Sebelumnya, Sambas merupakan Kerajaan Hindu. Kemudian hari, Sambas berubah menjadi Kerajaan Islam dengan nama Kesultanan Sambas. Raden Sulaiman (anak dari Sultan Tengah, Anak Sultan Brunai) merupakan Sultan Sambas pertama dan dinobatkan menjadi Sultan Sambas yang pertama.
Sebelum hijrah ke Lubuk Madung (lokasi istana), Raden Sulaiman bertempat tinggal di Kota Lama (pusat Kerajaan Sambas) bersama istrinya Mas Ayu Bungsu (putri Ratu Sepudak, penguasa Kerajaan Sambas). Setelah difitnah, ia pun memboyong keluarganya ke Kota Bangun, tempat dimana dulu ia menetap di Sambas sebelum ia menikah dengan Mas Ayu Bungsu.
Setelah berhasil membangun Kota Bangun, bahkan lebih maju dari Kota Lama, Raden Sulaiman memutuskan pindah ke Lubuk Madung. Lubuk Madung merupakan pertemuan tigas sungai, yaitu Sungai Subah, Sungai Sambas Kecil, dan Sungai Teberau.Kemudian, di lokasi tersebutlah didirikan Istana Kesultanan yang hingga sekarang dikenal dengan nama Istana Alwatzikoebillah.
Namun, Istana Alwatzikhoebillah yang terlihat sekarang ini, baru dibangun pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin (1931-1943), sultan ke-15 Kesultanan Sambas. Pembangunan istana tersebut relatif singkat, yaitu dari tahun 1933 sampai tahun 1935. Konon, biayanya yang mencapai 65.000 gulden itu merupakan pinjaman dari Kesultanan Kutai Kartanegara.[2]
Bagian-Bagian Istana
Untuk memasuki Istana Alwatzikoebillah Sambas, pengunjung harus melalui dua (2) gapura, yaitu Gapura Pertama: pembatas antara alun-alun dengan jalan raya; dan Gapura Kedua: pembatas antara alun-alun dan Istana.
Alun-alun
Tiang Bendera
Di bagian belakang alun-alun, pengunjung akan menemukan sebuah tiang seperti tiang kapal yang dikelilingi oleh tiga buah meriam dan disangga oleh empat tiang. Berikut adalah makna filosofis dari benda-benda tersebut:
Tiga Meriam, melambangkan tiga buah sungai yang terdapat di sekitar istana yang harus selalu dijaga. Meriam-meriam tersebut adalah pemberian dari tentara Inggris pada tahun 1813 yang salah satunya diberi nama Si Gantar Alam. Di area ini pula, salah satu pahlawan Sambas, Tabrani Ahmad, gugur ditembak peluru tentara Belanda saat mempertahankan merah putih.
Empat Tiang Penyangga, melambangkan empat menteri sebagai pembantu sultan yang disebut wazir.
Dua Tiang Penyangga pada sisi kiri dan kanan tiang, melambangkan bahwa dalam menjalankan roda pemerintahannya sultan selalu didampingi oleh ulama dan khatib.
Sesuai namanya, masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Shafiuddin II. Letaknya di sebelan kanan atau selatan alun-alun Kesultanan Sambas. Masjid ini terdiri dari dua (2) tingkat dan di dalamnya disangga oleh delapan (8) buah tiang dari kayu belian yang ukurannya besar-besar. Selain itu, masjid ini memiliki bedug dan kendi (bejana) raksasa serta sebuah mimbar antik.