner. Diorama dibuat sesuai dengan bentuk asli Tugu Pal Putih yakni Tugu Golong-Gilig yang berbentuk silinder dan bundar di puncaknya. Pembuatan diorama ini menjadi daya tarik wisata Yogyakarta selain Tugu Pal Putih itu sendiri. Selain itu, pembuatan diorama juga sebagai sosialisasi edukasi bagi masyarakat agar mengetahui makna filosofi Garis Imajiner Yogyakarta.[10][18]
Pengajuan sebagai Warisan Dunia Tak-Benda UNESCO
BPCB Yogyakarta bersinergi dengan Dinas Kebudayaan DIY mengajukan garis imajiner sebagai warisan dunia UNESCO. Syarat yang harus dipenuhi untuk mengusulkan Sumbu Filosofis Yogyakarta menjadi warisan dunia tidak hanya mencakup kelestarian bangunan cagar budaya di sepanjang sumbu tersebut. Kelestarian nilai-nilai yang terkandung dalam Sumbu Filosofis Yogyakarta juga menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi. Perlu adanya sosialisasi dan edukasi bagi masyarakat terkait makna garis imajiner ini agar terjaga kelestarian maknanya, tidak hanya dari bentuk fisik bangunan cagar budaya saja.[19][20]
^BPCB Yogyakarta (30 Oktober 2019). "Panggung Krapyak". Ditjen Kebudayaan Kemendikbud. Yogyakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-12. Diakses tanggal 9 Mei 2020.
^BPCB Yogyakarta (13 November 2017). "Sumbu Filosofis Kota Yogyakarta". Ditjen Kebudayaan Kemendikbud. Yogyakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-04. Diakses tanggal 10 Mei 2020.
^BPCB Yogyakarta (31 Desember 2019). "Sumbu Filosofis Yogyakarta". Ditjen Kebudayaan Kemendikbud. Yogyakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-28. Diakses tanggal 10 Mei 2020.
Chamamah Soeratno et. al. (2004). Kraton Yogyakarta:the history and cultural heritage (2nd print). Yogyakarta and Jakarta: Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat and Indonesia Marketing Associations. ISBN979-96906-0-9.
Kumara, P. A.; et al. (2016). "Sumbu Filosofis Yogyakarta"(PDF). Mayangkara: Buletin Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya (edisi ke-2). ISSN2502-1567.Pemeliharaan CS1: Penggunaan et al. yang eksplisit (link)